Kamis, 27 Maret 2025 malam hari. Para ibu dengan cepat menggelar pertemuan secara online.
Ide-ide untuk melakukan aksi turun ke jalan kemudian keluar, tak tega melihat anak-anak mahasiswa dipukuli.
Malam itu banyak mahasiswa dipukuli oleh aparat ketika sedang melakukan aksi batalkan UU TNI di DPR RI, di Jakarta. Pemukulan mahasiswa juga terjadi di Jakarta, Surabaya, Malang, Kediri, dan berbagai kota lain.
Semangat untuk turun ke jalan mendukung mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil yang mendapat kekerasan dari aparat ketika melakukan aksi terlontar cepat. Ini merupakan amarah bagaimana para ibu sedih, prihatin dengan kondisi ini.
Maka para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Indonesia ini kemudian turun ke jalan melakukan aksi pada, 28 Maret 2025.
“Inisiatif Suara Ibu Indonesia digagas karena dua hal, yakni keinginan untuk melindungi anak-anak mahasiswa yang berdemo menolak RUU dan UU TNI dari kekerasan aparat, dan menyampaikan protes pada pangkal masalahnya, yaitu disahkannya UU TNI,” kata Avianti Armand, arsitek dan penulis, penggagas Suara Ibu Indonesia.
Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis

Para Ibu menyerukan hal yang sama dengan mahasiswa, yakni menolak wacana dwifungsi TNI dan meminta TNI tetap berada dalam fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan negara sesuai UU 34 Tahun 2004 yang menyebut bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak kembali ditarik masuk ke ranah politik dan bisnis seperti terjadi di masa Orde Baru.
Aksi suara para ibu kemudian digelar di Sarinah, Thamrin, Jakarta pada 28 Maret 2025 dengan persiapan yang sangat cepat dan marathon.
Dalam orasinya, budayawan Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengatakan, 27 tahun lalu anaknya melakukan aksi menentang dwifungsi TNI. Kini ia sudah bercucu, masih melakukan hal yang sama karena prihatin terhadap situasi sosial.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan Indonesia selalu berhasil keluar dari krisis.
“Dan gerakan mahasiswa selalu menjadi motor penggerak perubahan,” katanya.
Baca Juga: Kegilaan pada Mayor Teddy di TikTok: Bentuk Pengidolaan pada Militer di Media Sosial
Sebelumnya, Filsuf Karlina Supelli bersama Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan pada 1998 menggagas gerakan Suara Ibu Peduli, serta banyak tokoh perempuan lain menyambut baik inisiatif Suara Ibu Indonesia.
“Kehadiran ibu-ibu dalam gelombang protes ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang genting. Kalau ibu-ibu sudah turun ke jalan, pasti ada situasi kritis yang memaksa mereka bertindak. Secara naluriah, perempuan memiliki sifat melindungi keluarga, terutama anak-anak yang dicintainya. Dalam keadaan genting, seorang Ibu akan bersedia “pasang badan”, menjadi tameng untuk melindungi anak-anaknya,” Karlina mengatakan.
Inisiatif Suara Ibu Indonesia terinspirasi dan merujuk pada sejarah Suara Ibu Peduli sebelum reformasi dan gerakan Kamisan yang telah berlangsung selama 18 tahun yang digagas oleh Sumarsih Maria, ibunda dari Wawan yang tewas karena kekerasan aparat dalam Tragedi Semanggi bersama Organisasi Kontras dan sejumlah organisasi HAM lainnya.

“Kami berharap bahwa dengan terlibatnya ibu-ibu dalam demo menolak UU TNI, gerakan ini bisa menggugah hati para ibu di seluruh Indonesia dan akan terus membesar hingga punya dampak yang serius dalam mendorong dibatalkannya UU TNI,” ujar Avianti.
Para aktivis yang hadir juga melakukan aksi dan orasi penolakannya pada UU TNI serta mendukung Gerakan Suara Ibu Indonesia. Mereka antaralain Ririn Sefsani, Luviana Ariyanti dari Konde.co, Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia, Siti Rubaidah, Nong Darol Mahmada, Ika Augustina dari Kalyanamitra, Sita Supomo dari Indonesia untuk Kemanusiaan (Ika), Suci dari Perempuan Mahardhika dan sejumlah mahasiswa dari STF Driyarkara, Jakarta. Mereka menyatakan tak mau kembali ke orde baru
“Kami tak mau kembali ke Orde Baru, di mana banyak korban menanggung luka, para perempuan menanggung luka.”
Baca Juga: Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan
Para ibu di Jakarta juga membacakan puisi untuk anak-anak yang terjun ke medan aksi.
Kami adalah Ibu Indonesia.
Kami menyuarakan kesedihan dan keprihatinan para ibu di seluruh Indonesia yang mengharapkan Indonesia yang lebih baik bagi generasi anak-anak kami.
Kami tidak rela masa depan anak-anak kami diambil oleh keserakahan para elite pejabat yang menempuh cara-cara kotor untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kami tidak rela anak-anak kami hidup di Indonesia yang kehilangan kemanusiaan, keadilan, keberadaban, dan kemerdekaan bersuara.
Kami tidak rela anak-anak kami berhadapan dengan kekerasan aparat demi memperjuangkan demokrasi yang disudutkan oleh senapan dan diinjak-injak lars tentara.
Karena itu, kami tidak akan melarang anak-anak kami, para mahasiswa untuk memperjuangkan apa yang direnggut dari masa depan mereka.
Kami ingin anak-anak kami memperoleh perlindungan dalam perjuangan yang mereka lakukan. Jangan ada serangan terhadap tim medis yang menyelamatkan mereka dari pukulan aparat, jangan ada yang dihilangkan. Jangan ulangi sejarah kelam negeri ini pada generasi penentu masa depan ini.
Kami, Ibu Indonesia, akan mendampingi perjuangan mereka dengan ikut turun ke jalan, berjuang bersama anak-anak kami, melawan kekuasaan yang korup.
Baca Juga: Kekerasan Saat Aksi, Respon Pemerintah Nirempati: Dear Penguasa, Kami Dipukuli Polisi, Kalian Malah ‘Party’
Aksi Gerakan Suara Ibu Indonesia lainnya juga dilakukan di Yogyakarta. Bertempat di Malioboro, Yogyakarta, aksi digelar 29 Maret 2025.

