Pegawai ASN di Maluku Utara Diduga Lakukan Pelecehan Seksual Anak, Pelaku Belum Diproses

Seorang ASN diduga melakukan pelecehan seksual pada 2 anak usia SD dan SMP. Bukannya diproses cepat pelaporan pelecehan seksualnya, terduga pelaku justru memenjarakan paman dan kakek korban. Ibu korban juga mendapat kekerasan fisik.

Peringatan pemicu: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.

Malam perayaan tahun baru yang mestinya menggembirakan, jadi traumatis bagi Zahra dan Sania (nama samaran). 

Mereka yang kini berusia 12 tahun dan 11 tahun itu, mengalami pelecehan seksual non-fisik oleh terduga pelaku berinisial YAK. 

YAK masih berstatus aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) di Provinsi Maluku Utara. Sebelumnya, Dia diketahui pernah menjadi guru di salah satu desa di Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.

Kasus ini kemudian viral di platfom Instagram setelah diunggah pemilik akun @n***.ma**i yang merupakan tante dari dua anak yang diduga menjadi korban pelecehan. Ia mempostingnya karena ingin mencari keadilan atas perlakuan yang menimpa para korban. Pihak keluarga juga menghubungi Konde.co melalui media sosial dan menceritakan tentang kasus ini.

Konde.co lalu menghubungi salah seorang kerabat korban (paman), AK, yang menjelaskan terkait kronologi kejadian. Pernyataannya sesuai dengan salinan dokumen surat pengaduan keluarga korban ke Polresta Kota Tidore Kepulauan dengan Nomor: STPL/03/1/2025/SPKT tanggal 8 Januari 2025 perihal pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. 

Kejadian pelecehan seksual terjadi saat 2 korban sedang bermain di Taman Baca Desa Gosale, kelurahan Guraping, Oba Utara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, 3 Januari 2025 sekitar pukul 21.00 WIT. Menurut laporan pengaduan orang tua korban ke kepolisian, YAK dikenal sebagai orang yang suka mabuk dan saat kejadian pelecehan terjadi, ia dalam kondisi mabuk berat. YAK saat itu mencari tahu identitas korban dengan bertanya kepada orang-orang di sekitar tempat dimana pelaku juga datang di acara tahun baru pada malam tersebut. 

Baca juga: Dilarang Ikut Acara Hiburan sampai Dipaksa Berhijab: Maraknya Diskriminasi Ragam Seksual dan Identitas Gender

Setelah mengantongi identitas korban, YAK menghampiri kedua korban. Ia kemudian melontarkan kalimat yang melecehkan dengan mengajak check in ke hotel dengan iming-iming uang sambil menggigit bibir bawah dengan menjulurkan lidah serta menunjukkan ekspresi wajah penuh nafsu. Zahra dan Sania kala itu berusaha melarikan diri dari penguasaan pelaku yang sudah siap melakukan aksinya. 

“Setelah mendengar ajakan pelaku, kedua korban merasa takut, shock, gemetar, serta menangis,” ujar AK kepada Konde.co, Senin (10/3). 

Kedua anak yang jadi korban pelecehan seksual itu, berhasil kabur dengan melompati pagar taman baca berlari menuju rumah. Lalu, mereka mengadu kepada ibu korban, sebut saja Ibu E.  

Setelah mendapatkan aduan dari para korban, Ibu E yang hendak menanyakan kejadian tersebut kepada terduga pelaku, yang tengah berada di bawah pengaruh minuman keras, tiba-tiba juga mendapat ancaman dan kekerasan dari terduga pelaku. YAK mencekik leher Ibu E. 

Paman dan kakek korban yang kebetulan berada dekat di lokasi kejadian (TKP) mendengar teriakan dari Ibu E. Mereka segera berlari menuju arah YAK, namun YAK bergegas kabur dengan menggunakan sepeda motor. Paman korban kemudian berinisiatif mencari tahu tempat tinggal YAK. Setelah menemukan tempat tinggalnya, paman korban bergegas mendatangi rumahnya untuk membawanya ke Polsek Oba Utara.

