Dugaan Kekerasan Seksual Mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS: Korban Diperkosa, Direkam, Diunggah di Website

Mantan Kapolres Ngada, NTT, Fajar WLS menjadi terduga pelaku kekerasan seksual terhadap tiga anak. Ia diduga melakukan perkosaan, eksploitasi seksual dan tindak pidana perdagangan orang terhadap anak. Koalisi masyarakat sipil desak polri lakukan proses hukum yang tranparan dan adil.

Peringatan pemicu: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.

Saat umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadan dan umat kristiani menjalani masa Prapaskah, warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikagetkan dengan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan eks Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Fajar diduga melakukan perkosaan, eksploitasi seksual, dan tindak pidana perdagangan orang terhadap anak. Adapun korban hingga saat ini setidaknya ada tiga anak, mereka berusia 6 tahun, 13 tahun dan 16 tahun.

Konde.co menemui Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Veronika Ata, biasa disapa Tory di Sekretariat LPA NTT, Senin (17/3/25). Kepada Konde.co Tory menuturkan tindak kekerasan seksual yang diduga dilakukan eks Kapolres Ngada tersebut.

Mengutip sumber terpercaya LPA NTT, Tory mengungkapkan terduga pelaku mengirim pesan melalui WhatsApp (WA) kepada seorang perempuan, F (20) yang menjadi perantara pada Juni 2024. F mengekos di rumah orang tua anak korban pertama. Saat kejadian anak korban pertama berusia 5 tahun, saat ini sudah 6 tahun.

F mengajak anak korban pertama pergi keluar rumah. Ia mengatakan kepada orang tua anak korban pertama mau mengajak anak korban jalan-jalan dan bermain. Orang tua anak korban pertama percaya dan melepaskan anak korban pergi bersama F karena mereka sudah menganggap F seperti keluarga.

F menyewa mobil rental dan membawa anak korban pertama ke tempat bermain game, jalan-jalan dan makan. Setelah itu, F mengajak anak korban pertama ke salah satu hotel. Di hotel, F dan anak korban pertama datang ke kamar terduga pelaku. Sebelum terduga pelaku melakukan kekerasan seksual, anak korban pertama disuruh berenang, setelah itu anak korban disuruh makan dan kemudian tertidur.

Baca juga: Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual

Saat anak korban pertama terbangun, terduga pelaku melakukan kekerasan seksual hingga membuat anak korban menangis karena kesakitan. Terduga pelaku lalu memberi uang sebesar 100 ribu rupiah kepada anak korban pertama. Sumber tersebut tidak menyebutkan apakah terduga pelaku saat memperkosa anak korban pertama membuat video atau tidak.

Setelah itu, F membawa pulang anak korban pertama dengan mobil rental tersebut. Anak korban pertama masih menangis. F membujuknya dan memberikan uang tujuh ribu rupiah. F terus membujuk dan mewanti-wanti anak korban untuk tidak memberitahukan apa yang terjadi di hotel kepada orang tuanya. Kalau ditanya uang dapat dari siapa sampaikan kalau uang tersebut dari ayah F.

“Saya dapat uang dari bapak kakak F,” jawab anak korban kepada ibunya saat itu, sebagaimana dikutip sumber LPA NTT.

Kepada LPA saat berkunjung ke rumah anak korban pertama pada Sabtu (15/3/25), ibu korban mengungkapkan suatu saat pada tahun 2024, sepulang perjalanan bersama F, anaknya memegang uang lembaran Rp 50.000. Ibunya bertanya dari siapa uang tersebut. Anak korban menjawab kalau uang tersebut didapatnya dari ayah F.

Saat itu ibu korban mempercayai begitu saja informasi tersebut karena mereka tidak menaruh curiga pada F. Ibu korban sangat menyesal karena waktu itu menerima begitu saja informasi itu dan tidak bertanya lebih mendalam kepada anaknya.

“Saya benar-benar menyesal, mengapa saya melepaskan anak saya pergi dengan F. Karena saya   menganggapnya sebagai keluarga, karena sudah kos di sini cukup lama. Saya kira dia benar membawa anak saya jalan-jalan ternyata dia menjual anak saya,” kata ibunya dengan suara tinggi menahan marah.

Baca juga: Menjadi Korban Trafficking: Buruh Migran Berhak Dapatkan Bantuan Hukum

Ibu korban, kata Tory baru mengetahui semua detail cerita anaknya yang mengalami kekerasan seksual oleh terduga pelaku saat anaknya dengan didampingi pekerja sosial (Peksos) dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Kupang diperiksa atau dibuat berita acara pemeriksaan (BAP) di Polda NTT.

