Sherina Munaf dan Baskara Mahendra (sumber foto: Instagram @sherinamunaf)

Sherina Munaf dan Penggiringan Opini Soal Lavender Marriage dan Orientasi Seksual

Berita tentang perceraian artis Sherina Munaf dan Baskara Mahendra ramai dibincangkan di media. Berita ini tidak hanya sensasional, tapi juga menggiring opini soal orientasi seksual keduanya.

Tak cuma diberitakan secara sensasional tentang perceraiannya, informasi yang beredar juga menuliskan kabar tentang Sherina yang melakukan lavender marriage dengan Baskara. Berita yang ditulis ini, telah menggiring opini, seolah-olah benar-benar terjadi. 

Lavender marriage merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan dengan orientasi campuran laki-laki-perempuan, yang dilakukan demi kenyamanan untuk menyembunyikan orientasi seksual yang distigmatisasi secara sosial dari salah satu atau kedua pasangan.

Mari kita telusuri dari bacaan kita di sejumlah berita di media, mengapa berita yang beredar justru memojokkan Sherina bahkan menggiring opini yang bisa saja pembaca langsung mempercayai bahwa Sherina adalah seorang lesbian dan telah melakukan lavender marriage

Lihat saja beberapa berita dengan beberapa judul ini:

1. Mengenal Lavender Marriage yang Diduga Dilakukan Sherina dan Baskara, Ikatan untuk Menutupi Orientasi Seksual (Sindonews.com)

2. Isu LGBT dan Lavender Marriage Jadi Penyebab Perceraian Sherina Munaf, Benarkah? (Jabarekspres.com)

3. Dikaitkan dengan Sherina dan Baskara, Ini 4 Artis yang Jalani Lavender Marriage (Insertlive.com)

4. Perceraian Sherina Munaf dan Baskara Mahendra Dikaitkan dengan Lavender Marriage, Apa itu? (Viva.co.id)

Di luar itu, sejumlah media juga menuliskan soal lavender marriage yang semakin memperkuat desas-desus pada asumsi publik yang sedang gaduh.

Baca juga: The Voice: Pesona Charmed Circle dan Perkawinan Paksa Tunjukkan Hierarki Dalam Seksualitas

Selain dalam artikel berita, informasi seputar Sherina juga beredar di medsos. Misalnya di medsos disebutkan tentang Sherina yang ketika menikah tidak menggunakan gaun, tetapi lebih memilih menggunakan jas perempuan. Penggunaan jas perempuan yang dinilai maskulin ini lalu dikaitkan dengan kelaziman yang dilakukan para perempuan dalam perkawinan lesbian.

Informasi lain yang dikaitkan dengan Sherina yaitu, ketika Sherina pernah memberikan ucapan selamat di medsos atas adanya pelegalan perkawinan homoseksual di Amerika Serikat. Kapanlagi.com menuliskan beritanya yang berjudul “Dukung Pernikahan Sejenis, Sherina Disuruh Haters Taubat!”

“Para kaum LGBT alias Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender di Amerika Serikat sedang berbahagia. Pasalnya pada 26 Juni lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah melegalkan pernikahan sesama jenis yang sudah ditunggu-tunggu selama kurang lebih 12 tahun terakhir. Tagar LoveWins pun memenuhi media sosial seperti Instagram dan Twitter. Sederet selebriti Hollywood pun memberikan dukungan dan meluapkan kegembiraannya. Miley Cyrus berada di antaranya. Mengaku sebagai seorang biseksual, ia sampai menangis bahagia ketika mendengar keputusan ini disahkan Nggak hanya selebriti Hollywood saja, salah satu musisi cantik Indonesia, Sherina, juga memberikan dukungannya. Sherina mengunggah foto bendera pelangi, yang jadi simbol kaum LGBT di akun Instagramnya. Meski dapat kritik keras dari followersnya, namun ia justru dapat banyak dukungan karena foto ini.”

Hal ini juga menjadikan Sherina bulan-bulanan dan membuat pembaca seolah bisa menyimpulkan soal status orientasi seksual Sherina. Netizen kemudian juga ikut menggiring opini tentang ini dengan terus-menerus menyebarkannya di medsos.

Padahal kalau kita telusuri, tidak ada pernyataan apapun dari Sherina maupun Baskara tentang orientasi seksual maupun tentang lavender marriage. Jadi berita atau informasi yang dituliskan ini hanya berdasarkan asumsi, bukan fakta. Padahal esensi media adalah menyebarkan fakta, bukan informasi palsu dan menimbulkan keresahan.