“Terduga pelaku hendak melarikan diri sebanyak 2 kali yang membuat kakek korban terbakar emosi secara tidak sadar melakukan pemukulan ke (terduga) pelaku,” jelas AK  

Buntut pemukulan itu, YAK kemudian melaporkan kakek korban sebagai pelaku pemukulan. Sehingga dia ditahan oleh Polresta Kota Tidore Kepulauan dan ditetapkan sebagai tersangka. Saat proses penyelidikan dan pemeriksaan sebagai saksi, kakek korban yang mengakui telah melakukan pemukulan, ditahan juga dan ditetapkan sebagai tersangka. 

“Proses penyelidikan terhadap kasus pelecehan, terkesan lambat sehingga terduga pelaku belum ditahan. Informasi dari sumber terpercaya, ada beberapa anak di bawah umur juga menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh terduga pelaku,” kata dia. 

Baca juga: April Adalah Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual, Kenakan Pita Biru Atau Denim

Pihak keluarga menegaskan, tindakan pelecehan seksual yang dilakukan terduga pelaku sangat merugikan kedua korban yang berdampak secara mental dan trauma, yang bahkan sampai mengganggu pendidikan kedua korban di sekolah. Mereka menuntut agar pihak berwenang segera melakukan identifikasi dan investigasi terhadap kasus pelecehan tersebut. 

Melalui surat pengaduan keluarga korban ke Polresta Kota Tidore Kepulauan dengan Nomor: STPL/03/1/2025/SPKT tanggal 8 Januari 2025, orang tua korban yang membuat laporan pengaduan juga mendesak polisi di Polresta Kota Tidore Kepulauan Maluku Utara untuk membentuk Satuan Tugas (SATGAS) ataupun posko pengaduan guna melakukan identifikasi dan investigasi kepada korban-korban lainnya. Hingga mengawal serta mendampingi kedua anak yang korban pelecehan dalam menghadapi proses hukum. 

Tak kalah penting, mereka juga menuntut YAK untuk diproses dengan UU yang berlaku terkait perlindungan anak. Beberapa aturan itu seperti, Pasal 281 KUHP tentang Tindak Pidana Asusila yang dilakukan secara sengaja dan terbuka, Pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap orang yang tidak berdaya atau tidak sadar. Pasal 293 KUHP tentang Tindak Pidana Pelecehan Seksual terhadap Anak. Ada pula, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 76D dan Pasal 76E. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 5 dan Pasal 7. UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Pasal 415 huruf b. 

Pihak keluarga korban juga memohon YAK agar dihukum seberat-beratnya karena korbannya diduga sudah lebih dari 1 (satu) orang usia anak-anak, sehingga menetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). 

“Memohon keadilan hukum atas kejadian yang dialami oleh keluarga kami yaitu paman dan kakek korban, yang telah ditahan sebagai tersangka karena akibat dari peristiwa  tersebut. Namun, perlu dicermati secara teliti bahwa akibat pemukulan tersebut disebabkan oleh pelecehan yang dilakukan oleh pelaku,” tegasnya.   

Pelaporan Pelecehan Seksual Berjalan Lambat

Salah seorang kerabat perempuan korban (tante) berinisial NM, sempat memposting kasus yang menimpa anak-anak korban pelecehan seksual terduga pelaku YAK ke media sosial Instagram pada Maret 2025 lalu, salah satunya menghubungi media sosial Konde.co. 

NM menyesalkan, sudah hampir 3 bulan berlalu, pelaporan kasus pelecehan seksual anak ini, namun pihaknya belum menerima informasi kejelasan dari Polresta Tidore Kepulauan Maluku Utara sejak pertama ditayangkannya laporan per 8 Januari 2025.   

Sekarang kasus pemukulan, menurut keterangan NM, sudah sampai pada tahap pelimpahan ke kejaksaan. Tapi, kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang merupakan kasus atensi dan memiliki Perundang-undangan sendiri ini tidak tampak prosesnya. 

“Terakhir kali, penyidik menyampaikan ke pihak keluarga korban bahwa terduga pelaku tidak ditahan karena UU dan Pasal yang menjerat terduga pelaku hanya 1 Pasal saja, dan tidak kuat serta ancaman hukumannya hanya 9 bulan. Jadi, terduga pelaku tidak dilakukan penahanan,” ujar NM dalam postingan IG pribadinya pada 10 Maret 2025, yang diizinkan untuk Konde.co kutip. 