Sementara anak korban yang lain yakni yang berusia 13 tahun (anak korban kedua) dan 16 tahun (anak korban ketiga) masih takut dan trauma. Pada Rabu (18/3/25) LPA NTT sudah bisa bertemu dengan mereka. Meski begitu mereka belum bisa menceritakan peristiwa yang mereka alami.

Diberi Uang Untuk Beli Baju

Masih dari sumber terpercaya LPA NTT, Tory menyampaikan anak korban kedua mendapatkan kekerasan seksual dari terduga pelaku pada 25 Januari 2025. Awalnya terduga pelaku menghubungi kakak sepupu anak korban kedua untuk mengirimkan foto anak korban. Setelah foto dikirim ke terduga pelaku, ia menyuruh keduanya datang di hotel. Terduga pelaku berjanji akan memberikan uang sebesar dua juta rupiah.

Anak korban kedua datang ke hotel bersama kakak sepupunya yang juga menjadi korban atau anak korban ketiga (16). Setiba di hotel, resepsionis tidak memperbolehkan mereka untuk check in karena mereka tidak mempunyai kartu identitas. Anak korban ketiga menelepon terduga pelaku. Terduga pelaku menelepon petugas hotel dan petugas hotel memberikan kartu akses pintu kepada anak korban. Keduanya diminta terduga pelaku bertemu di parkiran hotel.

Di parkiran hotel terduga pelaku memberikan uang sebesar satu juta rupiah untuk membeli baju dan makanan. Setelah itu, kakak sepupu anak korban kedua pergi membeli baju di salah satu toko. Setelah membeli baju, ia kembali ke hotel dan memberikan baju tersebut kepada anak korban kedua.

Di dalam kamar hotel, anak korban kedua berganti baju dengan baju yang baru dibeli kakak sepupunya. Setelah berganti baju, terduga pelaku melakukan kekerasan seksual kepada anak korban kedua.

Usai melakukan tindak kekerasan seksual terduga pelaku memesan makanan dari luar. Selesai makan, terduga pelaku memberikan uang sebesar satu juta rupiah kepada anak korban kedua. Setelah itu, anak korban kedua dan kakak sepupunya pulang. Hingga tulisan ini diturunkan informasi terkait tindak kekerasan seksual kepada anak korban ketiga (16) belum didapatkan LPA NTT.

Selanjutnya Tory menuturkan, ia sudah mendatangi keluarga korban pada Sabtu (15/3/25) pukul 11 siang. Awalnya sangat sulit untuk bisa bertemu dengan keluarga korban karena mereka menolak menemui siapapun lantaran mereka masih terkejut dan sedih.

Baca juga: Anak Perempuan di Persimpangan Hukum: Keadilan Restoratif Terlunta, Korban Dibiar Nestapa

Melalui sahabat saksi korban (SSK) LPA menemukan jalan untuk bisa bertemu keluarga korban. SSK menyampaikan kepada keluarga korban bahwa LPA NTT mau bertemu. Orang tua korban menyambut baik dan menyampaikan LPA NTT bisa diterima.

Ibu korban menuturkan kepada LPA NTT, mereka mengetahui kasus ini secara detail saat Polda NTT dan Dinas Pemberdayaan Perempaun dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang mendatangi keluarga korban di rumahnya akhir Februari 2025 lalu.

Kepala Dinas (Kadis) DP3A Kota Kupang, Imelda P Manafe yang dihubungi Konde.co secara terpisah membenarkan hal tersebut. Ia menjelaskan UPTD PPA awalnya mendapatkan informasi tentang kasus ini dari Polda NTT pada 21 Februari 2025. Setelah itu bersama-sama Polda NTT mencari korban. Saat pihaknya dan Polda NTT bertemu orang tua korban, mereka (orang tua korban) baru mengetahui anaknya menjadi korban kekerasan seksual dari eks Kapolres Ngada.

Selanjutnya Ketua LPA NTT, Tory mengungkapkan setelah mendapatkan informasi ini, ayah dan

ibu korban sangat terkejut dan tidak percaya kalau kejadian tersebut menimpa anaknya yang berusia lima tahun. Orang tua anak korban pertama menangis sejadi-jadinya karena tidak menyangka kasus ini menimpa buah hati mereka.

Ayah dan ibu korban sangat kecewa mendapati kenyataan bahwa terduga pelaku adalah seorang aparat penegak hukum pimpinan kepolisian yang mestinya mengayomi dan melindungi masyarakat. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, menjadi terduga pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.

