Beberapa hari lalu, akun media sosial X ramai memperbincangkan soal R1 36 yang sempat jadi trending topik. Puluhan ribu postingan warganet turut meramaikan hingga menjadi viral yang diangkat dalam pemberitaan.
Itu bermula ketika potongan video yang menampilkan mobil alphard hitam yang mau mengambil jalur sebelah kanan saat tim patroli dan pengamanan (patwal) lewat dari belakang. Namun, alphard hitam itu hampir menyerempet dan kembali lagi ke jalur kiri. Di situasi itu, salah seorang tim patwal yang mengendarai motor gede (moge) tampak menunjuk-nunjuk supir alphard hitam itu yang dinilai arogan.
Dikonfirmasi kemudian, mobil itu milik Utusan Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad. “Benar adanya mobil tersebut kendaraan yang saya gunakan,” ujarnya dalam keterangan resmi ke media, Sabtu (11/1).
Namun begitu, Raffi bilang, saat kejadian itu posisi mobilnya dalam keadaan kosong. Baru akan menjemput dirinya untuk agenda kegiatan.
Berbagai reaksi warganet pun, menilai viralnya patwal RI 36 itu hanyalah puncak gunung es. Sebetulnya, “arogansi” yang ditunjukkan oleh patwal yang mengiringi pejabat itu banyak terjadi. Seperti misalnya postingan akun X bernama 12% untuk Pejabat pada 11 Januari 2025, tulisannya:
“Sebenarnya RI 36 itu hanya puncak gunung es. Ada RI RI lainnya yang arogan, padahal bukan VIP UU Lalu Lintas. Belum lagi plat “RF”. Ada juga plat “Lembaga” kaya DPR, BIN, dll. Padahal itu semua menunjukkan ketidaksamaan di mata hukum.. Seperti ada strata sosial di jalanan. Norak!!!”
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, turut buka suara atas hal itu. Merujuk pada UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dia menjelaskan soal 7 kendaraan prioritas di jalan raya.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Makan Bergizi Gratis Dimulai, Sayur Kecut dan Program Tuai Kritik
Pertama, kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas. Kedua, ambulans yang mengangkut orang sakit, Ketiga, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas. Keempat, kendaraan pimpinan lembaga negara RI. Kelima, Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing dan lembaga internasional yang jadi tamu negara. Keenam, iring-iringan pengantar jenazah. Ketujuh, konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan polisi.
Dia menilai tak semestinya semua pejabat bisa seenaknya memaksa didahulukan di jalan raya. Sebab dari aturan UU itu, hanya pimpinan lembaga negara. Sehingga, tak bisa seharusnya pejabat minta “diistimewakan”.
“Kalau itu terjadi yang ada adalah diskriminasi. Yang ada bukan persamaan hak di jalan raya. Tapi, itu ketidakadilan di jalan raya. Mestinya kan jalan ini bisa menjadi representasi persamaan di muka hukum. Tapi, yang terjadi faktanya tidak kan?,” ujar Arif kepada Konde.co, Senin (13/1/2025).
Terlebih pada konteks mobil patwal RI 36 itu, kondisinya juga tidak sedang ditumpangi Raffi Ahmad. Dalam pandangannya, itu juga tidak menyangkut hal yang harus cepat karena gawat darurat.
“Jadi kalau kemudian ada orang atau pejabat negara yang memang sebetulnya tidak berhak, tapi kemudian minta didahulukan. Bahkan, ada sikap arogan ya kita sebagai warga negara berhak untuk protes. Bahkan, menolak memberikan jalan karena yang terjadi itu penyalahgunaan wewenang yang justru itu adalah pelanggaran hukum,” terangnya.
Arif juga mengajak masyarakat tidak takut mengawasi bentuk-bentuk pelanggaran di jalan raya yang sebetulnya banyak terjadi. Termasuk saat ada orang yang tak berhak mendapatkan prioritas sebagaimana diatur dalam UU. Dia mencontohkan aksi yang pernah dilakukan Elanto Wijoyono, warga Yogyakarta yang pernah viral karena nyalinya menghentikan konvoi moge di Ring Road Utara Yogyakarta beberapa tahun silam.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pemberian Amnesti, Gimmick Politik Prabowo di Tengah Hukum yang Bias Gender?
