Marak Pelecehan Seksual di Fasilitas Umum: Kebijakan Pemerintah Mesti Serius Lindungi Perempuan

Pelecehan seksual di fasilitas umum seperti transportasi publik masih marak terjadi pada perempuan. Pemerintah seharusnya menyediakan kebijakan dan mekanisme perlindungan yang lebih baik, agar fasilitas umum dapat menjadi ruang aman bagi semua.

Trigger warning/peringatan pemicu: artikel ini memuat kronologi pelecehan seksual di fasilitas publik yang berpotensi memicu perasaan tidak nyaman saat dibaca. Jika kamu merasa punya tendensi untuk terpicu, pertimbangkan untuk berhenti. Kamu bisa kembali membaca jika sudah merasa siap.

Tahun 2021, seorang perempuan penumpang KRL tujuan Cikarang menjadi korban pelecehan seksual. Saat itu kondisi KRL penuh; korban berdiri di samping pelaku dengan arah berlawanan. Tak lama kemudian, pelaku membalikkan badan. Korban merasakan hal yang aneh ketika tas pelaku menempel di badannya. Tidak disangka, rupanya pelaku mengeluarkan alat kelaminnya.

Setelah kejadian tersebut, pelaku dibawa ke pos keamanan. Namun pelaku sama sekali tidak mengakui perbuatannya. Petugas pun tidak dapat memproses peristiwa itu dengan alasan ‘tidak ada bukti yang kuat’ dari korban. Kejadian itu mencerminkan persoalan serius yang masih terjadi sampai sekarang: pelecehan seksual di ruang publik sering kali dianggap sepele dan tidak mendapatkan penindakan secara memadai.

Padahal, menurut riset Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang diluncurkan pada November 2022, pada tahun 2022, sekitar 48,9 persen perempuan ternyata pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Sedangkan pada tahun 2023, menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, terjadi pelecehan seksual di ruang publik sebanyak 1,451 kasus.

Baca Juga: Pekerja Magang Di Kedubes Alami Pelecehan Seksual, Lapor Polisi Kasusnya Malah Dihentikan

Pengabaian kasus-kasus pelecehan seksual di ruang publik membuat tindak lanjut terhadapnya menjadi penting. Terlebih karena kasus pelecehan seksual terjadi di fasilitas publik yang disediakan oleh pemerintah. Lalu bagaimana fasilitas publik mampu memenuhi kebutuhan dan menjadi ruang aman bagi perempuan? Sejauh mana kebijakan di Indonesia dapat meminimalisir pelecehan seksual yang terjadi di fasilitas publik?

Peran Fasilitas Publik: Penting, Tapi Ada Tantangan

Fasilitas umum atau fasilitas publik merupakan sarana-prasarana yang disediakan pemerintah untuk menunjang pelayanan serta mempermudah pemenuhan berbagai kebutuhan bersama. Ia berperan sebagai nodes (titik-titik strategis) atau penghubung dan landmark (titik pengenal) yang menjadi media dalam melakukan aktivitas, serta menjadi ruang aman bagi orang-orang saat berada di ruang publik.

Kesadaran akan pentingnya fasilitas publik yang inklusif dan ramah akan memberikan dampak besar terhadap mobilitas, produktivitas, dan kualitas hidup masyarakat. Khususnya perempuan. Dengan keberadaan ruang publik yang mampu menjamin keamanan, perempuan dapat beraktivitas tanpa rasa khawatir.

Namun, menciptakan ruang aman di ruang publik rupanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk dapat mencapai gagasan ideal tersebut. Salah satunya adalah pelecehan seksual di fasilitas publik. 

Fasilitas publik dirancang untuk menunjang kehidupan masyarakat. Namun kenyataannya, ia masih sering menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual. Mengutip data dari laman KemenPPPA, survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2022 mencatat, sebanyak 3.539 dari 4.236 responden perempuan mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. 23% di antaranya terjadi di transportasi umum.

Baca Juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

Fasilitas-fasilitas yang seharusnya menjadi penunjang masyarakat, khususnya perempuan, justru menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka. Tingginya angka kasus juga sejalan dengan anggapan bahwa pelecehan seksual di ruang publik adalah hal ‘sepele’ dan tidak berkonsekuensi. Belum lagi stereotipe yang menyalahkan cara berpakaian atau tindakan korban. Ini membuat pelaku justru seakan mendapatkan legitimasi untuk melanjutkan kejahatan tanpa ancaman hukum atau penghakiman sosial.