Keluarga Korban Tuntut Hukuman Mati

Ibu korban menegaskan terduga pelaku pantas dihukum seberat-beratnya berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup sebagai pemberatan karena saat melakukan kekerasan seksual, pelaku   masih menjadi kapolres aktif, yang mestinya menjadi panutan dan teladan di masyarakat.

Selain itu, terduga pelaku juga sudah merusak masa depan anaknya dan anak-anak lainnya di Kota Kupang. Karena itu, orang tua korban sangat mengharapkan dukungan banyak pihak untuk mengawal kasus ini dan memberi dukungan kepada keluarga yang anak-anaknya menjadi korban.

Tory mengungkapkan saat ini anak korban sudah mendapatkan pendampingan psikologi dan hukum. Pendampingan psikologi oleh psikolog HIMPSI dan Konseling oleh LPA NTT sementara pendampingan hukum oleh LBH APIK NTT dan LPA NTT. LBH APIK NTT yang akan mendampingi secara hukum baru mendapat kuasa dari anak korban melalui orang tuanya Rabu (18/3/25).

Kepala DP3A Kota Kupang, Imleda P Manafe menyatakan pihaknya melalui UPTD PPA Kota Kupang telah memberikan layanan dampingan pskologi, hukum, kesehatan dan rohani kepada anak korban. Saat anak korban diperiksa di Polda NTT, anak korban didampingi pekerja sosial (peksos) dan pendamping hukum dari UPTD PPA Kota Kupang. Saat ini anak korban pertama sudah dikembalikan kepada orang tuanya sementara anak korban kedua dan ketiga ada di UPTD PPA.

Terkait pemenuhan hak-hak anak korban terutama dari institusi kepolisian menurut Tory kepolisian belum memberikan perlindungan secara khusus. Selama ini yang memberikan perlindungan dari DP3A Kota Kupang.

Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara yang dihubungi secara terpisah Selasa (18/5/25) mengemukakan LBH APIK NTT sudah menerima kuasa dari anak korban pertama. Kuasa ditandatangani oleh orang tuanya karena korban adalah anak. Dengan kuasa yang diberikan kepada LBH APIK NTT, pihaknya akan segera melakukan pendampingan hukum dan semua proses demi penegakan hukum dan keadilan bagi korban. 

Baca juga: Dipaksa Aborsi dan Terpaksa Judol, Malah Dipidana Masuk LPKA: Anak Berkonflik dengan Hukum Terbelenggu Ego Negara

Informasi yang didapatkan LPA NTT, kepolisian beberapa kali datang ke rumah orang tua anak korban pertama. Namun belum diketahui dengan jelas perlindungan seperti apa yang diberikan. LPA juga mendapatkan informasi dari keluarga korban kalau polisi meminta agar keluarga tidak perlu banyak bicara tentang kasus ini.

Sementara pendamping peksos UPTD PPA Kota Kupang yang mendampingi anak korban kedua dan ketiga menurut Tory tidak ramah terhadap korban. Ia melakukan kekerasan verbal. Memaksa anak untuk makan padahal saat itu anak masih takut. Karena mendapat perlakuan tidak ramah anak korban menangis.

Merespons situasi ini Tory menegaskan sebagai pendamping, peksos harus sudah dilatih terlebih dahulu sebelum melakukan pendampingan korban. Apalagi korban masih anak-anak, pendamping peksos harus memahami situasi psikologis anak jika sedang tertekan.

“Jangan memaksa dan menghakimi, harus memberi rasa aman dan nyaman agar anak bisa segera pulih,” ujarnya.

Sementara Kadis DP3A Kota Kupang, Imelda Manafe yang dikonfirmasi terkait peksos yang tidak ramah dan melakukan kekerasan verbal, menyampaikan anak-anak korban masih baru di shelter dan mempunyai kebiasaan selama ini dari luar. Di shelter pukul 07.00 Wita harus makan pagi, harus mandi. Jika terlambat makan nanti makanan dingin dan anak-anak korban bisa sakit.

Peksos yang mendampingi mereka mungkin dalam kondisi lelah. Sehingga setelah beberapa kali memanggil anak korban untuk makan dan mandi, anak-anak korban belum merespons, maka peksos menegur dengan suara yang tinggi. Untuk kenyamanan anak-anak korban, pendamping peksos tersebut untuk sementara sudah diistirahatkan.