“Kita berhak mengkritisi, protes begitu, bahkan kemudian mendorong penegakan hukum karena yang dilakukan itu adalah pelanggaran UU,” tegas dia.
Dorongan penegakan hukum itu, menurutnya, juga harus didesakkan kepada aparat kepolisian yang melakukan pengawalan. Sebab kepolisian bertanggung jawab untuk menjalankan pengawalan sesuai dengan UU yang berlaku. Tidak boleh sekadar diskresi (keputusan sepihak dalam sesuatu yang dihadapi) yang menguntungkan pribadi. Misalnya, patwal yang semestinya untuk kepentingan publik justru dijadikan “ladang bisnis”.
Maka dari itu, kepolisian dengan kewenangannya haruslah patuh pada aturan UU. Bahkan, soal tata cara prosedur pengawalannya juga tidak boleh sembarangan. Ada standar operasional prosedur (SOP) soal pengawalan yang diatur dalam Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI No 2 Tahun 2018 soal SOP pengawalan lalu lintas.
“Mengawal itu harus ada perencanaannya dan siapa yang boleh dikawal. Kemudian, standarnya tidak boleh bersikap arogan,” katanya.
Arif mengapresiasi upaya masyarakat untuk terus mengawasi kerja-kerja pejabat publik dalam hal ini. Seperti, mengambil video pelanggaran dan memviralkan. Namun dia menyesalkan, partisipasi aktif masyarakat mengawasi itu justru tak sedikit yang berujung intimidasi. Kaitannya ini, penyebar video patwal mobil RI 36 justru yang meminta maaf.
Dia juga menekankan bahwa pejabat publik lainnya ke depannya juga tidak boleh semena-mena menggunakan jabatannya untuk mendapatkan fasilitas bahkan minta diistimewakan di jalanan.
“Abdinya publik (pejabat publik) tapi ketika diawasi marah. Justru yang mengawasi yang minta maaf itu salah kaprah. Harusnya yang minta maaf pejabat publiknya, dan polisinya harus minta maaf dan melakukan evaluasi,” ujar Arif.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran
Sementara itu, pihak kepolisian melalui Wadirlantas Polda Metro Jaya, AKBP Argo Wiyono mengatakan, SOP soal pengawalan oleh petugas sudah tertuang dalam Kakorlantas Polri No 2 Tahun 2018 bahwa pengawalan polisi tetap bisa dilakukan meski mobil itu kosong.
“Bahwasanya untuk pengawalan itu ada pengawalan yang memang rangkaian berisi objek maupun rangkaian kosong,” kata Argo dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, dikutip Senin (13/1).
Argo mengatakan dalam pelaksanaannya, petugas tetap mempertimbangkan situasi dan kondisi dalam melakukan pengawalan tersebut. Artinya, pada saat terjadi kemacetan untuk menuju ke lokasi dalam waktu yang cepat. “Karena ada urgensi-urgensi, nah tentunya situasi dan kondisi tertentu ini dilihat oleh petugas,” imbuhnya.
Argo juga menerangkan dari hasil klarifikasi terhadap Brigadir DK selaku patwal RI 36, saat kejadian itu yang bersangkutan berusaha menepikan mobil yang menghalangi.
Dari video yang viral, kata Argo, juga terlihat saat kejadian itu ada sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan dan menimbulkan kemacetan.
“Setelah kita tanyakan atau klarifikasi terhadap petugas saat itu yang bersangkutan berusaha memajukan kendaraan yang berhenti dan membuat kemacetan itu, namun memang gestur yang dilihat seolah-olah seperti bersikap arogan. Namun, demikian untuk urgensinya sendiri selalu melihat situasi dan kondisi tertentu,” tutur dia.