Sementara, paman dan kakek korban justru dengan cepatnya diproses dan dipenjara karena pemukulan kepada terduga pelaku. 

Pihak keluarga memang tidak membenarkan atas terjadinya pemukulan yang dilakukan oleh kakek korban kepada pelaku, tetapi menurutnya ini merupakan perbuatan spontan atau secara tidak sadar karena melihat anak-anak di bawah umur dilecehkan seperti itu. Apalagi, jika dampaknya sampai mengalami gangguan psikis, mental dan takut dalam beraktivitas dalam hal melihat orang baru. Di sisi lain, terduga pelaku juga melakukan pengancaman terhadap ibu korban. 

“Jika pemukulan yang merupakan akibat dari perbuatan terduga pelaku bisa diproses oleh pihak berwajib. Akan tetapi, bagaimana dengan sebab akibat awal mulanya terjadi pemukulan yaitu pelecehan yang dilakukan oleh pelaku tidak diproses? Apakah karena pelaku merupakan saudara dari anggota Polisi di Polsek Oba Utara dan memiliki keluarga besar dan berpengaruh?” tanyanya. 

Baca juga: Dugaan Kekerasan Seksual Mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS: Korban Diperkosa, Direkam, Diunggah di Website

NM juga mempertanyakan soal keabsahan keterangan terduga pelaku saat dimintai keterangan pihak berwajib. Sebab pada saat itu, dia dalam kondisi mabuk. 

“Perlu diketahui bahwa pada saat kejadian tersebut terduga pelaku pun sedang dalam keadaan mabuk berat karena baru selesai berpesta miras. Pada saat dimintai keterangan oleh pihak berwajib, terduga pelaku dalam keadaan mabuk. Apakah hal tersebut sah? Seorang terduga pelaku diperiksa dalam keadaan mabuk atau bisa dibilang tidak dalam kesadaran normal?,” ujarnya lagi.  

NM menegaskan lagi bahwa dalam proses hukum dan penerapan pasal-pasalnya harus lex specialis menggunakan UU Perlindungan Anak. Akan tetapi, kenyataannya tidak diterapkan demikian. 

“Alasan dari penyidik bahwa karena mereka dari awal sampai gelar perkara tidak fokus pada korbannya yang adalah anak-anak di bawah umur. Terduga pelaku adalah seorang predator anak masih berkeliaran bebas. Dan tidak dilakukan penahanan sama sekali oleh para penegak hukum yang terhormat,” katanya.  

Dikonfirmasi Konde.co,  Aipda Agung Setyawan dari Humas Polresta Tidore Kepulauan mengatakan proses kasus pelecehan seksual anak oleh oknum ASN di Maluku Utara ini sampai pada tahap 1. 

“Untuk kasusnya sudah tahap 1,” ujarnya melalui pesan singkat pada Rabu (23/3). 

Namun, Ia enggan menjelaskan lebih lanjut soal situasi proses kasusnya yang dinilai lamban oleh pihak keluarga. Dia hanya merespons singkat “Nanti menunggu dari kejaksaan” ketika ditanya soal kapan proses kasusnya sampai P21. Yaitu ketika berkas perkara telah lengkap setelah dilakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk dari penuntut umum. 

Selain itu, upaya konfirmasi kepada pihak BPSDM Maluku Utara melalui media sosial IG resmi mereka (@bpsdm_malut) terkait dugaan pelecehan seksual oleh oknum ASN berinisial YAK dan tindakan di internal, juga belum mendapat jawaban. 

Aksi Solidaritas untuk Korban Pelecehan Seksual Terduga Pelaku ASN Maluku Utara

Kejadian ini membuat geram kelompok masyarakat yang memperjuangkan korban. 

Maret 2025 lalu, massa aksi yang mengatasnamakan  ‘Solidaritas untuk Korban’ pelecehan seksual anak oleh terduga ASN Maluku Utara di depan Kantor Polda Maluku Utara, pada Kamis (17/3). Mereka melakukan aksi sejak 11 siang hingga 4 sore pada waktu setempat (WIT).

