Peran dan norma gender, yang sering dianggap sebagai keniscayaan alamiah, sejatinya adalah hasil konstruksi sosial yang panjang.
Untuk memahami akar ketidakadilan ini, kita perlu menelisik lebih dalam bagaimana sosialisasi, sebuah proses fundamental dalam kehidupan sosial, membentuk individu dan mengukir identitas kita. Termasuk kaitannya dalam pengasuhan di keluarga.
Dalam setiap helai perjalanan hidup, sosialisasi mengajarkan kita norma, nilai, dan kebiasaan masyarakat, serta membentuk identitas kita dengan menanamkan peran-peran yang sudah ditentukan.
Namun, proses ini jauh dari netral. Sosialisasi gender (Gender socialization) adalah sebuah wujud sosialisasi yang lebih terarah, yakni bagaimana anak-anak dari jenis kelamin yang berbeda disiapkan untuk menjalani peran-peran gender mereka (Giddens, 1993) dan diajarkan makna sejati menjadi laki-laki atau perempuan (Morris, 1998; Condry, 1976).
Proses tersebut dimulai sejak kita pertama kali menyentuh dunia, dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana, “apakah ini anak laki-laki atau perempuan?” (Glietman, 2000). Peran-peran gender kita diserap melalui agen-agen sosialisasi, yang bagaikan “guru-guru” yang membimbing kita dalam labirin kehidupan.
Sosialisasi gender ini, sejak awal, mengukuhkan perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, bahkan sebelum mereka hadir ke dunia. Warna merah muda, misalnya, sudah disiapkan untuk bayi perempuan, sementara biru untuk bayi laki-laki; dari dekorasi kamar hingga jenis mainan, bahkan pola asuh, semuanya adalah isyarat-isyarat halus yang perlahan menggiring mereka menuju peran-peran tertentu (Leaper & Farkas, 2014; Abbott et al., 2005).
Meskipun terlihat sepele, setiap isyarat ini adalah benih-benih yang kemudian berkembang menjadi pembagian dunia yang terasa tak terelakkan: dunia perempuan dan dunia laki-laki, yang terus-menerus diperkuat oleh norma-norma yang berputar tanpa henti di dalam keluarga, sekolah, pergaulan, dan media (Grusec & Davidov, 2014).
Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Di dalam keluarga, tempat di mana kita pertama kali mengenal dunia, sosialisasi gender bukan sekadar teori. Melainkan, praktik yang diwujudkan dalam setiap keputusan kecil. Orang tua, tanpa sadar atau mungkin dengan kesadaran penuh, menciptakan dunia bergender mereka sendiri. Seperti, melalui pilihan mainan, pakaian, dan aktivitas yang tampaknya biasa.
Anak laki-laki diajarkan untuk mengejar petualangan maskulin. Sementara, anak perempuan diharapkan bermain boneka. Seakan setiap pilihan tersebut sudah ditentukan oleh takdir (Blakemore & Hill, 2008; Bandura & Bussey, 2004). Sikap orang tua terhadap peran gender membentuk karakter dan pola pikir anak-anak mereka, memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran “tepat” yang harus mereka jalani.
Sosialisasi gender dalam keluarga ini menjadi kekuatan yang tak tampak, namun sangat menentukan. Orang tua yang memegang teguh pandangan tradisional terhadap peran gender sering kali memandang pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari naluri perempuan. Dan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini pun akhirnya menginternalisasi pandangan tersebut. Namun, pengaruh keluarga tidak hanya terbatas pada perilaku anak di rumah.
Keluarga juga membentuk cara anak-anak melihat dunia luar, menciptakan ekspektasi tentang pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Keluarga tidak hanya mengajarkan, tetapi juga menumbuhkan harapan-harapan tertentu tentang pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin. Serta mengarahkan anak-anak menuju pencapaian yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Pengalaman Pribadi: Ketimpangan dalam Beban Domestik
Dalam ruang keluarga, di mana idealnya keadilan bernaung, saya mulai menyadari sejak kecil bahwa tanggung jawab domestik tidak pernah dibagi secara merata. Pekerjaan rumah seperti membersihkan, merapikan, hingga mengurus kebutuhan harian, seolah menjadi tugas yang tak terelakkan bagi perempuan.
Tanggung jawab itu begitu mengakar dalam pikiran saya, seolah-olah ia adalah bagian dari takdir saya sebagai perempuan. Ketika saya mulai bertanya, “Mengapa hanya perempuan yang memikul beban ini?” Jawabannya justru terpendam dalam keheningan—beban ini dianggap alami, tak perlu dipertanyakan.
