Artikel dan zine ini untuk memperingati #Haripendidikannasional yang ditulis para siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergabung dalam Girl’s Project Konde.co. Tulisan ini merupakan bagian dari #Meimelawan 2025
Ini adalah cerita Ria (bukan nama sebenarnya), siswi kelas 1 SMA yang harus menghadapi aturan-aturan aneh di lingkungannya.
Dan lebih aneh lagi, aturan-aturan ini selama ini hanya diperuntukkan untuk perempuan, laki-laki tidak terkena aturan ini.

Inilah cerita tentang aturan-aturan itu:
1. Wajib Pakai Seragam Panjang Sampai Mata Kaki
Ria merasa bingung, kenapa aturan soal pakaiannya jadi diatur di sekolah? Oke, ia tahu yang dipakainya adalah seragam sekolah, tapi sejak kapan ada aturan rok perempuan tidak boleh lebih dari 5 cm di atas mata kaki? Ini sepertinya termasuk aturan konyol.
Bukankah sama sopannya jika ia memakai rok selutut? Apa bedanya? Rok dengan panjang semata kaki hanya akan membuat tersandung saat berjalan. Pengalaman buruk yang menimpa Ria ini terjadi saat ia masuk SMA, tak lama setelah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) usai.
Bayangkan saja, datang ke sekolah tidak telat, tapi malah dibawa wakil kepala sekolah ke bagian guru kesiswaan. Ria bingung, otaknya jadi blank. Sang guru kesiswaan kemudian memberinya cutter tanpa cover. Ia disuruh duduk di barisan para siswi lainnya yang sedang sibuk menyilet. Ria terdiam bingung, kemudian ia tanya salah satu dari mereka, kakak kelasnya.
“Kak, ini disuruh ngapain?” sang kakak kelas lalu mengajari bagaimana cara melepas jahitan pada bagian bawah rok abu-abunya agar terlihat lebih panjang. Padahal roknya panjangnya sudah semata kaki. Apakah ini harus dipanjangkan sampai menyentuh tanah?

Ria terduduk lemas lalu mulai ikut menyilet. Ada sekitar 4 sampai 5 orang siswi yang sedang sibuk menyelesaikan hal yang sama.
Rasanya mau menangis. Begitu memalukan. Ia juga merasa tidak terima karena langsung dijatuhi hukuman sesudah itu, bukan peringatan dulu.
Sang guru kesiswaan kemudian menanyakan namanya dan dari kelas berapa. Duh, pasti namanya sudah tercatat di buku absen yang selalu di bawa-bawa guru kalau pagi. Kakak-kakak kelas menyebutnya: absen kematian.
“Kenapa roknya pendek?” tanya salah satu guru perempuan yang datang menghampiri.
Ria langsung membantah, “ini nggak pendek, bu.” Baik, ini salahnya karena membantah sambil duduk. Tentu saja roknya sudah menjuntai menutupi sepatu.
Baca Juga: 5 Perempuan Yang Jarang Disebut Namanya di Hari Pendidikan Nasional
“Oh, anak-anak mikirnya gini ya, pak. Roknya memang jadi keliatan panjang kalo duduk,” sindirnya. Ria diam saja, sudah tidak mau bersuara.
Ria berusaha secepat mungkin menyelesaikan aktivitas menyilet ini. Teman-temannya pasti sudah menelepon dan mengiriminya banyak bubble chat karena khawatir ia tidak masuk sekolah.
Tak lama kemudian, datang perempuan–kakak kelasknya yang lainnya–menghampiri tempatnya duduk. Si kakak kelas duduk di atas kursi, sedangkan ia dan teman-teman lainnya di lantai. Guru kesiswaan melakukan hal yang sama padanya, menanyakan nama, kelas, dan wali kelasnya.
Ia lihat-lihat, rok si kakak kelas tidak pendek. Kemeja putihnya rapi, ia pakai dasi, lengkap dengan ikat pinggang. Oh, kemeja putihnya nge-pas dengan kakinya. Memang salah? Ya, salah kata guru-guru ini. Guru kesiswaan kemudian menyuruhnya menelepon orang tuanya. Si kakak kelas bilang, orang tuanya tidak ada di rumah, sudah pergi bekerja.
Ria sudah tak tahan lagi, roknya sudah selesai disilet. Ia langsung pamit ke kelas. Dalam hati, ia begitu malu karena rok abu-abunya jadi jelek karena jahitannya sudah terlepas. Pasti kalau orang-orang melihatnya mereka akan langsung tahu jika ia baru saja jadi korban dari guru kesiswaan.
Saat sampai di kelas, teman-teman langsung melihat ke arahnya dengan tatapan heran. Mungkin ia termasuk orang yang suka mepet masuk ke kelas, tapi belum pernah terlambat sebelumnya.
“Eh, Ria telat? Tumben, Ri.”
Ria menyengir saja. Setelah buru-buru menaruh tas di bangku, ia langsung menghampiri kedua sahabatnya.
“Kenapa, Ri?”
Tanpa basa-basi ia menunjukkan rok yang dipakai, sekarang panjangnya sudah mencapai sepatu. Jika terus memikirkan soal kejadian silet-menyilet tadi, ia pasti akan langsung menangis. Ia terduduk dengan wajah masih tidak terima. Mereka berdua mencoba menghiburnya.
Baca Juga: Menikah di Usia Anak? Anak Perempuan Akan Tercerabut dari Sekolahnya
Salah satunya mengatakan, “tapi rok lu emang sedikit kependekan menurut aturan sekolah ini, Ri.”
Baiklah, kini Ria tahu soal aturan di sekolah itu. Tapi ia masih tidak mengerti, kenapa harus panjang sampai mata kaki atau menyentuh tanah? Menurutnya ini tidak pendek, hanya 5 cm di atas mata kaki.
Beberapa hari kemudian ia menemukan masalah baru. Baju seragam sekolah disini ini tidak langsung dibagikan semuanya di sekolah. Satu persatu. Selain seragam putih abu yang dibeli di luar sekolah.
Saat bel tanda istirahat pertama berbunyi, Ria dan teman-temannya bergegas ke koperasi–lebih mirip tempat penyimpanan baju, menurutnya. Ia menemui wali kelasnya di sana, kebetulan beliau dan 1 rekannya yang bertugas mengurus seragam. Setelah mencocokkan ukuran, ia dapat baju batik dengan ukuran M, berlengan panjang. Kemudian ia keluar dari ruangan dan bertemu salah satu teman sekelasnya, laki-laki, yang masih mengenakan seragam batik barunya, enggan melepas karena malas melipat.
“Kok batik lu lengan pendek, Vin?” tanya Ria.
“Kalo cowok kan emang pendek, Ri.”
Begitukah? Mengapa? Mengapa perempuan harus sepanjang mata kaki sampai menyentuh tanah, sedangkan laki-laki tidak?
Hal yang sama ditemuinya pada baju olahraga dan pramuka. Baju perempuan dan laki-laki entah mengapa dibedakan. Punya para perempuan, semuanya berlengan panjang, sedangkan laki-laki pendek. Padahal, kain yang digunakan pada ketiga baju tersebut rasanya tidak menyerap keringat dan cenderung panas. Tentu saja lebih enak kalau pakai lengan pendek.
Oke, jadi di sekolah ini rok harus panjang se-mata kaki, tidak boleh dikecilkan. 3 baju seragam perempuan harus panjang, sedangkan laki-laki tidak. Peraturan yang tampaknya konyol. Apa bedanya perempuan dengan laki-laki?