Hingga saat ini, lanjut Tory, LPA NTT sudah bertemu dengan ketiga anak korban. Ketiganya dalam kondisi trauma berat. Anak korban pertama pada awal kasus ini kalau melihat orang berbaju warna cokelat, akan menolak untuk bertemu. Meski yang memakai baju cokelat adalah pendamping perempuan. Korban anak ini meminta agar pendamping mengganti baju warna coklat. Selain itu pada situasi awal anak korban juga menghindar dari laki-laki. 

Baca juga: Pekerja Magang di Pengadilan Negeri Alami Pelecehan Seksual, Oknum Hakim Diduga ‘Intimidasi’ Korban

Sementara anak korban ketiga awalnya melarikan diri dan bersembunyi karena takut dan malu. Dia akhirnya ditemukan pada 13 Maret 2025. Sementara anak korban kedua wajahnya murung. Diajak bicara yang ringan, ia menanggapi tetapi volume suaranya kecil. Ia mengungkapkan kalau dirinya masih takut.

Sementara F sudah dibawa polisi ke Jakarta. Hingga berita ini diturunkan belum diketahui apakah F sudah ada pendamping hukum atau tidak.

Kasus ini terbongkar dari penyelidikan yang dilakukan Kepolisian Federal Australia (AFP) yang menemukan video berisi kekerasan seksual terhadap anak di web gelap (dark web). Dari pelacakan diketahui video tersebut diunggah dari Kota Kupang, NTT pada pertengahan 2024.

Informasi yang diterima Divisi Hubungan Internasional Polri tersebut diteruskan ke Polda NTT dan selanjutnya dilakukan penyelidikan. Informasi dari kepolisian federal Australia membantu kepolisian menemukan korban dan hasil penyelidikan mengarah pada Kapolres Ngada.

Mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual di sebuah hotel di Kota Kupang. Pada saat itu, Fajar memesan salah satu kamar hotel dengan identitas yang tertera pada surat izin mengemudi miliknya. Terduga pelaku kemudian menghubungi seorang perempuan berinisial F yang juga adalah korban untuk membawa anak di bawah umur. Selanjutnya F membawa anak di bawah umur dan karena jasanya tersebut ia dibayar tiga juta rupiah.

Perlu Evaluasi Internal Kepolisian

Aparat kepolisian menjadi pelaku tindak pidana kekerasan seksual seperti diduga dilakukan mantan Kapolres Ngada, NTT, Fajar Widyadharma Lukman adalah kasus kesekian. Psikolog sekaligus pengajar psikologi forensik Universitas Paramadina Ratri Kartikaningtyas melihat aspek internal sebagai faktor yang berkontribusi. Sementara pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Lidwina Inge Nurtjahyo menyoroti aspek eksternal.

Ratri menjelaskan setidaknya ada dua hal, Pertama terduga pelaku kemungkinan besar tidak dalam kondisi kesehatan mental yang baik sehingga dapat menggunakan logikanya secara matang dalam pengambilan keputusan. Kedua ada penghayatan yang keliru tentang jabatan atau peran yang dijalankan oleh terduga pelaku sehingga menyalahgunakan kekuasaan.

Ciri khas dari kekerasan adalah adanya ketimpangan relasi kuasa. Gap yang lebar antara terduga pelaku dengan korban baik dari segi usia maupun jabatan justru dimanfaatkan oleh terduga pelaku lewat penghayatan yang keliru atas perannya. Yakni sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

“Ketimpangan relasi kuasanya sangat besar, antara anak dengan orang dewasa, inikan sesuatu yang sangat timpang. Apalagi terduga pelaku adalah aparat penegak hukum tetapi justru melakukan pelanggaran hukum yang cukup berat karena korbannya anak yang mestinya mendapat perlindungan. Jadi sangat memprihatinkan,” papar Ratri kepada Konde.co Rabu (19/3/25).

Sementara itu Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengungkapkan polisi memang sangat rentan menjadi pelaku kekerasan. Adapun bentuk kekerasan yang dilakukan bisa beragam, mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan seksual.

“Mereka rentan sekali menjadi pelaku kekerasan karena mereka powerful (punya kuasa) dan pegang otoritas sekaligus dilindungi undang-undang” kata Inge kepada Konde.co, Selasa (18/3/25).

Di sisi lain ada hierarki dan prinsip senioritas yang kuat di internal lembaga. Salah satunya berupa pengawasan yang ketat terhadap anggota polisi baik dari aturan maupun atasan. Seorang anggota polisi yang sudah senior misalnya akan punya kuasa dan kontrol terhadap anggota polisi bawahannya. Di sisi lain mereka yang menjadi bawahannya harus patuh terhadap seniornya.