Alhasil, hal itu secara tidak langsung akan ‘membungkam’ korban dan menormalisasi tindakan pelaku. Faktor lain yang turut memperparah kondisi ini adalah kurangnya infrastruktur untuk mendukung keamanan di ruang publik. Minimnya pemasangan CCTV di area strategis dan fasilitas keamanan yang belum memadai adalah contohnya. Mekanisme pengaduan yang belum efektif terkait fasilitas umum juga menjadi kendala bagi para korban. Pengaduan kasus kerap ditanggapi seadanya atau malah diabaikan sama sekali. Perlu pemahaman bahwa pelecehan seksual di ruang publik adalah pelanggaran serius yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Ini juga akan berdampak kepada para korban.

Kebijakan Pemerintah dan Solusi yang Dibutuhkan

Ruang dan fasilitas publik seperti transportasi umum, taman kota, dan trotoar seharusnya dirancang dengan pertimbangan tertentu. Seperti kebutuhan dan perlindungan bagi masyarakat, khususnya perempuan. Kebijakan dari pemerintah punya andil besar dalam upaya mewujudkan keamanan dan kenyamanan pada fasilitas publik tersebut.

Sebagai contoh, dikutip dari kemenpppa.go.id, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo mengatakan, “Sekitar 60% pelanggan Transjakarta adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan banyak mempercayakan moda transportasi umum khususnya Transjakarta sebagai fasilitas publik.”

Lanjutnya, Jakarta sendiri telah menyiapkan bus khusus perempuan sebanyak 18 unit untuk 5 koridor. Mereka pun memasang informasi kontak layanan yang dapat dihubungi jika ditemukan indikasi pelecehan seksual di moda transportasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti penyediaan transportasi khusus perempuan, perbaikan infrastruktur dan fasilitas publik lainnya, lebih-kurang merupakan upaya untuk menunjang aktivitas sosial masyarakat dan perempuan yang patut diapresiasi.

Namun, apakah fasilitas-fasilitas tersebut telah benar-benar aman bagi perempuan? Kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan fasilitas publik tanpa peduli dengan keberlanjutannya. Mereka juga perlu mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat, pelaksanaan standar keamanan, dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses.

Baca Juga: Kenapa Papan Informasi di Transportasi Umum Penting? Ini Aksesibel dan Inklusif

Di sisi lain, masyarakat mengharapkan perlindungan yang maksimal dari ‘payung’ hukum yang berlaku. Seperti dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28G dan pasal 281, KUHP dan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kendati demikian, sebenarnya sejumlah undang-undang tersebut juga memiliki banyak kelemahan secara secara implementasi dalam perlindungan saksi dan korban. Masih perlu perbaikan agar perlindungan maksimal dapat diberikan kepada korban.

Menyusun standar nasional keamanan ruang publik dan memperkuat mekanisme hukum dan pelaporan bisa dilakukan oleh pemerintah. Ini agar fasilitas publik tidak hadir hanya sebagai ‘fasilitas’, tetapi juga memiliki regulasi untuk memberikan keamanan bagi masyarakat. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan wajib memastikan fasilitas ruang publik lebih inklusif, aman, dan nyaman bagi semua pengguna. Khususnya perempuan, yang sering menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Baca Juga: City Car, Industri dan Kebijakan Pemerintah Bikin Udara Jakarta Buruk

Dengan adanya fasilitas publik yang aman, partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial dapat meningkat. Ini juga bisa menjadi pondasi untuk membangun masyarakat yang setara. Dengan memastikan perempuan merasa aman di ruang publik, bukan hanya sekadar menghormati hak-hak perempuan, kita juga membuka jalan bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sosial. 

Komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat dan individu sangat diperlukan untuk mewujudkan fasilitas publik yang aman. Hal ini dapat menjadi langkah awal dalam memberikan rasa aman bagi perempuan saat berada di ruang publik. Penting mengawal dukungan serta kesadaran dari pemerintah dan masyarakat untuk menindaklanjuti pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik. Termasuk mekanisme perlindungan seperti tempat pengaduan bagi korban, yang harus lebih dihadirkan sebagai salah satu solusi untuk meminimalisir kejadian agar tidak terus terulang.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Ayu Puspita Lestari

Mahasiswa semester akhir jurusan Akuntansi dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!