Langgengnya Feodalisme di Kalangan Pejabat Kita
Dunia politik di Indonesia hari ini masih melanggengkan kultur feodalisme. Dimana pihak yang punya kuasa, merasa perlu mendapatkan “keistimewaan” dan harus “diutamakan”.
Bivitri Susanti, akademisi dan pakar Hukum Tata Negara sepakat akan hal itu. Kepada Konde.co, Bivitri bersuara sebagaimana pernyataan yang diunggah di postingan media sosial IG pada 12 Januari 2025 lalu. Dia menceritakan pengalamannya saat mendapatkan perlakuan “kurang menyenangkan” dari patwal karena dianggap menghalangi konvoi.
“Saya sebagai warga Jakarta juga sudah kesal soalnya. Dan agak traumatis karena beberapa waktu lalu pernah nggak sengaja seperti menghalangi pejabat, eh kami sekeluarga ditunjuki pistol! kok nggak diviralkan? Karena saya ga nyangka (ga sadar kalau itu bisa dianggap “menghalangi”), jadi ga siap ambil HP yang harus ngubek-ngubek tas,” ceritanya.
Di lain waktu, Bivitri juga bercerita belum lama ini hadir di acara pernikahan anak pejabat. Dimana pejabatnya adalah kawan dekatnya. Dia menyaksikan pengistimewaan para pejabat yang sempat membuatnya muak.
“Itulah sebabnya saya memang benci acara bertabur pejabat/ selebritas karena saya muak liat pengistimewaan gila-gilaan dari protokoler dan “masyarakat” (maaf generalisasi),” lanjutnya.
Menyoal patwal mobil Raffi Ahmad, Bibib panggilan akrab Bivitri mengatakan, sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya “siapa yang pakai mobil RI 36” tapi “kenapa pejabat mesti diistimewakan?”
Baca juga: Film Mona Lisa Smile, Kisah Dosen Menolak Tradisi Feodal Perempuan di Kampus
“Sebab ini bukan hanya terjadi di jalanan. Di acara-acara bertabur pejabat juga begitu. Misalnya di kawinan, ada jalur VIP yang akan membuat jalur umum distop untuk salaman dan lama, karena kemudian harus foto dulu. Dan semua gelar akademik pejabat harus disebutkan waktu menyambut. Padahal itu bukan forum akademik,” terang Bibib.
Dia juga mengkritik banyak pembukaan acara yang mengundang pejabat, juga harus menunggu pejabat datang. Dan pejabat juga baru boleh masuk ruangan kalau ruangan sudah agak penuh. Jadi tunggu-tungguan, padahal menurutnya kasihan yang sudah tepat waktu.
“Katanya “protokolernya memang begitu” Tapi kritis sedikitlah, tanya kenapa?
Itulah bentuk feodalisme,” tegas perempuan yang kini menjadi dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.
Bibib menjelaskan soal feodalisme yang Ia maksud adalah, ketika orang diberi nilai karena status dan kekayaannya. Padahal menurutnya, semua orang sama.
Dia pun menyoroti, orang yang tak punya jabatan tapi “dianggap” pintar juga tak perlu dianggap lebih tinggi. Karena feodalisme membutuhkan penanda, maka kepintaran juga ditandai dengan gelar akademik. Karena semua ingin dinilai lebih tinggi, maka gelar akademiknya pun didagangkan.
“Bukan kalau berhadapan dengan hukum, status jadi penting. Gilak, rusak semua sistem kita karena feodalisme di semua lini. Bahkan sebagian dari kita yang pikirannya sudah dirasuki malah jadi menghamba sosok-sosok berstatus— sampai selalu bilang “siap” dan “mohon izin”. Lawan dong. Tolak penundukan berdasarkan status,” pungkasnya.
(Sumber foto: Akun X Txt Transportasi Umum)
Artikel ini termasuk dalam serial liputan #OkeGasAwasiRezimBaru dalam rangka mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama kerjanya.