Baca juga: “Anak-Anak Kami Tak Salah, Tapi Dikambinghitamkan,” Kisah Para Ibu Korban Salah Tangkap Polisi

“Tetapi justru dengan pola seperti itu, maka kemudian mereka seolah dibentuk menjadi manusia super, padahal tujuan pendidikan kepolisian tentu tidak sepeti itu. Padahal mereka perlu dikembangkan kemampuannya untuk menalar soal empati, angry management, dan sebagainya,” papar Inge.

Karena itu menurut Inge perlu ada evaluasi atas kurikulum pendidikan kepolisian. Kepolisian perlu mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan cara berhadapan dengan korban yang merupakan kelompok rentan, seperti perempuan, anak, lansia, disabilitas. Cara berhadapan dengan pelaku kejahatan yang misalnya mengalami disabilitas psikososial, dan sebagainya. Termasuk kurikulum yang berkaitan dengan pengelolaan kemarahan, depresi dan sejenisnya.

Kapasitas dan profesionalitas pengajar juga perlu menjadi perhatian. Saat ini sebagian pengajar adalah dosen internal, perwira yang menjelang pensiun.

“Sepanjang keahliannya sesuai mungkin tidak masalah. Akan tetapi dibutuhkan pengajar profesional. Orang-orang yang memang menguasai bidangnya dan berintegritas baik. Kurikulum juga harus disesuaikan dengan berbasis kebutuhan masyarakat dan multidisiplin,” papar Inge.

Selain kurikulum, proses rekrutmen juga menjadi hal penting terutama terkait dengan pemeriksaan psikologis. Tahap ini menurut Inge bisa dilakukan misalnya oleh psikolog dari lembaga pendidikan yang punya kualifikasi baik.

Terkait pengawasan, Inge menilai selama budaya di dalam kepolisian masih semimiliter maka akan sulit dilakukan. Apalagi mereka punya tradisi internal yang sangat kuat. Upaya yang perlu didorong adalah menempatkan polisi sesuai tugasnya misalnya pemetaan isu keamanan, penegakan hukum, dan sebagainya.  Terutama untuk kasus-kasus khusus seperti kasus terkait dengan perempuan dan anak.

Psikologis Anak Harus Diperhatikan

Psikolog anak, remaja dan keluarga, Ratri Kartikaningtyas menjelaskan anak korban kekerasan seksual butuh proses yang tidak sederhana dan waktu yang tidak sebentar juga kerja sama dari berbagai pihak untuk pulih dari trauma.

Akan tetapi selain pendekatan terapi psikologi untuk pemulihan trauma, penting juga bagi orang dewasa di sekitar anak korban untuk mengontrol respons mereka.

“Sering kali orang dewasa di sekitar anak korban punya reaksi emosi yang lebih intens. Ini karena kita sebagai orang dewasa misalnya sangat prihatin, turut sedih dan lain sebagainya. Tetapi itu justru kemudian menularkan reaksi pada anak,” ujar Ratri kepada Konde.co, Rabu (19/3/25).

Sedangkan respons anak sering kali tidak sama dengan respons orang dewasa, karena sangat mungkin anak masih terbatas pemahamannya. Untuk itu penting bagi orang dewasa di sekitar anak korban menjaga agar respons anak korban sesuai dengan penghayatannya.

Artinya anak mungkin punya pemahaman dan penghayatan sendiri atas hal yang dia alami. Tetapi kemudian reaksi orang dewasa di sekitarnya bisa memengaruhi reaksinya.

“Misalnya seorang anak yang menjadi korban, tentu saja dia mengalami takut, marah, sedih, bingung. Bingung dan takut juga marah itu yang paling sering mendominasi pada anak-anak. Tetapi stigma orang dewasa yang menyangkut kehormatan, kemudian perasaan malu, itu biasanya dipelajari dari reaksi orang dewasa di sekitarnya,” urai Ratri.

Ia menambahkan, malu biasanya bukan respons spontan anak. Tetapi anak lebih merasa takut, bingung, sedih. Perasaan takut akan lebih dominan terutama karena peristiwa tersebut terjadi antara orang dewasa yang kuat dengan anak-anak yang masih kecil.

“Jadi perasaan malu itu sesuatu yang dipelajari dari respons orang di sekitarnya. Maka kita perlu hati-hati agar tidak menularkan respons kita terhadap anak-anak yang mungkin tadinya tidak punya perasaan malu. Tetapi kemudian dia jadi belajar bahwa ini sesuatu yang memalukan,” ujarnya.

