Konsolidasi Media dan Organisasi Masyarakat Sipil Penting Untuk Hapus Kekerasan Berbasis Gender

Riset tentang Pelaporan Sensitif Gender di Asia Tenggara tunjukkan masing-masing negara punya pendekatan berbeda terkait bagaimana berita-berita kekerasan berbasis gender dilaporkan. Konsolidasi antar berbagai pihak dipandang penting untuk mengatasi stereotipe gender dan mendorong pelaporan media yang sensitif gender.

Budaya patriarki yang masih kuat di Asia Tenggara turut membentuk representasi gender berbagai media di sejumlah negara di kawasan tersebut. Norma-norma dan stereotipe budaya yang mengakar sering melanggengkan bias gender dalam representasi media. Situasi ini mengarah pada marginalisasi perspektif dan pengalaman perempuan di Asia Tenggara.

“Penghalang budaya jadi tantangan utama. Jadi sangat sulit sekali kita membayangkan negara-negara di Asia ini yang kebetulan masih kuat dominasi budaya patriarkinya, gender itu digambarkan setara di media. Maka yang ada itu adalah peran-peran tradisional,” kata Lestari Nurhajati pada Senin (21/10) di hadapan peserta diskusi Laporan Situasi Media Peka Gender di 5 Negara Asia.

Temuan ini merupakan hasil riset di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Di Indonesia riset dikerjakan oleh Lestari Nurhajati sebagai peneliti sekaligus editorial adviser Konde.co.

Nurhajati mengungkapkan tantangan lain adalah minimnya pelatihan dalam pelaporan sensitif gender bagi jurnalis. Akibatnya penguatan stereotipe yang tidak disengaja dan liputan masalah gender yang tidak memadai, yang memengaruhi persepsi dan kebijakan publik.

Persoalan ini terutama dihadapi jurnalis dari media mainstream yang biasa meliput isu politik, ekonomi, atau olahraga. Kalau tidak ada pelatihan tentang pelaporan sensitivitas gender, jurnalis tidak punya pengetahuan gender dan akan kesulitan menghasilkan laporan sensitif gender.

Selain itu, akses terbatas ke platform juga jadi tantangan. Situasi ini terutama dihadapi perempuan dan kelompok terpinggirkan sehingga mereka sulit untuk berbagi cerita dan perspektif mereka. Hal ini memperburuk kesenjangan gender dalam representasi.

Baca juga: Media Alternatif: Menulis Berita Kekerasan Seksual, Lalu Dapat Serangan

Kondisi ini menurut Nurhajati tidak terlepas dari lanskap media yang beragam di lima negara, mencakup media online, cetak, televisi, radio. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah di masing-masing negara untuk membuat regulasi yang komprehensif.

Media di Asia Tenggara sering menghadapi tantangan peraturan, termasuk sensor dan kontrol pemerintah. Situasi ini dapat menghambat pelaporan sensitif gender dan membatasi representasi suara perempuan di media.

Hal terakhir adalah tren digital yang muncul yang tidak bisa dibendung.

“Kalau dulu orang mengandalkan media mainstream, yang bisa dibaca, didengar atau dilihat, sekarang media digital yang utama. Social media terutama menjadi amplifier, menjadi hal yang penting dan berkembang luar biasa. Tapi sekaligus regulasinya belum jelas,” papar Nurhajati.

Terkait upaya mengatasi kekerasan berbasis gender di media, perlu disadari media punya peran kuat dalam menciptakan persepsi di benak masyarakat. yang kadang tidak kita sadari. Representasi media secara signifikan memengaruhi persepsi publik tentang kekerasan terhadap perempuan.

“Media memberi pengaruh sangat besar yang mungkin tidak kita rasakan tapi ternyata ada. Contoh paling gampang misalnya kalau kita membahas iklan. Ketika kita melihat sebuah iklan biasanya kita jadi tertarik untuk membeli produk yang diiklankan. Artinya persepsi kita salah satunya dipengaruhi oleh media,” jelas Nurhajati.

Dari studi kasus yang dilakukan di sejumlah negara tersebut terungkap masing-masing negara punya berbagai pendekatan yang berbeda tentang bagaimana berita-berita kekerasan berbasis gender dilaporkan. Nurhajati menjelaskan di Indonesia pelaporan kekerasan gender sudah makin baik.

“Sudah banyak media mainstream melaporkan dengan tidak mengekspos korban, misalnya. Kalau dulu kan korban sangat diekspos ya. Jadi korban mengalami reviktimisasi. Indonesia sudah mulai ada perubahan meskipun belum 100%,” jelasnya.

Baca juga: Pemberitaan KBGO Harusnya Berperspektif Korban, Media Jangan Nirempati

Riset di Indonesia menunjukkan dari wawancara dengan jurnalis perempuan dan sejumlah pihak terkait terungkap jurnalis perempuan juga jadi korban kekerasan. Banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan di ruang digital menyasar kepada jurnalis perempuan. Misalnya, komentar seksis yang mengobjektifikasi tubuh perempuan.

