Okupasi Ruang Lewat Aksi Piknik Melawan, Demo Damai yang Tetap Bikin Pemerintah Gerah

Masyarakat sipil menggelar aksi Piknik Melawan dengan memasang tenda dan tikar untuk bercengkrama sambil melawan. Okupasi ruang publik mereka lakukan. Namun, meski demo mereka sudah ‘damai’, rupanya pemerintah masih gerah dengan protes rakyat.

Siang menjelang sore, langit Jakarta cukup terik pada Selasa (8/4/2025). Saat itu, saya bergegas dari Stasiun Palmerah menuju Gerbang Pancasila Gedung DPR-RI. Langkah kaki dipercepat begitu menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Saya pun tiba di lokasi aksi Piknik Melawan, disambut pemandangan tenda-tenda kemah dan orang-orang yang duduk di lahan-lahan kosong depan gerbang. Mereka berceloteh dan memainkan gitar sambil diawasi berpasang-pasang mata awas para petugas keamanan di sekitar pagar.

Piknik Melawan adalah aksi masyarakat sipil yang digelar di kawasan luar Gedung DPR-RI. Aksi mendirikan tenda dan berkemah ini sebetulnya telah berlangsung sejak beberapa hari sebelum pengesahan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Kamis (20/3/2025). Sempat bereskalasi menjadi unjuk rasa yang juga berlangsung di banyak kota selain Jakarta, kegiatan berkemah di Gedung DPR-RI kembali dilakukan pada Senin (7/4/2025) dan seterusnya, setelah pekan libur Lebaran Idulfitri.

Melalui rilis pers, Piknik Melawan menyebut aksinya ‘nirkekerasan’. Meski format aksi kali ini lebih ‘santai’, massa aksi tetap menyuarakan penolakan terhadap penguatan militerisme melalui UU TNI. Selain itu, krisis demokrasi dan ruang aman bagi masyarakat sipil juga menjadi alasan aksi piknik berlangsung kembali.

“Piknik Melawan adalah aksi nirkekerasan, penuh warna dan harapan, yang menolak menguatnya militerisme melalui UU TNI,” demikian penjelasan dalam rilis pers yang diterima Konde.co, Senin (14/4/2025). “Sebab kondisi ini sangat berbahaya untuk masa depan kehidupan sipil di Indonesia, khususnya bagi kelompok rentan dan marginal.”

Mereka juga mengatakan, Piknik Melawan hadir dengan suasana yang aman dan nyaman. “Tapi di balik atmosfer yang santai, ada keresahan mendalam: demokrasi yang makin menyempit, ruang-ruang aman yang terancam lenyap, dan kehidupan rakyat yang makin sulit. Hal itu buah dari oligarki-militerisme yang dibiarkan jadi aktor utama di negara ini.”

‘Demo Damai’ yang Seperti Apa Lagi?

Situasi Piknik Melawan, setidaknya ketika saya hadir, sangat berbeda dari aksi-aksi massa yang selama ini lazim diketahui. Malah, seharusnya inilah bentuk ‘demo damai’ yang disebutkan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam wawancara eksklusif bersama enam pemimpin redaksi media di Indonesia. Wawancara tersebut tayang pada Senin (7/4/2025), tepat di hari pertama Piknik Melawan berlangsung.

Dalam wawancara bertajuk ‘Presiden Prabowo Menjawab’ tersebut, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis menanyakan komentar Prabowo atas maraknya demonstrasi di seluruh penjuru Indonesia sejak awal masa pemerintahannya. Terbaru adalah demonstrasi menolak militerisme dan menuntut pencabutan UU TNI pada akhir Maret 2025. Demonstrasi juga diiringi kekerasan, brutalitas, dan kriminalisasi aparat polisi dan tentara terhadap massa aksi.

Prabowo menjawab dengan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara besar yang, “Sepakat untuk berdemokrasi.” Ia juga menyebut bahwa demonstrasi dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Prabowo menambahkan, hak untuk berdemo harus dihormati—dengan catatan bahwa demonstrasi berlangsung ‘damai’.