Baca juga: Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya

Ratri juga menegaskan pentingnya pendampingan bagi keluarga korban. Apalagi saat ini salah satu anak korban posisinya sudah bersama keluarga kembali setelah sebelumnya dengan UPTD PPA. Ini dimaksudkan agar reaksi orang dewasa di sekitar anak tidak banyak memengaruhi anak.

Lingkungan sekitar atau tetangga juga penting diperhatikan karena respons dan komentar dari orang sekitar juga turut membantu pemulihan anak korban. Selain itu penting juga untuk “memosisikan situasi yang normal” tanpa mengecilkan peristiwanya. Jadi tidak membuat anak merasa bahwa peristiwa tersebut sesuatu yang memalukan.

“Jadi sebenarnya situasi normal sehari-hari itu juga perlu dikondisikan. Sehingga anak tidak terlalu merasa bahwa dirinya menjadi pusat perhatian yang negatif dan lain sebagainya,” ujarnya.

Terkait posisi anak korban sebaiknya bersama orang tua atau berada di shelter, perlu dilakukan asesmen. Ini penting untuk mengetahui apakah keluarga dan lingkungan sekitar siap untuk mendampingi anak. Ratri menjelaskan kalau keluarga punya reaksi emosi yang lebih intens dan stigmanya juga kuat sekali, maka shelter bisa jadi pilihan yang lebih baik.

“Jadi kita perlu lihat juga bagaimana relasi orang tua dengan anak selama ini. Apakah punya hubungan emosional yang hangat? Kalau memang iya, itu berarti anak korban lebih baik bersama orang tuanya. Perlu juga dilihat reaksi orang tuanya sekarang seperti apa? Respons di lingkungan sekitarnya bagaimana? Adakah stigma dan lain sebagainya?” bebernya.

Kalau misalnya masih ada stigma, artinya keluarga dan lingkungan belum siap. Ini bisa membuat anak nantinya tidak baik-baik saja. Jadi anak korban bisa berada di shelter dahulu sambil keluarga disiapkan sehingga akan membantu optimalisasi pemulihan anak.

Baca juga: Terduga Pelaku Teror Keluarga Korban Perkosaan Anak, Begini Cara Menghadapinya

Sementara saat ini proses pidana kasus ini juga sedang berjalan. Dengan posisi anak korban sebagai saksi korban, tentu nanti akan menghadapi proses peradilan. Untuk itu Ratri mengungkapkan anak korban perlu pendampingan agar dia bisa memberikan keterangan secara spontan dan tidak di bawah tekanan.

“Jadi pendampingan psikologis pada anak korban ini bukan hanya untuk pemulihan tetapi tentu saja di awal-awal lebih dibutuhkan untuk nanti memberikan keterangan pada proses pengumpulan bukti dan fakta. Sehingga dibutuhkan kondisi anak yang lebih stabil secara psikologis,” jelasnya.

Ratri menegaskan dalam proses pemeriksaan, anak korban bisa memberikan keterangan tetapi dengan pendekatan berbasis anak dan tanpa tekanan serta dalam situasi yang lebih kondusif.

Masyarakat Sipil Desak Polri Agar Proses Hukum Dilakukan Secara Transparan

Menyikapi kasus ini masyarakat sipil mendesak Polri agar proses hukum terhadap mantan Kapolres Ngada tersebut dilakukan secara transparan dan adil. Masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (SAKSIMINOR) menggelar konferensi pers pada Kamis (20/3/25) di aula Kantor Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTT.

SAKSIMINOR mendukung Keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada mantan Kapolres Ngada. Berdasarkan keputusan tersebut, mereka mendesak Kapolri untuk menolak upaya banding terduga pelaku sebagai bentuk penghormatan kepada Institusi Polri dan penghormatan terhadap rasa keadilan korban.

Ketua LPA NTT Veronika Ata saat membacakan pernyataan sikap mengatakan Polri seharusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat. Bukan sebaliknya anggota bahkan seorang pimpinan polisi menjadi pelaku kejahatan seksual. Tindakan keji ini merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan prinsip perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.

“Kejahatan seksual ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang harus ditangani secara extraordinary,” ungkapnya.

SAKSIMINOR juga mengutuk keras kasus ini dan menyatakan sikap, pertama memberikan perlindungan penuh kepada korban dan keluarga selama proses hukum dan proses pemulihan berlangsung, termasuk perlindungan dari intimidasi, ancaman, atau dampak psikososial lebih lanjut akibat kasus ini.