2. Tubuh Harus Kurus Biar Dapat Pacar
Saat om dan tante main ke rumah Ria– tanpa berkabar, tiba-tiba mereka sampai di halaman rumah. Agak aneh kelihatannya melihat mereka mampir ke rumah di Minggu pagi itu. Mereka mengawalinya dengan mengobrol biasa disertai candaan.
Mereka mulai memasuki topik olahraga. Ria suka berenang, badminton atau sekedar bersepeda atau jalan kaki. Tantenya lebih suka pilates dan yoga, sedangkan omnya penggemar tenis meja. Ia sempat mengajak Ria untuk main bersama kalau ada waktu luang. Tantenya setuju, ia akan mengajak anaknya, sepupu Ria, untuk menjadi lawan mainnya, Ria membalasnya dengan anggukan.
Entah kenapa, tantenya tiba-tiba mengungkit soal berat badannya.
“Tapi menurut tante, tubuh seukuran kamu ini masih termasuk gemuk. Makanya harus banyak olahraga, nanti nggak punya pacar, loh. Bla-bla-bla.” Ria hanya menangkap ucapannya sampai situ.
Ria tidak bodoh dengan menyangkal tubuhnya termasuk kurus. Ia mungkin memang tidak sekurus atau selangsing sepupunya yang lain. Dan ia mungkin tidak terlalu menunjukkan kegemarannya pada olahraga. Tapi, apa salah jika ia marah kalau dikatakan gemuk?
Setelah mereka pulang, Ria mulai memperhatikan tubuhnya di cermin. Ia gendutan, ya? Tapi bukankah hampir semua orang merasakannya setelah masa pandemi covid-19 berakhir? ia suka jalan sore di sekitar komplek, kalau ke sekolah naik sepeda—walaupun hanya 700 meter dari rumah, dan kadang suka workout di rumah. Kalau pergi dengan teman, ia juga terobsesi untuk jalan lebih dari 15.000 langkah sehari atau jalan-jalan 10 kilometer. Tapi tampaknya tidak cukup, ya? Ia tidak bisa sekurus sepupunya yang lain. Seperti teman-temannya yang lain, apa ia harus diet?
Baca Juga: Tubuh Perempuan Dijadikan Polemik: Dipilihkan, Tak Bisa Memilih
Tidak boleh. Itu yang selalu Ibu katakan jika beliau curiga Ria sedang diet. Cukup makan dan olahraga dengan teratur, banyak minum air putih, tidur cukup, dan yang paling penting; sayur dan buah tidak boleh terlewat. Ibu melarang keras untuk diet. Disaat teman-temannya yang lain berusaha menurunkan berat badan dengan diet atau sengaja puasa karena mengalami tekanan yang sama, ia tidak boleh. Ia memang terkadang suka malas berolahraga. Ibu mengevaluasi seluruh kegiatannya dan memberikan solusi, yang pasti bukan diet.
Ria ingat di salah satu film yang pernah ditonton, sang tokoh utama menyebutkan, “Olahraga itu biar kita sehat, bukan biar kurus.”
Lagi pula, memangnya salah kalau nggak punya pacar? Nanti dianggap tidak laku, begitu? Hey, punya pacar itu bukan kewajiban, kan? Sejak kapan perempuan harus memenuhi syarat-syarat tertentu jika ingin punya pacar?
Ibu juga bilang, kalau ia merasa terbebani dengan ucapan negatif orang lain dan berusaha untuk menurutinya, itu salah. Ia jadi melakukan hal yang diinginkan orang lain. Mereka tidak berhak mengatur, mengomentari dan mengotak-atik tubuhnya sesuka mereka. Yang salah matamu, bukan tubuhku.
3. Bebas Dapat Pelecehan di Jalan
Pengalaman terakhir Ria dapatkan saat sedang hangout dengan temannya.

