Seorang Ibu Korban KDRT Lakukan Kekerasan Pada Anak, Bagaimana Penyelesaiannya?

Seorang anak ditemukan warga dengan tubuh penuh luka dan mengaku dianiaya ibunya. Sementara sang ibu diduga mengalami tekanan mental akibat ditelantarkan suaminya. Bagaimana penyelesaian terbaik kasus KDRT seperti ini?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan   LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,   Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, saya Lula. Sebelum lebaran, beredar di media sosial video seorang anak ditemukan warga keluar rumah dengan tubuh penuh luka. Anak tersebut mengaku ketakutan karena sering dianiaya ibunya. Diduga ibunya mengalami tekanan mental berat pasca ditinggal suami. Warga sudah berusaha menegur dan menasihati, tetapi justru dimarahi. Kejadian ini menimbulkan kebingungan, di satu sisi mungkin ada anak yang tidak bersalah. Namun di lain sisi juga ada seorang ibu yang banyak memendam permasalahan dalam keluarganya. Untuk menindaklanjuti kasus ini, apakah ada peran lingkungan/rumah tangga yang kuat yang dibutuhkan oleh ibu dan anak tersebut?

Jawab:

Halo Lula. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Pertanyaan kak Lula menunjukkan kepedulian terhadap kelompok rentan yaitu perempuan dan anak. Situasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang sering kali membingungkan, bukan hanya bagi masyarakat yang mengetahuinya tetapi juga bagi pihak yang berada dalam rumah tangga tersebut. Tetapi, mari kita pahami bersama melalui kasus ini.

Pertama, sekilas jika tanpa analisis mendalam terhadap kasus ini, dengan memakai kacamata hukum pidana kita akan menyatakan telah terjadi KDRT. Yakni berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh seorang Ibu (pelaku) kepada anaknya (korban) yang mengakibatkan luka-luka. Terdapat ketentuan pidana dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Bunyinya, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”. Tetapi, sebelum kita memilih opsi pertama ini, sebaiknya kita pahami secara mendalam yang terjadi pada ibu tersebut.

Baca Juga: Korban KDRT Berhak Dapat Perlindungan Sementara, Yuk Simak Gimana Caranya

Kedua, mengacu pada sejumlah pemberitaan media online, ibu (pelaku) berada dalam kondisi psikis/mental yang tidak ideal. Ia sedang dalam kondisi depresi pasca ditinggalkan suaminya dan kehilangan uang yang disiapkan untuk lebaran sehingga melakukan KDRT terhadap anaknya. Kita dapat menerapkan opsi pertama di atas, tetapi kita harus mengingat kembali bahwa dasar dibentuknya UU PKDRT adalah untuk memberikan pelindungan bagi perempuan yang banyak menjadi Korban KDRT. Dalam kasus ini pelaku ditinggalkan oleh suami artinya terjadi penelantaran yang merupakan salah satu bentuk KDRT. Karena itu pelaku menjadi korban dalam bentuk KDRT lainnya dan dapat melaporkan suaminya kepada kepolisian.

Penelantaran Ekonomi Sebagai Bentuk KDRT

Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT berbunyi, “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Merujuk Pasal 9 ayat (1), seseorang dianggap menelantarkan rumah tangga jika menurut hukum yang berlaku baginya diwajibkan untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan. Jika merujuk pada Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan, maka kewajiban pemenuhan itu ada pada suami/ayah. Ini lantaran yang memiliki kewajiban memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan dalam sebuah keluarga adalah suami/ayah. Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan mengatur sebagai berikut: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”

Baca Juga: Terduga Pelaku Teror Keluarga Korban Perkosaan Anak, Begini Cara Menghadapinya

Penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksud pasal 9 UU PKDRT hanya bisa dikenakan kepada seorang suami, bukan kepada istri. Kecuali jika antara suami dan istri terdapat suatu perjanjian yang menyatakan istri menanggung pembiayaan pemeliharaan terhadap suami dan anak-anaknya. Karena itu ketika dia melalaikan kewajibannya maka dia dapat dikenakan pasal penelantaran keluarga.

Namun, bicara tentang penelantaran sebagai bentuk KDRT, hasil pemantauan Komnas Perempuan pada 2014 menemukan adanya hambatan dalam implementasi UU PKDRT yang masih relevan sampai saat ini. Yakni kesulitan memahami makna penelantaran rumah tangga yang rancu antara penelantaran sebagai bahasa hukum dengan bahasa sehari-hari. Hal inilah yang banyak jadi hambatan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menindaklanjuti laporan penelantaran korban KDRT.

Lalu, bagaimana mencari penyelesaian terbaik jika terjadi kasus KDRT seperti di atas?

Berdasarkan opsi pertama adalah dilaporkan sedang opsi kedua adalah melaporkan. Penting untuk mengetahui hak masing-masing pihak dalam rumah tangga, khususnya dalam hal ini hak istri dan hak anak. Mengapa penting? Tujuannya adalah agar tidak terburu-buru menghakimi apabila perempuan dan anak menjadi korban atau pelaku KDRT.

Dilansir dari pemberitaan media, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) setempat telah menindaklanjuti kasus tersebut. DP3APPKB sudah melakukan pendampingan psikologis kepada anak korban untuk mengatasi traumanya. Dinas juga melakukan psikoedukasi kepada ibu korban agar tidak mengulangi tindakan kekerasan dan menyarankan pemeriksaan psikologis atas dugaan adanya tekanan mental yang memicu terjadinya KDRT anak.

Baca Juga: Femisida Terjadi Lagi, Gimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Perempuan Berbasis Gender?

Jika dilihat dari langkah DP3APPKB, pendekatan penyelesaian kasus difokuskan pada membangun keberlanjutan relasi ibu dan anak melalui pendampingan dan pemantauan agar kekerasan tidak berulang. Harapannya keberlangsungan kehidupan anak yang menjadi korban KDRT terjamin dan terbebas dari trauma KDRT. Selain itu, upaya pemberdayaan kepada ibu juga menjadi fokus utama dengan memberikan bantuan usaha.

Hal penting lainnya adalah ada kewajiban bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT untuk melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya. Seperti: mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Selanjutnya, dari setiap opsi penyelesaian yang akan dipilih yang terpenting adalah korban telah dalam keadaan yang mampu dan berdaya untuk mempertimbangkan dan memilih opsi yang terbaik.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

(Editor: Anita Dhewy)

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!