“Kita bukan anak kecil,” ujar Prabowo. “Kita hormati hak untuk berdemo, asal demonya damai. Tidak mau menyulut kerusuhan. Kalau bakar-bakar ban, itu bukan damai.”

Sejak pertama kali berlangsung, Piknik Melawan telah memenuhi kriteria ‘demo damai’ tersebut. Ia ‘damai’, tidak ‘menyulut kerusuhan’ dengan hanya menggelar tenda dan tikar, dan tidak ‘bakar ban’; hanya bakar daging ayam dan ikan untuk disantap.

Aksi Piknik Melawan juga diisi oleh berbagai kegiatan menarik oleh orang-orang muda. Selama berhari-hari, mereka makan bersama, memainkan musik, membuat gelang, menggelar lapak baca buku, hingga mewarnai kuku. Tidak ada lempar-lemparan botol dan batu, tidak ada pekik-pekik kemarahan, tidak ada seruan garang dari pengeras suara. Piknik Melawan menjadi ruang bagi masyarakat sipil untuk melawan kezaliman pemerintah dengan cara yang ‘tertib’—seharusnya sesuai dengan ‘aksi damai’ yang diinginkan Prabowo.

Baca juga: Suara Ibu Indonesia: Batalkan UU TNI, Kami Tak Rela Aparat Lakukan Kekerasan Pada Anak Kami

Sayangnya, bahkan aksi membangun ruang aman dan nyaman pun mengusik kenyamanan pejabat dan aparat. Pukul 4 sore—belum lama saya bergabung dan berbincang-bincang dengan peserta aksi—pasukan keamanan Gedung DPR-RI merangsek keluar dari balik pagar. Tanpa banyak bicara, mereka mengangkut tenda dan barang-barang peserta ke trotoar di seberang jalan. Para peserta pun sontak menyoraki mereka.

Salah satu pihak keamanan mengatakan, “Ini mengganggu ketertiban umum di sini (area depan Gerbang Pancasila DPR-RI).” Mereka juga menyebut area tersebut, “Bukan ruang publik.” Perdebatan alot antara peserta aksi dan pihak keamanan tetap berujung pada penggusuran titik aksi ke trotoar jalan.

Meski pindah, massa aksi bertahan di sana sampai malam dan keesokan harinya. Berbagai aktivitas tetap dilakukan. Mereka juga membuat papan pengumuman yang berisi permintaan maaf kepada para pejalan kaki yang terganggu dengan tenda-tenda mereka, sebab yang memindahkannya ke trotoar adalah pihak keamanan Gedung DPR-RI.

Di sisi lain, aktivitas mereka tetap mengusik aparat. Meski sudah tidak menggelar aksi di area persis di depan Gerbang Pancasila, massa kembali dihampiri aparat pada Rabu (9/4/2025). Kali ini pasukan yang membubarkan paksa adalah Satpol PP. Mereka membongkar paksa tenda, bahkan ketika masih ada peserta aksi perempuan di dalamnya, dan melakukan pemukulan. Tenda-tenda juga dirusak dan diambil beserta sejumlah barang di lokasi.

Intimidasi, penggusuran, hingga pembubaran bukan akhir dari Piknik Melawan. Sampai berita ini rampung pada Rabu (16/4/2025), Piknik Melawan kembali hadir di kawasan Gerbang Pancasila DPR-RI. Dengan beragam kegiatan, mereka mengisi ruang-ruang publik yang selama ini dijauhkan dari orang-orang yang seharusnya terwakilkan di gedung DPR: rakyat.

Okupasi Ruang dan Pemaknaan Ulang Ruang Publik

Piknik Melawan hanya satu dari sekian contoh aksi-aksi okupasi ruang oleh masyarakat sipil. Mereka bukan hanya berdemonstrasi, tapi mencoba memaknai ulang ‘ruang publik (public sphere)’.

Dalam gerakan massa, okupasi ruang merujuk pada tindakan kolektif kelompok atau komunitas untuk mengambil alih, menempati, atau menggunakan ruang tertentu. Ini berlaku baik untuk ruang publik maupun privat. Aksi ini merupakan bagian dari strategi protes, perlawanan, atau ekspresi politik.

