Kekerasan Seksual Terhadap Turis Mancanegara Kembali Terjadi, Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Perempuan WNA?

Beberapa hari lalu dua perempuan warga negara asing yang sedang berlibur di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Kejadian ini memunculkan pertanyaan bagaimana perlindungan hukum bagi perempuan turis mancanegara yang jadi korban kekerasan seksual?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo kakak Klinik Hukum Perempuan. Saya sangat prihatin karena sekarang ini banyak kasus kekerasan seksual mulai dari pelecehan seksual hingga perkosaan terjadi terhadap perempuan berkewarganegaraan asing (turis). Apakah kasusnya bisa diselesaikan di Indonesia dengan hukum Indonesia mengingat korban bukan orang Indonesia? Mohon penjelasannya, terima kasih. (Dita, Bekasi)

Jawab:

Halo Dita, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami juga prihatin atas tingginya angka kekerasan seksual pada turis dari negara lain (WNA) yang sedang berlibur di Indonesia.

Mengenai pertanyaan Anda, apakah kasus kekerasan seksual yang menimpa korban berkewarganegaraan asing atau WNA dapat diselesaikan di Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia? Berikut adalah penjelasan kami.

Dalam hukum Indonesia, pelaku tindak pidana terhadap warga negara asing (WNA) yang melakukan perbuatannya di dalam wilayah Indonesia akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. 

Mengenai keberlakuan hukum pidana Indonesia bagi siapapun yang berada di wilayah Indonesia pada saat peristiwa pidana terjadi ini mengacu kepada beberapa prinsip hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

Baca Juga: Jadi Korban Manipulasi Foto Sensual dengan AI, Bagaimana Menjerat Hukum Pelaku?

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 51-57) menyebutkan prinsip-prinsip pemberlakuan hukum pidana di Indonesia. Prinsip tersebut meliputi:

1.  Prinsip Teritorialitas, yaitu prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia. Karena itu siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia akan dijerat hukum Indonesia. Dengan begitu walaupun korban berkewarganegaraan asing, ia berhak mendapatkan keadilan atas penegakan hukum di Indonesia. Prinsip teritorialitas ini diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023). 

2.   Prinsip Nasional Aktif. Ini dianut dalam Pasal 5 KUHP dan Pasal 8 UU 1/2023 bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara.

3.   Prinsip Nasional Pasif. Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan. Oleh karena itu siapa saja termasuk orang asing yang melakukannya di mana saja pantas dihukum oleh pengadilan negara Indonesia. Prinsip ini diatur dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 UU 1/2023.

Baca Juga: Viral Kasus Kriminalisasi Guru, Apakah Guru Yang Lakukan Tindakan Pendisiplinan Pada Siswa Bisa Dipidana?

4.  Prinsip Universalitas. Prinsip ini melihat pada tata hukum internasional, dengan melibatkan kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Konsekuensinya kalau ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara, maka layak kalau tindak pidana itu dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara. Ini dilakukan tanpa memedulikan siapa yang melakukan dan dimana.

Dengan demikian pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada korban WNA di dalam wilayah Indonesia, seperti kasus di Bali, Bandung dan beberapa wilayah lain di Indonesia, maka penyelesaian hukumnya dilakukan di wilayah tempat terjadinya peristiwa pidana tersebut. Misalnya pada kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan WNA saat berlibur di Bali yang diperkosa oleh tukang ojek. Proses hukumnya ditangani oleh kepolisian wilayah Bali. Begitu juga dengan perempuan WNA yang dilecehkan di Jalan Braga, Bandung, maka penyelesaian kasusnya ditangani oleh kepolisian wilayah Bandung.

Secara prosedural proses pelaporan kasusnya di Kepolisian berlaku sama seperti pada korban WNI. Yang membedakan hanya di masalah identitas kewarganegaraan saja, apakah WNI atau WNA.

Baca Juga: Apakah Suami Yang Mencuri Harta Benda Istri Bisa Dipidana?

Selain itu, korban kekerasan seksual WNA juga memiliki hak-hak korban, seperti: hak atas informasi seluruh proses dan hasil penanganan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan bantuan hukum atau pendampingan hukum, hak atas penguatan psikologis, dan hak atas pelayanan medis/kesehatan. 

Mengenai aturan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan seksual diatur dalam beberapa peraturan, di antaranya:

  1. Pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Pasal ini menyebutkan pelaku yang memaksa seseorang bersetubuh dengannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun. 
  2. Pasal 289 KUHP tentang memaksa orang lain melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, yang dapat dipidana penjara hingga 9 tahun. 
  3. Pasal 290 KUHP tentang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang tidak berdaya, atau yang berusia di bawah 15 tahun, atau belum waktunya menikah. Ancaman yang dikenakan adalah ipidana penjara hingga 7 tahun. 
  4. Pasal 291 KUHP tentang kejahatan yang mengakibatkan luka berat atau kematian, yang dapat dipidana penjara hingga 12 tahun atau 15 tahun. 
  5. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tentang merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Perbuatan ini dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Baca Juga: Anak Saya Di-bully di Sekolah, Bagaimana Aturan Hukumnya Bagi Pelaku?

Pasal-pasal yang diuraikan di atas hanyalah beberapa contoh saja. Ini lantaran pemberlakuan pasal yang dikenakan kepada pelaku tentunya berdasar pada bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi. Terlebih Indonesia sekarang telah memiliki UU TPKS yang mengatur secara komprehensif mengenai tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Merujuk Pasal 1 angka 1 UU TPKS, yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini.

Sedangkan pengertian korban dalam UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga: Konten Intimnya Disebar Tanpa Persetujuan, Apakah Korban Bisa Dipidana?

Adapun jenis-jenis kekerasan seksual secara hukum dapat mengacu ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, terdiri atas:

  1. pelecehan seksual nonfisik, yaitu pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan;
  2. pelecehan seksual fisik;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan sterilisasi;
  5. pemaksaan perkawinan;
  6. penyiksaan seksual;
  7. eksploitasi seksual;
  8. perbudakan seksual; dan
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik. 
Baca Juga: Anak Saya Dipaksa Menikah Tanpa Seizin Saya, Apakah Pernikahannya Bisa Dibatalkan?

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) UU TPKS menerangkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi:

  1. perkosaan;
  2. perbuatan cabul;
  3. persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;
  4. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
  5. pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  6. pemaksaan pelacuran;
  7. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  8. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  9. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan
  10. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Demikian penjelasan kami, semoga informasi ini bermanfaat. 

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email ke Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

Editor: Anita Dhewy

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!