“Sayangnya, saat hearing tidak ada kapolda, maka yang merespons tuntutan yang kami bawa adalah humas polda Maluku Utara. Bapak humas tersebut menanggapi bahwa mereka (Polda Malut) akan mencoba menindaklanjuti kasus pelecehan seksual tersebut dan membuat penegasan. Tetapi, di sisi lain mereka tidak punya kewenangan penuh untuk membuat evaluasi kinerja kepada Polsek kec. Oba Utara. Selain Kawan-kawan solidaritas membuat laporan ke propam (profesi dan pengamanan),” tulis koordinator lapangan aksi itu, Semesta, mengonfirmasi Konde.co, pada Kamis (24/3).   

Foto demonstrasi ‘Solidaritas untuk Korban’ pelecehan seksual anak oleh terduga ASN Maluku Utara di depan kantor Polda Maluku Utara pada Kamis, 17 Maret 2025. Foto: Dok. Solidaritas untuk Korban

Semesta kemudian menjelaskan, beberapa tuntutan dalam aksi tersebut di antaranya, menangkap dan mengadili pelaku kekerasan seksual. Polda Malut juga mereka desak segera memecat penyidik polsek Oba Utara. 

“Berikan keadilan dan perlindungan untuk korban dan keluarga korban. Berikan penyuluhan hukum kepada polsek Oba Utara. Hapuskan relasi kekuasaan di Institusi kepolisian,” kata Semesta.  

Selain beberapa tuntutan tersebut, hal yang menjadi keresahan mereka karena bobroknya penegakan hukum dan ketidakberpihakan mereka kepada korban. 

Baca juga: Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya

“Ini bisa dilihat dengan menolak laporan korban, menyuruh korban meminta maaf kepada pelaku, bahkan mengkriminalisasi keluarga korban,” katanya.  

Berselang dua hari, tante korban pelecehan seksual anak oleh terduga pelaku ASN Maluku Utara, NM, juga memposting aksi demonstrasi mereka pada media sosial. Dia mengucapkan terimakasih kepada jaringan ‘Solidaritas untuk Korban’ yang mendukung keadilan bagi korban.  

“Ucapan Terima Kasih yang sebesar-besar untuk para Pejuang (FAK, SAMURAI, LMID, SPARTA, SULUH PEREMPUAN, KOPRI UNKHAIR, IMAWATI, FSBPI, SEKBER, HMT) yang sudah mau bergerak bersama, berjuang, membela dan menuntut keadilan terhadap korban dan keluarga korban. Suara kita adalah kekuatan, dan setiap suara berharga. Semoga setiap tetes keringat yang jatuh mendapatkan Ridho Allah SWT serta senantiasa membalas kebaikan2 teman2 semua🙏🏻🙏🏻🙏🏻 Panjang Umur Perjuangan,” tulis NM dalam media sosialnya (19/4).  

Pola Kekerasan Seksual di Lingkaran ASN

Aparatus Sipil Negara (ASN) diharapkan bisa menjadi pelayan publik dan perwakilan negara dalam menyelesaikan persoalan korban, walau kenyataannya tidak begitu.

Hal itu ditunjukkan pada Catatan Tahunan (Catahu) 2024 Komnas Perempuan. 

Jika dilihat data pelaku lebih rinci, orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru, Dosen, Aparat Penegak Hukum (APH), Pemerintah, Polisi, TNI, Tenaga Medis/Kesehatan, Pejabat Publik/Negara dan Tokoh Agama yang berjumlah 244 orang, atau 7,09% dari total pelaku yang diketahui profesinya. Data Komnas Perempuan dan data pelaporan kasus dari mitra CATAHU 2024 itu, mengungkapkan bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84%).

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Agustini menjelaskan, data tersebut menunjukkan jumlah pelaku kekerasan seksual dari kalangan ASN semakin serius untuk segera ditangani.  

“Ini harus menjadi perhatian pemerintah serta seluruh institusi/lembaga Aparatur Sipil Negara untuk menegakkan aturan mengenai sanksi disiplin kepegawaian dan pengawasan proses pidana yang dijalankan,” ujar Sri Agustini kepada Konde.co, Kamis (24/4). 

Agustini menilai, budaya patriarki merupakan salah satu faktor yang yang menyebabkan tingginya angka kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan oleh ASN (Aparatur Sipil Negara). Budaya patriarki menciptakan dan memperkuat ketidaksetaraan gender, dimana laki-laki dianggap memiliki posisi superior dan kontrol yang lebih besar atas perempuan. 

“Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana kekerasan seksual dianggap wajar atau dibenarkan, terutama ketika pelaku merasa memiliki kekuasaan atau status sosial yang lebih tinggi, seperti ASN.”

Baca juga: Pekerja Magang di Pengadilan Negeri Alami Pelecehan Seksual, Oknum Hakim Diduga ‘Intimidasi’ Korban

Mencermati dari banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ASN, Agustini menilai, pola yang digunakan adalah dengan memanfaatkan posisi/statusnya sebagai ASN. Oleh karenanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh ASN termasuk dalam kategori tindak pidana serius atau tindak pidana berat (graviora delicta). 

“Karena pelaku adalah seseorang yang memiliki profesi terhormat yang seharusnya menjadi pelindung, teladan, dan merupakan perwakilan negara,” imbuhnya.  

Dalam hal ini, Ia menegaskan, pelaku terduga pelaku telah melanggar peraturan sebagai ASN dan dapat dijatuhi hukuman disiplin. ASN sebagai profesi di antaranya berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku yang diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, dan secara pidana telah melanggar Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan apabila korbannya anak maka dikenakan sanksi pidana berlapis dengan UU Perlindungan Anak. 

“Karena pola kekerasan seksual yang dilakukan oleh ASN sangat khas yaitu memanfaatkan profesinya yang dipandang terhormat, sebagai pelindung, teladan, dan perwakilan negara, penanganannya pun harus menjadi prioritas yang menjadi tanggung jawab dari institusi dimana pelaku bekerja dan Kepolisian,” ungkapnya. 

Agustini menerangkan berbagai hambatan penegakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan ASN yang selama ini terjadi. Diantaranya karena banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki pemahaman yang memadai tentang UU TPKS dan Pedoman Kejaksaan Nomor 1/2021. Sehingga kesulitan dalam menerapkan hukumnya. 

Selain itu, korban kekerasan seksual sering kali merasa malu dan takut untuk melapor karena stigma sosial. Sehingga banyak kasus yang tidak dilaporkan dan tidak ditangani secara optimal. Ada pula faktor, kurangnya koordinasi dan sinergi antara lembaga penegak hukum, lembaga layanan, dan lembaga yang mengurusi perlindungan perempuan dapat menghambat penanganan kasus kekerasan seksual. 

“Beberapa lembaga ASN juga belum memiliki aturan internal yang eksplisit melarang kekerasan seksual dan menetapkan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Sehingga pelaku dapat merasa tidak ada konsekuensi atas perbuatannya.”

Baca juga: ‘Menyingkap Rok sampai Mencubit Payudara’ Stop Normalisasi Kekerasan Seksual di Sekolah 

ASN yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak mestinya bisa dijerat hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

“Selain itu, ASN tersebut juga dapat dikenakan sanksi administratif.” 

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), pegawai ASN dibagi menjadi dua. Yaitu pegawai negeri sipil (“PNS”) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (“PPPK”). Bagi yang berstatus PNS, terdapat 3 macam pemberhentian. Yaitu: (1) Diberhentikan dengan hormat, atas dasar: (2) Diberhentikan dengan tidak hormat; (3) Diberhentikan sementara. 

Sedangkan yang termasuk pelanggaran disiplin PNS tingkat berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 94/2021”) di antaranya adalah pelanggaran terhadap kewajiban untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan, apabila pelanggaran berdampak negatif pada negara. 

“Di dalam konteks ini, kekerasan seksual masuk dalam kategori pelanggaran disiplin tingkat berat,” katanya. 

Komnas Perempuan lantas merekomendasikan berbagai tindakan untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ASN. Termasuk penanganan kasus di institusi pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya. Rekomendasi ini mencakup upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban, serta penegakan hukum.

Terkait dengan penanganan kasus ASN Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ASN secara profesional dan independen, sesuai dengan peraturan disiplin pegawai negeri sipil. 

“Penanganan ini harus melibatkan tim yang kompeten dan melibatkan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” pungkas Agustini. 

Foto cover: Dok. Solidaritas untuk Korban

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!