Peneliti dan pengamat politik, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, jika Kamala Harris menang, maka akan menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden dalam 248 tahun umur Amerika Serikat (AS).
Kamala Harris juga akan menjadi presiden perempuan pertama dari kulit berwarna atau non kulit putih di negara yang selama ini mengelu-elukan demokrasi.
Dosen dan pengamat politik Universitas Indonesia, Ani Soetjipto yang dihubungi Konde.co menambahkan, dengan rekam jejak Kamala yang berasal dari kalangan minoritas, terdidik dan seorang feminis, ia berharap Kamala akan lebih peka pada isu inklusi ras minoritas di Amerika.
“Isu politik, isu LGBTQ. Yang juga penting adalah memiliki reimajinasi tentang tata kelola (governance) yang lebih berkeadilan,” kata Ani Soetjipto pada Konde.co, Senin 4 November 2024.
Sebelumnya, dari 10 calon kandidat presiden di Amerika yang maju dalam Pemilu kali ini, Kamala Harris dan Donald Trump lah yang akhirnya berhasil masuk dalam 2 besar pencalonan presiden.
Keduanya berasal dari 2 partai besar yang berbeda, Kamala Haris dari Partai Demokrat dan Donald Trump, dari Partai Republik. Partai Demokrat lebih banyak memperjuangkan hak masyarakat sipil seperti jaring pengamanan sosial seperti isu migrasi, isu lingkungan. Sedangkan Partai Republik adalah partai konservatif yang lebih banyak memperjuangkan hak memiliki senjata dan pelarangan aborsi.
Kamala Harris sebelumnya menjadi Wakil Presiden dari Joe Biden, dan Donald Trump menjadi presiden AS sebelum Joe Biden dan Kamala Harris berkuasa.
Keduanya bersaing ketat dalam pemilihan di 7 wilayah di Amerika. VOA menuliskan, hasil jajak pendapat terakhir New York Times/Sienna College menunjukkan bahwa Wakil Presiden Harris unggul tipis di Nevada, North Carolina dan Wisconsin. Sementara mantan Presiden Trump unggul tipis di Arizona. Namun keduanya bersaing ketat di Michigan, Georgia dan Pennsylvania.
Baca juga: Seksisme dan Rasisme Terhadap Perempuan Warnai Pemilihan Presiden Amerika
Jajak pendapat New York Times/Siena College ini mensurvei 7.879 calon pemilih di tujuh negara bagian tersebut dari 24 Oktober hingga 2 November. Di tujuh negara bagian tersebut, margin error hasil jajak pendapat itu adalah 3,5%. Sekitar 40% responden telah memberikan suara dan Harris memimpin di antara para pemilih tersebut dengan 8 poin persentase. Sementara Trump memimpin di kalangan pemilih yang mengatakan sangat mungkin untuk memberikan suara, tetapi belum melakukannya.
Hasil imbang di Pennsylvania menunjukkan Trump mendapatkan momentum di negara bagian yang telah dipimpin oleh Harris dengan empat poin persentase di semua jajak pendapat New York Times sebelumnya, kata surat kabar itu.
Kamala Harris sebelum menjadi wakil presiden adalah perempuan pertama yang menjadi Jaksa Agung San Fransisco. Ia juga perempuan kulit hitam dan perempuan Amerika keturunan Asia Selatan pertama di California yang pernah menjadi senator. Harris mengusung pandangan kiri-tengah dalam mempromosikan akses ke perawatan kesehatan di AS, melarang penggunaan senjata serbu, memberikan jalan menuju bagi imigran yang tidak memiliki dokumen untuk memperoleh kewarganegaraan, dan memastikan kesetaraan tempat kerja bagi perempuan dan kaum gay.
Sedangkan Donald Trump adalah presiden dengan banyak kontroversi yang banyak memperjuangkan pengeluaran rumah tangga murah/ ekonomi di Amerika.
Pengamat politik, Ikrar Nusa Bhakti dalam Youtube-nya menyatakan, bahwa Pemilu di Amerika ini adalah pertarungan yang sangat keras dan menarik. Karena ini adalah pertaruhan kekuatan siapa yang memenangkan hati masyarakat AS. Jika Kamala Harris menang, maka akan menjadi perempuan pertama dalam 248 tahun usia AS yang menjadi presiden yang berasal dari kelompok minoritas.