Baca juga: Buat Kamu Yang Akan Menikah: Pentingnya Perjanjian Pranikah Untuk Atasi Sengketa Perkawinan

Informasi yang beredar di media ini telah menggiring opini pembaca dan seolah-olah mentahbiskan sesuatu jika ini seperti sebuah kebenaran. Informasi di medsos juga mengajak pembaca mempercayai ini sebagai kebenaran adanya atau seolah ingin menyingkap tabir yang selama ini terjadi antara Sherina dan Baskara yang selama ini memilih tutup mulut. Media dan medsos berlagak memberikan informasi pada publik yang sedang haus informasi.

Dalam komunikasi, media punya salah satu fungsi untuk menggiring opini publik, namun apa jadinya jika opini ini tidak sesuai dengan kenyataan, bahkan tak mendapatkan konfirmasi dari subjek? Yang ada hanya akan jadi hoax.  Padahal salah satu cara untuk melakukan komunikasi  adalah dengan melihat kembali bagaimana komunikasi itu pertama kali didengungkan untuk menyelesaikan persoalan. 

Kalau kita telusuri, Mafindo pernah menuliskan soal hoax dalam tujuh klasifikasi hoax versi First Draft, yaitu satir/parodi: tidak ada niat jahat, namun bisa mengecoh. Yang kedua, false connection: judul berbeda dengan isi berita, dst. False context: konten disajikan dengan narasi konteks yang salah. Misleading content: konten dipelintir untuk menjelekkan. Imposter content: tokoh publik dicatut namanya. Manipulated content: konten yang sudah ada, diubah, untuk mengecoh dan fabricated content: 100% konten palsu.

Media seharusnya berfungsi untuk menghubungkan warga yang satu dengan warga yang lain untuk hidup bersama, bukan untuk menggiring opini secara salah. 

Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of Public Sphere (MIT Press, 1989) menyatakan bahwa pemahaman seperti ini biasa terjadi untuk menggiring opini publik. Padahal kita harus mempelajari untuk mengerti bagaimana rasionalitas publik ‘dibuat’, bahwa harus ada perhatian khusus mengenai batasan antara publik dan privat.

Baca juga: Televisi Lakukan Glorifikasi: Dari Perkawinan, Kelahiran Hingga Kematian Selebritis?

‘Keampuhan’ media bisa kita lihat ketika media memberikan kesadaran baru, juga memberikan kesadaran palsu. Media kemudian juga memberikan legitimasi akan hal-hal baru. Dalam ruang personal, media bisa melakukan kekerasan, diskriminasi, stigma dan melakukan sensasionalitas yang kemudian justru mendapatkan kepercayaan publik.

Apalagi di era sekarang, nyaris hidup kita tak bisa lepas dari media. Jean Baudrillard dari Mazhab Frankfurt misalnya menyatakan bahwa: media atau layar virtual mengetengahkan sebuah keputusan yang seolah-olah benar dan terjadi karena yang terjadi di media misalnya: tidak ada perbedaan mana yang nyata dan fakta, mana yang realitas dan bukan. Inilah yang kemudian dipertanyakan kelompok postmodern, mereka mempertanyakan mana informasi yang bisa kami percaya? 

Sejumlah kalangan kritis melakukan kritik keras terhadap media, namun masyarakat tetap saja melihat media virtual sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya.

Bagaimana citra Sherina dalam kasus penggiringan opini di media ini? Media akan berpengaruh besar bagi citra seseorang. Dalam menentukan selera, media digunakan pasar untuk menginformasikan, mempersuasi pembaca melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkan pasar. Media bisa menghegemoni, mengajak tanpa sadar dan memberikan kesadaran palsu pada pembaca. Jika kondisi ini tidak segera di-counter, maka pembaca akan percaya bahwa ini merupakan sebuah kebenaran.

Pengabaian Atas Kode Etik Jurnalistik

Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Indonesia, Shinta Maharani kepada Konde.co mengungkapkan pihaknya mencatat ada belasan media yang memberitakan perceraian Sherina Munaf dengan Baskara yang dihubungkan dengan orientasi seksual. Baik itu media online maupun dalam bentuk konten video di YouTube.

Ia menambahkan, jumlah tersebut bisa jadi masih akan bertambah mengingat kemungkinan ada media yang belum tercatat. Dari pengamatannya, Shinta Maharani melihat pemberitaan sebagian media massa mengabaikan sejumlah pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Yang pertama adalah pasal 2 yang berbunyi wartawan seharusnya menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.