Kedua, pemenuhan hak- hak korban dan keluarga atas pemulihan psikologi, sosial, kesehatan dan hak atas restitusi sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Ketiga, negara segera membuka saluran pengaduan aman yang melibatkan Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komnas Perlinduangan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Layanan Perempuan dan Anak di NTT, Lembaga Agama, mengingat tren kasus kejahatan seksual memungkinkan adanya korban lain yang belum berani bersuara.

Baca juga: Wisatawan Diperkosa di Labuan Bajo: 4 tahun Kasus Mandek, Polisi Hentikan Penyelidikan dan Intimidasi Korban 

Keempat, menuntut agar saksi/korban “F” mendapatkan pendampingan dari Lembaga Pendamping korban dan/atau LBH selama proses hukum berlangsung guna memastikan hak-haknya terpenuhi. Selain itu kami menekankan bahwa dalam proses hukum pada kasus ini Saksi/Korban “F” harus memberikan kesaksian tanpa intimidasi. Ini sesuai amanat Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang akses keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penanganan Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Kelima, mendukung Keputusan Sidang KKEP yang menjatuhkan sanksi PTDH kepada mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Berdasarkan keputusan tersebut, Kapolri wajib menolak upaya banding yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Institusi Polri dan penghormatan terhadap rasa keadilan korban.

Konferensi pers SAKSIMINOR menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan eks Kapolres Ngada digelar di Kantor PKBI NTT, Kamis 20 Maret 2025. Foto: Anna Djukana/Konde.co

Keenam, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan wajib menerapkan pasal berlapis, menjatuhkan hukuman maksimal dengan pemberatan, menggunakan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diperbaharui dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak; Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Perubahan Kedua Pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Ketujuh, kepolisian harus transparan dalam proses penyidikan kasus ini dan menyampaikan ke publik dengan mengedepankan prinsip-prinsip penghargaan dan perlinduangan korban. Kedelapan, kepolisian tidak mengeluarkan pernyataan yang menggiring opini publik untuk membangun alasan pemaaf bagi pelaku. Setiap pernyataan yang menguntungkan pelaku adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan bagi korban.

Baca juga: Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita

Kesembilan, kepolisian mengusut tuntas keterlibatan pelaku lain, jaringan pornografi, perdagangan orang dan melakukan patroli siber secara intens, menghapus jejak digital untuk perlindungan korban demi percepatan pemulihan. Melacak transaksi elektronik pelaku, termasuk aliran dana yang diduga berkaitan dengan kejahatan ini melalui rekening dan perangkat seluler pelaku, sebagaimana diatur dalam UU TPKS.

Kesepuluh, pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penghapusan Dokumen Elektronik Bermuatan Pornografi Anak, sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS. Kesebelas, mendukung kerja-kerja insan pers mempublikasi kasus ini sebagai bagian dari salah satu fungsi pers melakukan kontrol.

Insan pers agar tunduk dan taat pada Peraturan Dewan Pers Nomor 6/PeraturanDP/V/2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik. Pasal 5 menyatakan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Serta Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Pasal 19 yang menyatakan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Identitas anak meliputi nama, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.

Keduabelas, masyarakat harus mengawal proses penegakan hukum dan memberikan dukungan kepada korban dan keluarga dalam memperjuangkan keadilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Konferensi pers SAKSIMINOR diikuti sejumlah wartawan, Kamis (20/3/25) di Kupang, NTT. Foto: Anna Djukana/Konde.co

Pagi ini Jumat (21/3/25) Forum Academia NTT dan berbagai jaringan masyarakat sipil, gereja, dan individu di NTT, nasional dan Internasional yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Anak mengadakan aksi di kantor Polda NTT dan menyerahkan pernyataan sikap.

Aksi digelar di Kantor Polda NTT sebagai representasi Kapolri, untuk memastikan agar kejadian ini merupakan kejadian terakhir yang terjadi di tubuh Polri. Khususnya untuk memastikan tren Kapolri menempatkan pejabat polisi yang punya catatan buruk ke NTT segera diakhiri.

Baca juga: Putri Komodo, Kisah Perempuan Korban Kekerasan di NTT

“NTT bukan tempat buangan kriminal Polri. Jangan buang sampah ke sini,” tegas mereka dalam pernyataan sikap.

Koalisi menyampaikan sejumlah tuntutan yakni: pertama, menuntut Polri melakukan proses hukum yang transparan dan adilatas kasus dengan tersangka Fajar.

“Bagi kami, kekerasan seksual yang dilakukan oleh yang bersangkutan harus dilihat sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), terutama dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya dengan pasal berlapis tanpa impunitas.”

