Ruang Laktasi Tak Layak, Buruh Pabrik Sering Kehilangan Alat Pumping ASI

Riset Populix & Program Studi Kajian Gender UI mengungkapkan sederet pelanggaran terhadap hak kerja buruh perempuan di pabrik. Salah satu temuannya soal hak maternitas dan ruang laktasi yang kurang layak.

Jemirah menjadi saksi penderitaan yang dialami oleh perempuan pekerja di pabrik tempat ia bekerja. Ketidakadilan mengenai upah menjadi permasalahan mendasar yang menunjukkan adanya disparitas gender dalam dunia kerja. 

Para buruh perempuan mengalami pemotongan pajak dari gajinya sebesar 15%, tetapi tidak dengan buruh laki-laki. Jemirah menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena adanya asumsi bahwa laki-laki adalah seorang tulang punggung keluarga sehingga tidak dikenakan pemotongan gaji. Nyatanya, banyak di antara perempuan pekerja yang juga merupakan seorang tulang punggung keluarga. 

Perusahaan tidak mempertimbangkan pekerja perempuannya yang kemungkinan adalah seorang ibu tunggal atau pencari nafkah utama dalam keluarga. Padahal, di pabrik tempat Jemirah bekerja, mayoritas pekerjanya adalah perempuan. 

Buruh perempuan asal Tangerang itu juga menceritakan pengalamannya melihat para perempuan pekerja di sekitarnya mengalami berbagai bentuk kekerasan. Baik seksual maupun psikis, seperti perundungan. 

“Misalnya kita izin ke toilet karena nggak mungkin seharian kita duduk menjahit, ketika buruh perempuan ke toilet agak lama kita mengantri, itu mungkin ditegur, tetapi kalau buruh laki-laki tidak ditegur,” Jemirah bercerita. 

Baca Juga: Dari Mulut Ibu, Saya Jadi Tahu Pedihnya Kehidupan Buruh Pabrik

Tak hanya itu, pelanggaran hak para buruh perempuan juga muncul dalam bentuk kekerasan seksual yang sering dilakukan oleh para atasan kepada anak buahnya. Kekerasan seksual yang terjadi juga diikuti dengan adanya ancaman yang memungkinkan para buruh perempuan ini dikeluarkan dari perusahaan apabila melaporkan tindak kekerasan tersebut. 

Keterkaitan Isu Gender dengan Perempuan Pekerja 

Diskusi mengenai gender dan perempuan sangatlah berkaitan dengan dunia kerja. Dalam bekerja, para perempuan pekerja dan kelompok marginal masih mengalami berbagai tantangan dalam kesehariannya. Perempuan memiliki sejarah panjang sebagai manusia yang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan bekerja. 

Pada jumat (27/9) lalu, Populix bekerja sama dengan Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia mengadakan seminar dengan tema “Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif: Langkah Menuju Kesetaraan Gender”. 

Ketua Program Studi Kajian Gender, Mia Siscawati, menyampaikan sambutannya mengenai pentingnya menaruh perhatian kepada perempuan dalam dunia kerja. “Kerja adalah bagian dari kehidupan manusia. Kita tahu perempuan bekerja sejak masa lampau dan tentu saja termasuk yang bekerja di berbagai sektor, termasuk sektor informal,” ujar Mia Siscawati. 

Baca Juga: ‘Aku Bunuh Kamu, Aku Gantung Lehermu’ Kesaksian Buruh Perempuan di Balik Tembok Pabrik

Pembahasan mengenai hak-hak perempuan pekerja, baik dalam sektor formal maupun informal, bukanlah suatu hal yang baru. Upaya untuk memberikan dukungan kepada para perempuan pekerja rupanya telah diperjuangkan sejak tahun 1990-an. Indonesia memiliki sejarah panjang yang berperan dalam kehidupan perempuan yang bekerja di setiap zamannya,

Pada bulan Maret 2024, Populix melakukan riset yang berjudul “Women Equality in the Workplace” yang menunjukkan bahwa kurang lebih 45% pekerja perempuan masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan di lingkungan kerja. 

Disampaikan oleh Bryan The, selaku Vice President dari Growth Populix, bahwa riset yang dilakukan oleh Populix menemukan perbedaan gaji antara pekerja laki-laki dengan perempuan hingga pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal, masih terus menghantui perempuan pekerja. Seminar yang bertujuan untuk membangun kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender di lingkungan kerja ini disempurnakan dengan tiga narasumber yang berpengalaman dalam isu perempuan pekerja. 