“Semoga sejarah baru akan lahir dengan kemenangan Kamala Harris. Harris adalah perempuan non kulit putih pertama dengan usia 6o tahun, sedangkan Donald Trump sudah 80 tahunan. Harris akan menjadi presiden perempuan pertama di negara demokrasi yang berumur 248 tahun,” kata Ikrar Nusa Bhakti
Baca juga: Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Yang Siap Torehkan Sejarah
Bruce Wolpe, Non-resident Senior Fellow, United States Study Centre, University of Sydney dalam The Conversation.com menulis bahwa ada empat isu utama dalam pemilihan ini. Yang paling penting adalah isu ekonomi, yaitu anggaran biaya rumah tangga, tekanan biaya hidup disana, dan kekhawatiran pemilih tentang keamanan ekonomi masa depan mereka.
Sejak Biden dan Harris menjabat sebagai presiden dan wakil presiden hampir empat tahun lalu, biaya bahan makanan, barang-barang rumah tangga, utilitas, dan layanan seperti asuransi telah meningkat antara 10–40%. Harga bensin bahkan naik lebih tinggi lagi. Meskipun suku bunga telah turun, rumah tangga Amerika sedang terpuruk. Ketika ditanya siapa yang terbaik untuk mengelola ekonomi, para pemilih di negara-negara bagian yang masih belum jelas pilihannya mengatakan Trump dengan selisih 15 poin.
Masalah terbesar berikutnya adalah imigrasi. Sejak Trump pertama kali menjadi kandidat presiden pada tahun 2015, ia terus menekan tombol imigrasi. Ia juga menyatakan perbatasan dengan Meksiko tidak terkendali, dengan kejahatan dan penjarahan meningkat setelahnya.
Lalu hak aborsi dan layanan kesehatan reproduksi merupakan isu utama ketiga yang banyak diperjuangkan Harris. Banyak perempuan di seluruh Amerika merasa muak dengan keputusan Mahkamah Agung yang mencabut hak konstitusional mereka untuk melakukan aborsi yang didukung Trump. Harris dipandang sebagai juara dalam isu-isu ini. Beberapa jajak pendapat menunjukkan pemilih lebih memercayainya daripada Trump dalam hal hak reproduksi, dengan selisih yang lebar. Hasilnya, jajak pendapat menunjukkan Harris mengungguli Trump dengan suara pemilih perempuan di negara bagian yang masih belum jelas, dengan selisih 15 poin atau lebih.
Namun Kamala Harris harus memenangkan di 7 atau 8 negara bagian di AS di pertarungan ini dan hati rakyat yang selama ini masih berpindah dalam menentukan pilihan atau swing voters, perbedaan kemenangan keduanya hanya 1% saja.
Baca juga: Aktivis Perempuan: Kemenangan Kamala Harris Harapan Baru Untuk Perempuan
“Bila Kamala Harris menang, maka ia akan masuk dalam Partai Demokrat yang memberikan warna baik bagi Amerika Serikat,” kata Ikrar Nusa Bhakti.
Bruce Wolpe menulis, jadi jika Harris menang, itu karena dia telah berhasil menyegel kesepakatan dengan para pemilih tersebut dan menjadikan pemilihan sebagai referendum terhadap Trump – bahwa secara keseluruhan negara sudah muak dengannya setelah delapan tahun. Itu juga berarti permainan lapangannya menghasilkan suara.
Jika Trump menang, itu berarti para pemilih memercayainya untuk mengelola inflasi dan tekanan biaya hidup pada rumah tangga, serta apa yang mereka lihat sebagai imigrasi dan kejahatan yang tidak terkendali. Pesan-pesan ini juga akan semakin dibumbui oleh kegelisahan tentang Harris, seorang perempuan kulit hitam dan Asia Selatan, sebagai presiden.
Siapapun pemenangnya juga harus menyelesaikan persoalan pelik soal tragedi kemanusiaan di Palestina dan di Ukraina, situasi global yang harus dijawab presiden baru.
Kebijakan Luar Negeri Feminis, Mungkinkah?
Isu terkait Palestina dan Ukraina menjadi perbincangan penting dalam proses pemilihan presiden Amerika Serikat kali ini. Baik genosida di Palestina maupun perang di Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Soal Ukraina, Kamala Harris berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan pendahulunya, Joe Biden. Yakni melibatkan dukungan militer, ekonomi, dan politik terhadap Ukraina, serta mempertahankan tekanan sanksi terhadap Rusia. Sementara Donald Trump dalam kampanyenya mengeklaim dirinya dapat mengakhiri perang Ukraina 24 jam setelah terpilih, sebelum pelantikannya.
