Seksisme dalam pernyataan yang merendahkan eks-Menlu Retno Marsudi

Selamat Datang di Negeri Konoha: Pelecehan Pada Retno Marsudi Soal Elektabilitas Menteri Diukur dari Jenis Kelamin

Selamat Datang di Negeri Konoha, dimana keberanian seorang pemimpin diukur dari jenis kelaminnya! Lagi-lagi pejabat publik mengeluarkan pernyataan seksis, kali ini Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid. Pernyataan seperti ini tak bisa dibiarkan.

Baru-baru ini diskusi tentang menteri luar negeri Indonesia dalam kabinet Prabowo yang digadang berjenis kelamin laki-laki menjadi perbincangan hangat. Bahkan Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid turut memberikan komentar tentang hal tersebut.

Dengan gagah berani saat diwawancarai oleh awak media, Hidayat Nur Wahid membeberkan harapan, ketika menteri luar negeri nantinya dijabat oleh seorang laki-laki, mestinya lebih berani daripada Retno Marsudi, menteri luar negeri periode sebelumnya.

Dikutip dari Detik.com, Hidayat mengatakan, “Saya kira Menlu yang akan datang sudah dibukakan karpet merah gitu ya, untuk kemudian melanjutkan minimal sama yang dilakukan Ibu Menlu. Bahkan harusnya lebih karena kemungkinan besar Menlu yang akan datang adalah laki-laki, mestinya lebih berani daripada Bu Menlu.”

Pernyataan itu disampaikan Hidayat usai menghadiri diskusi ‘Langkah Strategis dan Taktis Indonesia untuk Gaza’ di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (27/9/24).

Meskipun tersemat pujian atas kinerja Retno selama menjadi menteri, tetapi tak selayaknya ucapan seksis seperti itu diucapkan oleh seorang pemimpin. Hmm, sepertinya Hidayat lupa bahwa ‘Negeri Konoha’ pernah juga dipimpin oleh seorang perempuan!

Kenapa ya, pemikiran kita masih saja terjebak dalam stereotipe klise seperti itu? Apakah kapasitas seorang menteri diukur berdasarkan jenis kelamin? Jika benar, maka hal tersebut justru menunjukkan betapa dalamnya masalah seksisme yang kita hadapi. Bahkan sejak kapan keberanian jadi hak istimewa seorang laki-laki?

Baca juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu

Keberanian adalah suatu kemampuan untuk bertindak dalam cara besar maupun kecil sekalipun. Artinya kata ‘keberanian’ tidak berlisensi gender manapun, entah laki-laki maupun perempuan, dan Retno Marsudi adalah bukti nyatanya. Ia adalah contoh nyata bahwa perempuan bisa memimpin dengan berani.

Retno aktif memperjuangkan isu-isu global seperti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan perdamaian dunia dalam berbagai forum internasional. Salah satu sorotan penting dalam kepemimpinannya adalah dukungan terhadap Palestina. Bahkan banyak masyarakat Indonesia mengapresiasi keberaniannya mewakili Indonesia untuk menyerukan pengakuan terhadap negara Palestina dan hak-hak rakyatnya. Termasuk gagasannya yang menekankan perlunya masyarakat internasional untuk lebih aktif dalam mempromosikan perdamaian di wilayah tersebut.

Bagaimana aktivitas Retno itu tidak membuatnya disebut sebagai seorang yang pemberani? Komentar seksis Hidayat Nur Wahid mencerminkan betapa patriarkisnya negara kita. Jika pemimpin rakyat saja bisa berpikir demikian, bagaimana dengan rakyatnya?

Ini baru mempersoalkan kursi jabatan, belum masuk pada kebijakan-kebijakan yang akan diambil nantinya setelah kabinet Prabowo terbentuk. Apakah dapat dipastikan kebijakan yang dijalankan akan memperhatikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ?

Bahaya Seksisme Seperti Ular Berbisa

Membicarakan komentar yang dilontarkan Hidayat sebagai Wakil Ketua MPR RI, membuat bulu kuduk penulis merinding. Pasalnya pernyataan tersebut tak dapat dibenarkan. Meski ada yang menganggapnya sepele, tetapi perlu disadari pernyataan itu mengandung stereotipe atau pelabelan gender, dan perempuanlah yang menjadi korbannya.