Keluarga, sebagai ruang pertama untuk belajar, mengajarkan bahwa pekerjaan domestik bukan hanya sebuah rutinitas, melainkan beban yang tak boleh lepas dari pundak perempuan. Pada saat yang sama, anak laki-laki belajar untuk tidak merasa perlu mengurus hal-hal domestik yang dianggap “sepele”. Seperti, menata pakaian atau merapikan tempat tidur. Dikarenakan ada perempuan, entah ibu atau saudara perempuannya, yang selalu harus siap sedia untuk menyelesaikannya. Ketergantungan ini diterima begitu saja, tak pernah dipertanyakan.
Baca juga: Kamus Feminis: di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan
Di satu sisi, perempuan dibebani dengan ekspektasi yang jauh lebih berat. Mereka tidak hanya harus mengurus kebutuhan diri sendiri, tetapi juga mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seorang perempuan diharapkan tahu kapan sabun mandi harus diganti, di mana menyimpan pakaian kotor yang akan dicuci, atau kapan sampah dapur harus dibuang. Selain itu, mereka juga harus mengingat setiap detail kecil yang sering diabaikan oleh anggota keluarga lainnya. Seperti di mana handuk kering disimpan, letak peralatan pembersih, atau memastikan rempah-rempah dapur tetap tersedia dan terorganisir.
Tanggung jawab ini sering dianggap sebagai bagian dari naluri atau keahlian alami perempuan. Seolah-olah kemampuan tersebut bersifat biologis. Padahal, semua itu adalah konstruksi sosial yang mengakar kuat, membebani perempuan dengan tugas domestik yang tak tampak, namun sangat melelahkan.
Pembakuan peran yang terjalin halus, simbolis, dan tak kasat mata ini akhirnya membuat ketidaksetaraan tersebut diterima begitu saja. Bahkan diwariskan antar generasi. Ketika seorang perempuan tidak mengetahui sesuatu yang dianggap “wajar” dalam ranah domestik, ia dipandang aneh, dengan penilaian yang merendahkan: “Bagaimana bisa kamu tidak tahu?”
Konstruksi Gender dan Ketimpangan yang Tersembunyi
Ketimpangan ini bukan sekadar soal pekerjaan rumah, tetapi soal bagaimana identitas gender dikonstruksi dan dilekatkan melalui norma-norma yang tampaknya sepele, namun sangat menentukan. Perempuan dipaksa memikul beban yang diabaikan laki-laki. Sementara, laki-laki dibebaskan dari tanggung jawab yang dianggap sepele. Tetapi justru dalam hal-hal sepele inilah ketimpangan itu berakar, menjalar, dan menancap sebagai sesuatu yang tampak “wajar”.
Sosialisasi gender adalah proses sepanjang hidup yang membentuk setiap individu. Serta menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan norma agar diterima oleh masyarakat. Orang tua, sebagai agen pertama dalam perjalanan hidup, membentuk pengalaman dan harapan anak-anak mereka. Keyakinan bahwa anak perempuan atau laki-laki dapat sukses dalam karier tertentu, dan bagaimana mereka menghargai pekerjaan tersebut, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diajarkan orang tua (Wigfield & Eccles, 2000).
Sosialisasi gender yang kuat dalam keluarga mempengaruhi anak-anak dengan cara yang tak terhingga. Setiap tindakan orang tua, baik yang disadari maupun yang tidak, mengirimkan pesan tentang peran mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Keputusan mengenai siapa yang melakukan pekerjaan rumah, siapa yang diberi kebebasan lebih besar, atau siapa yang diharapkan untuk merawat—semuanya membentuk pola pikir anak mengenai posisi mereka dalam tatanan sosial yang lebih besar.
Melalui proses ini, peran gender yang dibakukan tidak hanya diterima, tetapi juga diyakini sebagai takdir yang tidak bisa diubah.
Pada akhirnya, sosialisasi gender adalah rantai panjang yang mengikat kita dalam pola-pola baku. Tanpa kesadaran kritis, kita akan terus mewariskan ketimpangan ini dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itu lantas, membentuk takdir kita dalam bayang-bayang norma-norma yang tak pernah kita pertanyakan.
Hanya dengan membongkar lapisan-lapisan ini, kita dapat membuka ruang bagi keadilan yang lebih luas. Yakni dengan setiap individu dapat berkembang tanpa terhalang oleh peran yang ditentukan oleh jenis kelamin.
(Editor: Nurul Nur Azizah)