Dalam sesi debat presiden Amerika yang digelar ABC News pada 11 September 2024 lalu isu Gaza dibahas meskipun sangat singkat. Donald Trump mengatakan jika terpilih, “Saya akan menyelesaikannya dengan cepat.”
Namun, Trump tidak menjelaskan dengan detail bagaimana ia akan melakukan hal tersebut. Ia juga tidak menanggapi pertanyaan panelis soal bagaimana ia akan bernegosiasi dengan Israel dan Hamas untuk mengamankan perjanjian gencatan senjata dan pembebasan sandera Israel yang ditahan di Gaza.
Sementara Kamala Harris kembali mengulangi pernyataan dukungannya terhadap Israel dan perlunya pembebasan para sandera. Ia juga menyampaikan posisi Amerika Serikat bahwa solusi dua negara akan memberikan keamanan dan kedaulatan bagi Palestina.
“Yang kami tahu adalah bahwa perang ini harus diakhiri,” katanya. Meski begitu ia juga tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Keberadaan kandidat atau pemimpin perempuan yang masuk ke jajaran atas politik internasional sering memunculkan pertanyaan atau harapan. Salah satunya apakah kehadiran mereka bisa membawa perspektif feminis terhadap bagaimana praktik hubungan internasional dijalankan di dunia yang didominasi laki-laki? Begitu juga dengan Kamala Harris yang maju dalam pencalonan Presiden Amerika Serikat, jabatan politik paling berpengaruh di dunia.
Baca juga: Hak Aborsi Di Amerika Dicabut, Bagaimana Nasib Kesehatan Reproduksi Perempuan?
Ani Widyani Soetjipto, pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia mengungkapkan kepemimpinan perempuan belum tentu secara otomatis akan menghasilkan kebijakan luar negeri yang feminis.
“Apakah women leadership itu pasti akan membuat feminist foreign policy? Jawabannya nggak ada jaminan juga,” tuturnya kepada Konde.co, Senin (4/11/24).
Tidak ada satu kesepakatan tentang definisi feminist foreign policy. Bisa dibilang definisinya bermacam-macam. Begitu juga dengan praktiknya, sangat beragam. Model yang dijalankan oleh Swedia berbeda dengan Canada, begitu juga dengan Prancis, atau Chile, dst.
Menurut Ani, feminist foreign policy bukan sekadar memasukkan perempuan ke dalam kebijakan luar negeri. Melainkan juga bagaimana mempromosikan agenda feminis ke dalam diplomasi luar negeri.
Artinya dalam pandangan Ani kebijakan luar negeri yang feminis itu didasarkan pada teori feminis, interseksional, dan inklusi. Selain juga mengedepankan pelucutan senjata, keamanan, berpusat pada kesejahteraan individu, empati, menyasar struktur kekuasaan gender, serta membangun institusi yang inklusif.
“Intinya feminist foreign policy itu di dalamnya secara integral mencakup resolusi konflik, keselamatan dan kesejahteraan, serta komunitas yang berempati. Jadi bukan hanya menantang sistem patriarki,” ujar Ani.
Baca juga: Laki-Laki “Dibalik” Perempuan Wapres Terpilih Amerika Kamala Harris
Ia menambahkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sudah sangat mapan. Akan sangat sulit diubah hanya karena ada satu pemimpin perempuan. Arus utama diplomasi luar negeri masih didominasi urusan geopolitik dan geoekonomi. Karena itu masih perlu perjuangan keras agar isu hak asasi manusia dan kemanusiaan juga menjadi prioritas dalam diplomasi luar negeri.
Dalam konteks persoalan Palestina dan Israel, menurut Ani, jika menggunakan lensa feminis, maka genosida harus diakhiri, perang harus dihentikan. Perlu ada jeda kemanusiaan agar korban tidak lagi berjatuhan.
“Urusan Palestina dan Israel kalau pakai lensa feminis itu harus berhenti perang supaya bisa berunding. Ada jeda kemanusiaan untuk merespons korban yang terus berjatuhan,” tegasnya.
Hal serupa menurutnya juga berlaku dalam konteks perang Ukraina dan Rusia.
Karena itu Ani Soetjipto berharap Kamala Harris yang akan terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.
“Kalau Kamala terpilih, signifikansinya she breaks the glass ceiling,” tutup Ani Soetjipto.
Foto: SBS News