Biasanya, okupasi ruang dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi dan menandai kehadiran massa. Hal ini merupakan penegasan bahwa mereka punya kepentingan atau aspirasi di ruang tersebut. Selain itu, dengan merebut ruang yang biasanya digunakan untuk kepentingan lain seperti komersial, pemerintahan, dan semacamnya, okupasi bisa mengganggu rutinitas dan mengguncang status quo. Tindakan ini memaksa perhatian publik atau pemerintah tertuju pada massa dan tuntutannya.

Ruang-ruang yang diokupasi pun sering kali punya makna simbolik. Dalam Piknik Melawan, misalnya, ruang yang dipilih adalah gedung DPR-RI. Lokasi ini dipilih karena, jika mengamini namanya, gedung DPR-RI seharusnya adalah gedung rakyat. Ia bukan sekadar balai perkumpulan para elite pencatut kepentingan rakyat. Maka ketika eksistensi gedung DPR RI mestinya boleh dan harus dimaknai sebagai ruang publik—ruang dari, oleh, dan untuk rakyat sipil.

Sementara itu, dalam kajian geografi kritis dan studi gerakan sosial, okupasi ruang dilihat sebagai praktik ruang (spatial practice). Ruang-ruang yang direbut kembali, digunakan oleh aktor-aktor sosial untuk menantang dominasi, aturan, atau tata ruang yang ditetapkan oleh kekuasaan.

Baca juga: Kekerasan Saat Aksi, Respon Pemerintah Nirempati: Dear Penguasa, Kami Dipukuli Polisi, Kalian Malah ‘Party’

Definisi ruang publik dan okupasi ruang dalam gerakan sipil erat kaitannya dengan konsep ‘right to the city’ dari Henri Lefebvre. Lefebvre menekankan bahwa kota bukan hanya ruang fisik. Tetapi juga produk sosial yang seharusnya bisa diakses dan dibentuk oleh warganya. Kemudian konsep ‘produksi ruang (social production of space)’ juga mengiringi. Konsep tersebut melihat bahwa ruang bukan netral, tapi dikonstruksi oleh kekuasaan, ekonomi, dan resistensi. Maka okupasi ruang dipandang sebagai klaim atas hak warga terhadap ruang yang dikendalikan negara atau kapital.

Gagasan Lefebvre dikembangkan oleh David Harvey. Dalam ‘Rebel Cities’, Harvey menyebut bahwa protes urban adalah bentuk perjuangan kelas modern. Sedangkan okupasi ruang adalah cara untuk ‘mengambil alih’ ruang dari kapitalisme neoliberal.

Dalam konteks demokrasi Indonesia, idealnya ruang publik adalah fondasi partisipasi warga. Di ruang publik—lagi-lagi, idealnya, dengan jargon Indonesia sebagai ‘negara demokrasi’—warga bisa berkumpul dan berdialog, serta menyampaikan aspirasi kepada negara. Ruang publik juga mestinya jadi kontrol sosial terhadap kekuasaan secara terbuka.

Maka ruang publik, baik dengan wujud  fisik maupun pemaknaannya, erat berkaitan dengan demokrasi. Jika kembali lagi pada pernyataan Prabowo soal ‘demonstrasi’, ia ada benarnya. Pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 9 tahun 1998 memang menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, sama seperti banyak hal lainnya di negara ini, berbagai peraturan tersebut mungkin hanya aksesori. Sementara demonstrasi yang berlangsung di ruang publik nyatanya terus-menerus dihantam represi aparat, hingga disindir ‘dibayar’ oleh presiden sendiri.

Feminisme dan Upaya Merebut Ruang Publik Bagi Kelompok Marginal

Tentu kita tidak bisa tidak bicara tentang feminisme dalam pembahasan mengenai Piknik Melawan dan okupasi ruang.

Seperti disebutkan dalam rilis pers, Piknik Melawan diharapkan menjadi ruang aksi yang aman dan nyaman bagi semua. Termasuk perempuan dan kelompok marginal. 