Mereka sedang dalam perjalanan menuju halte busway terdekat. Setelah keliling Gramedia di salah satu mal, perut mereka lapar, tapi hanya ingin makan bubur Barito. Bisa sih naik bajaj, taksi, ojek online atau angkot. Tapi karena tadi mereka sudah naik bajaj—mereka tidak bisa menawar abang bajajnya, tidak enak—jadi mereka memutuskan berjalan.
Tidak satupun dari mereka yang membawa air mineral, mereka haus dan berharap segera menemukan warung. Sebenarnya banyak pedagang kaki lima, tapi hanya menjual makanan bukan air, jadi dilewati saja.
Saat sudah setengah jalan, ada seorang laki-laki paruh baya yang kemudian ikut berjalan searah dengan mereka. Ia berjalan tepat di depan Ria, sedangkan temannya di belakang. Dari penampilannya, sepertinya ia baru pulang kerja. Seingat Ria, ia memakai kemeja putih, celana panjang hitam dan tas kerja hitam yang diselempangkan. Semua terlihat normal, sampai mereka melewati abang-abang penjual cilok di trotoar tempat kami berjalan.
Kelihatannya abang penjual cilok kenal dengan laki-laki yang baru pulang kerja itu. Mereka bertukar sapa dan saling melempar candaan–sepertinya. Ria terus berjalan dan tidak terlalu memperhatikan. Tapi kemudian, si abang penjual cilok bilang.
“Itu pacarnya dua aja?” sembari tersenyum.
Baca Juga: Marak Pelecehan Seksual di Fasilitas Umum: Kebijakan Pemerintah Mesti Serius Lindungi Perempuan
Pertanyaan itu tentu merujuk kepada Ria dan temannya yang berjalan di belakang laki-laki itu.
Maaf? Pacar? Si laki-laki yang baru pulang kerja hanya tertawa, kemudian Ria tidak ingat balasan apa yang diberikan si laki-laki karena sudah keburu kesal. Seingatnya, si laki-laki terlihat terima-terima saja dengan pertanyaan abang penjual cilok itu. Tidak. Tidak dengannya. Temannya mungkin tidak mendengarnya karena setelah Ria tarik tangannya agar mendahului si laki-laki itu, ia kelihatan bingung.
Perut yang lapar karena melewatkan makan siang, panasnya Jakarta, tenggorokan yang kering ditambah lagi ucapan abang penjual cilok membuat mood Ria semakin buruk saja. Apa-apaan abang itu? Tentu saja ia dan temannya bukan pacar si laki-laki itu. Bukankah kau mengenal si laki-laki itu? Apa tidak ada basa-basi yang lebih basi lagi selain memberikan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan kalau mereka pacarnya? Maaf, mengklaim seenaknya sebuah benda tak bertuan saja disebut tidak sopan, bagaimana dengan manusia? Kalian pikir kami haus belaian? Tidak, itu pelecehan.

Baiklah, Ria anggap ia salah karena tidak menyanggah ucapannya. Sedikit menyesal, tapi ia memang tidak ingin ikut campur obrolan orang lain. Tidak sampai mereka menyebutnya walaupun tidak secara langsung.
Tapi, kebebasan berekspresi dan berpendapat; nol besar. Padahal, suara perempuan juga harus didengarkan dan dipertimbangkan. Kami para remaja perempuan juga bisa melawan, bukan hanya diam dan melakukan apa yang diperintahkan.
Mungkin aku masih tak berani melawan, namun lewat tulisan ini, suaraku seharusnya didengar.
(Editor: Luviana Ariyanti)
Tim Girl’s Project: Chaeilla Khaerani, Ellen Oktavia, Khansa Nayla Khairani, Laksita Mahesvari Hanindyajati, Ratu Sophia Ardhani, Savana Candid Nusantara
Tim fasilitator dan mentor: Sophie Trinita, Luviana Ariyanti, Terra Istinara