Kedua, meminta Kapolri dan jajarannya untuk meminta maaf secara kelembagaan kepada masyarakat NTT.Ketiga, Polri harus membuka ulang kasus A, ‘kasus bunuh diri anak’ korban

pemerkosaan yang dipetieskan oleh AKBP Fajar semasa ia menjadi Kapolres Sumba Timur. Termasuk kasus-kasus kekerasan seksual yang dipetieskan semasa AKBP Fajar bertugas di berbagai Polres di Indonesia.

Keempat, aplikasi Michat dan aplikasi sejenis harus dilarang di Indonesia karena terbukti menjadi medium utama penjualan orang terutama anak-anak perempuan dan akses pedofilia. Kelima, menuntut Kapolri untuk membongkar sindikat prostitusi anak di Kota Kupang dan NTT serta menyebutkan secara eksplisit sanksi untuk anggota Polri yang terlibat dalam prostitusi dan pornografi anak.

Keenam, menuntut Kapolri dan lembaga Polri memastikan agar seluruh korban, baik anak dan remaja dari AKBP Fajar mendapatkan restitusi, mulai dari jaminan hidup dan beasiswa hingga perguruan tinggi serta jaminan pendampingan psikologi hingga mereka dewasa.

Ketujuh, polri harus mengusut secara transparan jaringan perdagangan narkoba di NTT, termasuk yang dipakai AKPB Fajar. Kedelapan, polri, TNI, dan Komdigi perlu bekerja keras memerangi cybercrime di Indonesia. Kesembilan, database pelaku kekerasan seksual perlu dibuat terbuka dan bisa diakses publik.

Kesepuluh, Gubernur NTT dan jajaran perlu menjadikan program pencegahan kekerasan seksual pada anak sebagai program prioritas di NTT, menyediakan fasilitas Rumah Aman dan tenaga profesional yang cukup di seluruh kota/kabupaten di NTT, menyatakan bahwa materi Pendidikan dan sosialisasi kekerasan seksual pada anak wajib diberikan kepada seluruh perangkat daerah dan tokoh masyarakat.

Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya

Kesebelas, maraknya prostisusi remaja dan banalitas sex child trafficking di Kupang harus menjadi tanggungjawab bersama untuk diselesaikan.

Sebelumnya pada Jumat (14/3/25) Jakarta Feminist juga mengutuk keras perkosaan, eksploitasi seksual, dan dugaan tindak pidana perdagangan orang terhadap anak yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS.

“Kejahatan/kekerasan seksual berlapis ini adalah tindakan yang tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, dan bentuk eksploitasi seksual terhadap anak perempuan.”

Dalam rilisnya Jakarta Feminist mengungkapkan selama proses penyidikan berlangsung hingga rilis ditulis, menerka menemukan kejanggalan dengan tendensi proses hukum yang tidak transparan serta akuntabel.

Pertama, Jakarta Feminist menyesalkan langkah Kapolri yang sempat memberikan sanksi berupa mutasi kepada tersangka Fajar SLW ke Pelayanan Masyarakat (Yanma) Polri, alih-alih langsung memberhentikan tersangka dan memproses hukum kasus ini. Langkah ini menunjukkan ketidakseriusan Institusi Kepolisian dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Padahal, Institusi Polri menjadi pintu pertama korban kekerasan seksual mencari keadilan lewat jalur hukum.

Kedua, ketidaksinkronan fakta seputar usia korban.Ketiga, penggunaan dasar hukum dan terminologi yang tidak tepat.Pihak kepolisian juga hanya menyebutkan bahwa tersangka diduga melakukan “pelecehan seksual” atau “persetubuhan” terhadap anak. Terminologi ini jelas mereduksi tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka Fajar SLW.

Jika ditelaah lebih lanjut, kasus ini sama sekali bukan pelecehan atau persetubuhan, melainkan eksploitasi seksual dan kuat indikasi unsur perdagangan orang yang dampak dan skalanya jauh lebih sistemik serta adanya kemungkinan kejahatan ini melibatkan berbagai pihak.

Pasalnya, tersangka Fajar SLW tidak hanya melakukan pencabulan tetapi video aksinya turut diunggah ke sebuah situs di Australia untuk kepentingan komersial. Dengan demikian, tersangka Fajar SLW dapat dituntut atas tindak pidana berlapis.

Keempat, adanya indikasi sindikat dan potensi korban-korban lain. Jakarta Feminist mendorong adanya investigasi lebih lanjut seputar dugaan sindikat perdagangan orang dalam kasus ini.

Anna Djukana dan Anita Dhewy

Kontributor Konde.co di Kupang dan jurnalis Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!