Maka berbagai kegiatan untuk para peserta aksi perempuan pun diadakan di sana: membuat gelang manik-manik bersama, saling mewarnai kuku, membaca buku, belajar memasak keju mozarella, dan sebagainya. Beberapa peserta aksi perempuan juga hadir dengan pakaian yang cute hingga dandanan yang on point. Toh, ini mestinya bukan aksi menegangkan. Mereka hadir untuk sama-sama melawan pemerintah yang sewenang-wenang, sekaligus membangun dan mempererat sisterhood.

Dalam feminisme, banyak kasus menunjukkan pengalaman perempuan dan kelompok rentan yang kerap dikesampingkan, dibatasi, atau dimarginalkan dalam ruang publik. Oleh karena itu, feminisme berkontribusi besar dalam mengkritisi dan memperluas pemahaman kita tentang ruang publik.

Feminis Nancy Fraser mengajukan gagasan subaltern counterpublics. “Ruang publik borjuis yang ‘universal’ justru mengabaikan kelompok subordinat,” ujarnya. “Maka diperlukan ‘counterpublics’ sebagai ruang alternatif untuk menyuarakan pengalaman dan kepentingan mereka.” Sementara feminis lainnya, Judith Butler, menyajikan argumen dalam ‘Notes Toward a Performative Theory of Assembly’ (2015). Butler berargumen bahwa kehadiran tubuh di ruang publik adalah aksi politik, terutama bagi mereka yang identitasnya sering disingkirkan.

Feminisme memaknai ruang publik sebagai arena yang selama ini tidak setara. Para feminis pun memperjuangkan agar ruang ini menjadi benar-benar inklusif, aman, dan demokratis. Sedangkan dalam konteks demokrasi, feminisme mendorong agar semua suara—termasuk yang selama ini dibungkam—memiliki tempat untuk didengar dan memengaruhi kebijakan.

Okupasi Ruang di Tengah Carut-Marut Rezim

Saat ini, krisis yang kita hadapi sebagai masyarakat bukan hanya tentang pengesahan UU TNI dan wacana RUU Polri. Harga beras naik, upah jauh dari kata layak, dan gelombang PHK terus meningkat. Melansir rilis pers Piknik Melawan, per Februari 2025 terdapat 18.610 orang telah terdampak. Sementara itu, para elite dan pejabat pemerintah justru menunjukkan sikap nirempati terhadap kondisi warga. Situasi ini menciptakan jurang antara rakyat dan penguasa yang makin menganga. 

Piknik Melawan hadir di tengah berbagai situasi kritis di Indonesia, terutama sejak Prabowo menjabat sebagai presiden. Ia menyediakan ruang aspirasi yang seru dan berusaha lepas dari belenggu norma demokrasi a la pemerintah. Selain itu, Piknik Melawan sekaligus merebut kembali ruang publik yang sejak awal dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat.

Ia tentu bukan satu-satunya aksi okupasi ruang. Secara umum, sebetulnya aksi massa berupa unjuk rasa di jalan dan sebagainya juga merupakan okupasi ruang. Sedangkan untuk aksi-aksi damai, kita selalu bisa merujuk ke Aksi Kamisan dan aksi para petani Kendeng menyemen kaki mereka di depan istana negara.

Banyak ruang publik digantikan oleh ruang semi-publik. Seperti mall, yang punya aturan internal dan membatasi kebebasan berekspresi. Taman kota dan alun-alun justru sulit diakses, apa lagi untuk menggelar aksi. Sementara itu, kendati dijamin konstitusi, aksi unjuk rasa seringkali dibatasi, bahkan dibubarkan. Polisi kadang menggunakan alasan keamanan, ketertiban umum, atau “izin belum lengkap”.

Maka aksi piknik di depan Gedung DPR, sebagaimana aksi-aksi ‘damai’ lainnya, adalah pengingat bahwa demokrasi tidak dapat direpresentasikan sekadar dalam ruang sidang paripurna atau kotak suara. Demokrasi hadir di tikar jalanan. Di antara tenda-tenda, petikan gitar, dan diskusi hangat antar warga; juga di kehidupan sehari-hari.

Foto: dokumentasi Bareng Warga

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!