Seksisme yang berujung pada stereotipe atau pelabelan gender, bagi penulis seperti ular berbisa yang mengintai di balik bayang-bayang kehidupan. Meskipun tidak selalu tampak, tetapi dampak dari seksisme mampu merusak seperti racun yang perlahan menggerogoti tubuh manusia.

Pertama, penulis menganggap seksisme seperti ular berbisa lantaran bisa menciptakan ketidakadilan yang merugikan kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Meski dalam kasus ini korban pertama adalah perempuan. Ketika salah satu gender dipandang lebih rendah, maka potensi individu untuk berkembang jadi terhambat. Ini mirip sekali dengan racun ular yang menghalangi sistem tubuh untuk berfungsi dengan baik.

Apabila pernyataan seksis yang dilontarkan Hidayat mengakar dalam alam bawah sadar masyarakat, bahwa perempuan tak lebih berani daripada laki-laki, bagaimana relasi sosial yang akan terbangun kedepan?

Baca Juga: Caleg Cantik dan Baliho “Mamah Semok” Menjual Sensualitas Perempuan? Ini Kampanye di Tengah Politik yang Sakit

Kedua, apabila cara pandang tersebut terkonstruksi dalam masyarakat, maka bisa mengarah pada kekerasan, pelecehan, dan ketidakadilan gender. Hal ini seperti diungkapkan Mansour Fakih dalam bukunya berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Mansour menjelaskan ketidakadilan gender bisa terwujud dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja ganda.

Jadi bagaimana tidak mengerikan dampak yang ditimbulkan? Lingkungan yang penuh seksisme akan menciptakan ketakutan dan ketidakamanan bagi manusia, khususnya perempuan yang sering menjadi korban.

Belum lagi kalau kita bicara dampaknya terhadap mental dan emosional seseorang yang terpapar seksisme. Ibarat racun yang merusak jiwa, ia bisa bertahan lama dan sulit disembuhkan. Mengerikan bukan dampaknya bagi masyarakat?

itulah mengapa penulis menyayangkan pernyataan seksis tersebut dapat terlontar oleh seorang wakil rakyat yang adalah pemimpin dan mestinya panutan masyarakatnya. Seharusnya ia memberikan suri teladan baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Saatnya Dorong Diskusi yang Konstruktif 

Penting bagi para pemimpin untuk berbicara dengan hati-hati dan mempertimbangkan dampak dari setiap pernyataannya di media sosial. Pasalnya pernyataan Wakil Ketua MPR RI tersebut dapat memperkokoh tembok patriarki yang selama ini telah coba diruntuhkan para perempuan dan aktivis feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Seperti kembali ke masa penjajahan, pemikiran kuno tersebut tampak tak ikut lenyap bersama era yang makin inklusif. Budaya patriarki yang berupaya dikikis dengan menumbuhkan kesadaran dan menciptakan lingkungan yang inklusif seolah-olah dinafikan dengan pernyataan tersebut.

Ketika pandangan publik didasarkan atas keyakinan bahwa perempuan secara inheren kurang berani dibanding laki-laki, maka kesempatan bagi perempuan untuk mengambil peran dan berkontribusi di ranah publik akan makin terbatas. Kondisi ini akan menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak terhadap separuh masyarakat yang adalah perempuan. Akibatnya kesetaraan gender yang menjadi prasyarat kesejahteraan akan sulit dicapai. 

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Kapasitas seseorang tak sepatutnya disangkut pautkan dengan gender karena pada dasarnya, terlepas dari gender, setiap individu memiliki potensi yang sama. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk melawan pernyataan yang merugikan dengan mendorong diskusi yang lebih konstruktif tentang peran dan potensi tanpa stereotipe gender. Dengan membangun kesadaran dan dukungan untuk kesetaraan dan inklusivitas, kita tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga memperkuat struktur sosial secara keseluruhan.

Achmad Mahbuby

Salah satu penggerak Komunitas Literasi Taman Wacana yang turut menggagas isu keperempuanan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!