Fakta terkait kekerasan yang dialami jurnalis perempuan juga diakui oleh Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers di acara yang sama. Ia mengungkapkan di lapangan, jurnalis perempuan juga kerap mengalami kekerasan seksual verbal maupun fisik. Pelaku juga beragam, mulai dari rekan kerja (sesama jurnalis), atasan, narasumber, hingga orang yang tidak dikenal sekalipun.

“Kata-kata seperti ‘digagahi’ ini misalnya selalu dikaitkan dengan laki-laki, karena dianggap kuat, sedangkan kalau perempuan dilekatkan dengan kata ‘lemah/lemas’,” tutur Ninik.

Budaya patriarki kemudian juga mempengaruhi pada bagaimana cara media membungkus pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ninik menegaskan bahwa pemberitaan media arus utama saat ini lebih cenderung menekankan sensasi dengan menggunakan kata-kata—yang terdengar seksis dan menggambarkan perempuan sebagai insan yang lemah tak berdaya—seperti ‘digagahi’ serta ‘digilir’.

Jurnalis perempuan memiliki rata-rata jam kerja yang cukup panjang. Mengikuti bagaimana arus informasi berjalan, kerap membuat jurnalis perempuan rentan terhadap tindak kekerasan seksual terlebih kosongnya aturan penegakan hukum perlindungan jurnalis. Di dalam redaksi, jurnalis perempuan juga mengalami diskriminasi lain seperti ketimpangan upah, sedangkan beban kerja tinggi. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida menyampaikan berdasarkan pengamatannya, hak-hak jurnalis perempuan yang belum dan sudah menikah juga ‘dibedakan’ dengan sengaja oleh perusahaan media.

Baca juga: Diskriminasi LGBT Terus Terjadi, Mana Sikap Kritis Media?

Misalnya, tentang pembekalan mengenai kesehatan reproduksi. Jurnalis perempuan yang belum menikah dinilai dengan terburu-buru bahwa mereka tidak perlu mendapat pembekalan. Padahal, kesehatan reproduksi bukan isu yang hanya perlu dipahami oleh mereka yang sudah menikah saja. Selain itu, banyak jurnalis perempuan yang dijadikan target PHK karena dianggap bukan pencari nafkah utama di keluarga.

Pimpinan redaksi yang kurang sensitif juga mempersempit ruang aman bagi jurnalis perempuan. Struktur tinggi dalam redaksi juga masih didominasi oleh laki-laki, bersifat maskulin, sehingga peran-peran perempuan kerap diabaikan dan diproyeksikan di posisi-posisi yang tak strategis sebagai pembuat keputusan dalam redaksi.

Sementara itu Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti mengungkapkan untuk menciptakan media yang sensitif gender dan ramah terhadap perempuan diperlukan konsolidasi.

“Kolaborasi saja tidak cukup. Kalau mau mengubah kebijakan, kita harus melakukan konsolidasi,” jelas Luviana dalam sesi pemaparannya.

Menurutnya, pencegahan kekerasan seksual, khususnya bagi jurnalis perempuan, perlu diwujudkan dengan tindakan terorganissasi baik dari aktivis maupun jurnalis. Di Indonesia sendiri, Luviana menyampaikan bahwa di antara lima negara, Indonesia dinilai sebagai negara paling bagus dalam hal sensitivitas gender. Penilaian ini didasarkan pada jumlah perempuan yang memimpin dalam suatu organisasi atau lembaga yang relatif banyak. Selain itu antar organisasi juga terjalinnya konsolidasi. 

Namun, tidak serta-merta Indonesia sudah seratus persen berhasil dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan. Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan, khususnya mengenai kebijakan.

Baca juga: ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan?

Meski sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tetapi belum sepenuhnya memberikan jaminan atas pencegahan dan perlindungan untuk perempuan dari kasus KBGO. Hanya terdapat tiga jenis KBGO yang tercatat dalam UU TPKS, yaitu pertama perekaman atau pengambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan. Kedua mentransmisikan dokumen elektronik yang bermuatan seksual, dan ketiga penguntitan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik yang bertujuan seksual.

Realitasnya, jurnalis perempuan dan juga perempuan yang diberitakan masih menghadapi berbagai jenis kekerasan seksual dalam ruang digital. 

Tak hanya itu, hadirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga menjadi bumerang. Ini lantaran sejumlah pasal dalam ketentuan tersebut bisa dipakai untuk mengkriminalisasi jurnalis perempuan. Hal lain adalah masih ada regulasi nasional yang tidak berpihak kepada perempuan. 

Dewan Pers, sebagai lembaga yang berfungsi melindungi pers di Indonesia, telah melakukan berbagai upaya guna menciptakan ruang aman bagi perempuan di media. Diantaranya bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemangku kebijakan juga pemerintah daerah untuk menyusun peraturan, mengidentifikasi data korban, dan mendorong isu kekerasan seksual agar dapat menjadi isu yang dibawa oleh berbagai LSM.

Hal itu merupakan bentuk konsolidasi yang dilakukan oleh lembaga dan media pers di Indonesia untuk terus melangkah lebih maju guna menciptakan media yang sensitif gender.

Fila Kamilah dan Vanya Annisa Shizuka

Reporter magang Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!