Amalinda Savirani, salah satu ibu dan mewakili dosen yang melakukan aksi menyatakan bahwa praktek kekerasan pada warga sipil adalah salah satu tanda kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia dan praktek menyempitkan ruang sipil. Polisi dan tentara adalah aparat negara yang memiliki keabsahan untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan negara, tapi bukan untuk memukuli mahasiswa.

“Demonstrasi adalah bentuk praktik demokrasi yang sehat. Aparat seharusnya mengedepankan pendekatan yang humanis, persuasif, dan terbuka terhadap dialog, bukan merespon dengan kekerasan. Kita pernah memiliki sejarah kelam praktek pembungkaman suara masyarakat, praktek kekerasan, penculikan warga sipil, bahkan pembunuhan aktivis dan mahasiswa. Kami tidak menginginkan sejarah gelap itu terulang lagi. Sudah saatnya aparat, baik polisi maupun TNI, mengevaluasi ulang pendekatan mereka dalam merespons aspirasi publik, serta berbenah diri dalam menyikapi aksi demonstrasi.”
Beberapa orasi juga dilakukan aktivis 98 seperti Ita Fatia Nadia, dan juga perwakilan muda seperti Kalis Mardiasih, dll.
Baca Juga: 4 Dampak Psikologis UU TNI Bagi Masyarakat Sipil

Mereka menuntut agar pemerintah menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap demonstrasi mahasiswa, menindak tegas aparat yang melakukan tindakan represif dan melanggar HAM, membatalkan Undang-Undang (UU) TNI dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Juga menjamin ruang demokrasi yang aman bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut. Lalu mendorong solidaritas sesama kelompok masyarakat sipil agar tidak mudah diadu domba dalam melawan otoritarianisme dan praktek kekerasan oleh negara

Sebelumnya, selama 2 pekan terakhir, mahasiswa bersama masyarakat Indonesia di berbagai daerah berdemonstrasi menolak Revisi Undang-Undang TNI. Menurut draf yang beredar, salah satu pasal dalam RUU TNI membolehkan perwira TNI aktif untuk menjabat di 14 kementerian / lembaga (K/L), yang seharusnya menjadi ruang kedudukan sipil. Revisi UU TNI tersebut berpotensi semakin memperkuat dwifungsi TNI yang menjarah kebebasan rakyat sipil, khususnya perempuan dan kelompok rentan, ketika TNI diperbolehkan mengurusi persoalan sipil.
Puluhan kota menggelar demonstrasi yang dibalas dengan represivitas polisi dan tentara. Masyarakat dikejar-kejar, dipukuli, dilecehkan, dan ditangkap.
Di tengah semua itu, lingkaran penguasa seakan-akan tidak peduli dan tutup mata. Presiden RI Prabowo Subianto diketahui menonton pertandingan Tim Sepak Bola Nasional Indonesia pada malam yang sama ketika massa aksi dipukuli aparat. Ketua DPR-RI Puan Maharani, yang secara langsung mensahkan Revisi UU TNI, menghabiskan waktu bersama para anak presiden RI untuk merayakan ulang tahun Didit Subianto, anak dari Prabowo dan Titiek Soeharto.
Sementara itu, para anggota DPR-RI tidak mengindahkan kritik terhadap Revisi UU TNI dan prosesnya yang minim partisipasi rakyat. Mereka malah mempertanyakan alasan demo dan mencibir massa aksi yang mereka sebut ‘anarkis’.
Baca Juga: Kamus Feminis: Dari Ndasmu, Anjing Menggonggong Hingga Antek Asing, Label Sebagai Alat Pembungkaman

Aksi para ibu ini merupakan bentuk kemarahan pada situasi yang terjadi.
(Foto: Luviana dan Pito Agustin/Konde.co)