“Ini bisa dilakukan dengan cara menghormati hak privasi. Sementara pemberitaan perceraian Sherina Munaf itukan nggak berhubungan dengan kepentingan publik dan bersifat privat,” kata Shinta.

Kedua, yang diabaikan adalah pasal 3 yang berbunyi, wartawan Indonesia mestinya selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

“Menguji informasi kan berarti mengecek secara berulang kebenaran informasi itu. Nah kami melihat pemberitaan itu tidak menguji informasi. Jadi pemberitaannya hanya merujuk pada unggahan netizen di media sosial, salah satunya akun Lambe Turah. Kami juga melihat mengaitkan cuitan Sherina Munaf yang mendukung LGBT pada akun Twitter-nya dengan perceraiannya itu juga opini yang sifatnya menghakimi,” papar Shinta.

Ketiga, pasal lain yang diabaikan adalah pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kehidupan pribadi menyangkut kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Baca juga: Peluncuran Panduan Jurnalis Pilkada 2024, Pentingnya Suarakan Isu Gender dan Inklusi

Selanjutnya adalah pasal 8 yang menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Karena itu menurutnya jurnalis mestinya menghormati keberagaman identitas gender dalam memproduksi karya jurnalistik. 

Ia menambahkan AJI Indonesia juga melihat berita-berita tersebut hanya berbasis pada prasangka dan cenderung diskriminatif. Sementara Dewan Pers sudah mengeluarkan pedoman pemberitaan isu keberagaman. Karena itu seharusnya jurnalis menghargai kebhinekaan dan menghormati keberagaman mulai dari pemilihan ide pelaksanaan liputan hingga penulisan berita. Dalam hal ini termasuk menghormati keragaman kelompok minoritas berbasis identitas gender dan seksual.

“Karena itu kami melihat pemberitaan-pemberitaan itu mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan gender,” tegasnya.

Sementara pemberitaan media massa akan memengaruhi sikap dan pola pikir publik terhadap kelompok minoritas. Karena itu  menurut Shinta seorang jurnalis ketika menghasilkan karya jurnalistik seharusnya memperhatikan keadilan dan kesetaraan bagi semua kelompok, termasuk minoritas gender dan seksual lewat narasi yang adil. Dengan begitu karya jurnalistiknya jadi lebih inklusif.

Dampak yang Timbul dan Langkah yang Perlu Diambil

Hal lain yang juga menjadi perhatian AJI Indonesia adalah pemberitaan media-media tersebut tidak memperhatikan dampak dan tidak menghormati kehidupan pribadi seseorang yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik.

Pemberitaan tersebut ke depan justru makin memperkuat stigmatisasi terhadap minoritas gender dan seksual. Selain itu juga bisa berujung pada mempertebal diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.

“Karena kan pemberitaan media massa itu kerap jadi dasar pengambilan kebijakan pemerintahan. Jadi kalau kemudian pemberitaan itu tidak hati-hati dan mendiskriminasi kelompok minoritas gender dan seksual maka akan makin meminggirkan kelompok minoritas. Mereka juga menjadi kehilangan hak dan kesempatannya untuk ikut berperan dalam kehidupan masyarakat dan negara,” jelas Shinta.

Karena itu AJI Indonesia mendorong jurnalis untuk menghindari pemberitaan yang sifatnya stigmatisasi, stereotipe dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Dalam konteks ini adalah pemberitaan Sherina Munaf yang dikaitkan dengan orientasi seksual. Selain itu AJI Indonesia juga mengingatkan jurnalis untuk taat pada kode etik jurnalistik yang sudah dirumuskan bersama.

Shinta Maharani menambahkan pihaknya juga mendorong Dewan Pers untuk lebih progresif dalam memberikan sanksi terhadap media massa yang mengabaikan kode etik. Saat ini sudah ada berbagai aturan, kode etik, termasuk juga pedoman pemberitaan isu keberagaman.

Dewan Pers telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman pada akhir Tahun 2023. Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers menetapkan ruang lingkup keberagaman sebagai segala yang berkaitan dengan perbedaan identitas suku, agama, ras, antar golongan, dan gender.

“Saya kira seharusnya Dewan Pers itu lebih progresif, lebih masif lagi tidak hanya di atas kertas, tapi sosialisasinya juga lebih masif dan menyasar persoalannya. Lalu solusinya apa supaya pemberitaan-pemberitaan yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan tidak menghormati keragaman identitas gender nggak berulang lagi,” pungkasnya.

(sumber foto: Instagram Sherina Munaf)

Luviana dan Anita Dhewy

Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!