Pelanggaran Hak Perempuan di Lingkungan Kerja

Vivi Zabkie, Head of Social Research dari Populix menyampaikan beberapa data penting berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Populix. Vivi menyampaikan beberapa poin yang masih menjadi tantangan besar dalam isu perempuan di dunia kerja. Isu-isu tersebut antara lain promosi jabatan yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki, perusahaan yang tidak memberi dukungan kepada perempuan pekerja. Termasuk dalam bentuk cuti melahirkan dan cuti ayah, lingkungan kerja yang masih didominasi oleh laki-laki atau situasi male dominated, dan pengalaman tidak menyenangkan. 

Para perempuan buruh juga mengalami berbagai situasi seperti kesenjangan upah, pelecehan hingga kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi gender, dan respon terhadap pelecehan seksual yang tidak berpihak pada korban. 

Cerita yang disampaikan oleh Jemirah menunjukkan bahwa buruh perempuan berada dalam situasi rentan mengalami tindakan kekerasan. Relasi kuasa antara atasan, yang mayoritas adalah laki-laki, masih banyak dirasakan oleh buruh perempuan. 

Tak jarang para atasan dengan mudahnya “meminta” buruh perempuan untuk menuruti permintaannya, yang adalah bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual, dan menjanjikan adanya promosi jabatan. 

Baca Juga: Hari Buruh: Jika Daycare Jumlahnya Minim, di Mana Buruh Bisa Titipkan Anaknya Ketika Kerja?

Isu lain yang dihadapi oleh buruh perempuan di tempat Jemirah bekerja adalah tidak adanya fasilitas yang memadai kebutuhan perempuan, seperti ruang laktasi. Seringkali terjadi kehilangan ASI hingga alat pumping yang disimpan oleh beberapa buruh perempuan. 

Di sisi lain, banyak dari buruh perempuan di sana yang tidak menyadari bahwa hal-hal seperti itu. Bahwa power abuse yang berujung kekerasan seksual dan psikis juga hilangnya ASI dan alat pumping, merupakan bentuk dari pelanggaran hak mereka sebagai pekerja. 

Negara tentu berkewajiban memiliki andil dalam isu perempuan pekerja. Nurdin Adyaksono, Koordinator Kesetaraan Gender dari Direktorat Hubungan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, memaparkan kerangka hukum yang telah ditetapkan oleh negara dalam usaha memenuhi hak perempuan pekerja dan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan ramah terhadap perempuan. 

Pemaparan tersebut dimulai dengan menjelaskan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang pekerja perempuan yang harus diberi kesempatan menyusui anaknya. Deklarasi Tripartit Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja juga berkomitmen untuk menciptakan ruang kerja yang aman bagi perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual.

Kerja Domestik dan Informal yang Tidak Dihargai

Melengkapi diskusi siang itu, Hariati Sinaga,Dosen Program Studi Kajian Gender UI, menyampaikan bahwa salah satu isu yang dikaji dalam studi gender adalah ekonomi politik feminis yang sangat relevan untuk menjelaskan realitas sosial yang dihadapi oleh pekerja atau buruh perempuan. 

Hariati juga menyampaikan bahwa pengalaman perempuan dalam bekerja tidak hanya dalam lingkup produktif atau sektor formal. Tetapi juga kerja reproduktif atau sektor informal. Perempuan dihadapkan dengan dilema peran, khususnya ketika seorang perempuan telah menjadi istri atau ibu, antara kerja domestik dengan kerja formal. 

Kerja informal atau domestik yang mayoritas dikerjakan oleh perempuan pun masih diremehkan oleh masyarakat, bahkan tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan. Pekerja perempuan masih menanggung multi beban yang sering tidak dilihat oleh perusahaan tempat ia bekerja. 

“Masih ada norma bias gender yang melekat dalam masyarakat, baik dalam ekonomi, politik, dan sosial budaya,” jelas Hariati Sinaga.

Baca Juga: Sugar Generation, Upah Kecil Bikin Buruh Perempuan Sulit Akses Makanan Sehat

Pelanggaran hak perempuan pekerja yang masih banyak terjadi tentunya membutuhkan berbagai komponen untuk turut serta mengupayakan penciptaan lingkungan kerja yang aman dan setara bagi para pekerja perempuan. 

Peran negara untuk terus menciptakan dan mengimplementasikan kebijakan yang berperspektif kesetaraan gender dan inklusif. Ini menjadi kunci penting dalam isu ini yang juga harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat. Tujuannya, untuk memutus rantai patriarki yang terus membelenggu kebebasan hidup perempuan. 

Sebagaimana bekerja merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Tanpa mengenal gendernya, sehingga sudah sepatutnya segala bentuk kerja yang dikerjakan oleh perempuan mendapatkan perhatian dan penghargaan yang setara. Demi menciptakan kehidupan sejahtera bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya.

(Gambar ilustrasi: Perempuan Mahardhika)

Vanya Annisa Shizuka

Reporter magang Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!