April Adalah Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual, Kenakan Pita Biru Atau Denim

April adalah Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual. Ia punya sejarah panjang dan masih relevan hingga hari ini. Pakai pita atau denimmu Rabu besok sebagai simbol keberpihakan pada penyintas dan dukung mereka.

April diperingati sebagai Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual (Sexual Assault Awareness Month/SAAM) di banyak negara, terutama di Amerika Serikat. Bulan ini menjadi ajang edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai kekerasan seksual (KS), seperti mendukung korban dan mempromosikan kampanye lewat edukasi dan acara yang menarik.

Denim Day atau hari memakai jeans merupakan salah satu cara mengampanyekan anti kekerasan seksual. Denim Day biasanya diadakan pada hari Rabu terakhir di bulan April untuk meningkatkan kesadaran mengenai KS dan menentang mitos seputar perkosaan. Penggunaan jeans merupakan simbol protes dari stereotipe bahwa model pakaian tertentu “mengundang” kekerasan seksual.

April 2025 ini menandai ulang tahun SAAM yang ke-24 tahun. Gerakan yang dikoordinasi National Sexual Violence Resource Center (NSVRC) ini sejarahnya berakar dari gerakan hak-hak sipil pada 1940-an dan 1950-an. Dipelopori oleh perempuan kulit hitam dan minoritas rasial, gerakan ini berfokus pada interseksi antara kekerasan berbasis gender dan ras. Sebuah kerangka berpikir yang bertahun kemudian diperkenalkan oleh Kimberle Crenshaw sebagai interseksionalitas.

Pada masa itu, Rosa Parks, aktivis hak-hak sipil Amerika Serikat, aktif mengadvokasi korban KS. Rosa juga dikenal karena aksinya menolak memberikan tempat duduk bagi penumpang kulit putih di bus yang menerapkan segregasi di Montgomery, Alabama. Tindakannya memicu aksi boikot bus Montgomery hingga kemudian mengakhiri kebijakan segregasi rasial yang berlaku di transportasi umum.

Pada 1944, Rosa mendirikan Committee for Equal Justice for Recy Taylor. Komite tersebut didirikan untuk memperjuangkan keadilan bagi Recy Taylor, perempuan kulit hitam yang diperkosa enam laki-laki kulit putih di Alabama. Kasus Recy tidak pernah sampai ke pengadilan karena dewan juri yang terdiri dari para laki-laki kulit putih menolak kasus tersebut.

Baca juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’

Kisah ini menunjukkan upaya perempuan kulit hitam melakukan advokasi dan melindungi perempuan dari KS terutama dalam konteks rasisme yang dalam. Hal ini juga berarti bahwa identitas ras dari seseorang menghasilkan tantangan yang berlapis (konsep interseksionalitas).

Upaya Rosa dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan terutama bagi perempuan korban kekerasan tersebut turut berpengaruh terhadap perkembangan gerakan SAAM.

Aktivisme lain terkait advokasi isu kekerasan seksual juga dilakukan lewat aksi seperti Speak-out oleh New York Radical Feminists tahun 1971. Aksi ini dihadiri 300 perempuan untuk berbagi pengalaman dan membangun kesadaran publik tentang perkosaan. Selain itu, ketika korban KS mulai rapat dan berbicara terbuka, gerakan lain pun bermunculan. Misalnya, Rape Awareness Week di Washington.

Momen penting lainnya adalah berdirinya pusat krisis perkosaan pertama di San Fransisco pada 1971. Diikuti dengan acara Take Back the Night pertama tujuh tahun setelahnya pada 1978. Selanjutnya ada pengesahan Violence Against Women Act (VAWA) pada 1993.

Sebelum resmi berdiri pada 2001, gerakan SAAM ini diselenggarakan oleh pada advokat KS selama “Minggu Kesadaran Kekerasan Seksual”. Hingga tahun 2000, pita berwarna biru kehijauan (teal ribbon) ditetapkan sebagai simbol kesadaran dan menjadi identitas SAAM.

Gerakan-gerakan tersebut menjadi dasar kesadaran adanya SAAM hingga resmi dibentuk oleh NSVRC. April disepakati banyak pihak menjadi bulan kesadaran kekerasan seksual sebagaimana telah dilakukan para advokat KS pada 1970-an.

Warna biru kehijauan juga dipilih karena memiliki makna yang dalam, seperti kepercayaan dan penyembuhan. Setiap tahun selama April, individu dan organisasi di dunia mengenakan warna tersebut atau pita untuk menunjukkan solidaritas ke penyintas dan peningkatan kesadaran publik melalui Wear Teal Day atau Hari Mengenakan Biru Kehijauan.

Kisah di Balik Denim Day: Mengenakan Jeans Adalah Simbol Perlawanan

Di banyak situasi kekerasan seksual, sering kali yang disalahkan adalah pakaian korban. Denim Day bertujuan menentang mitos seputar perkosaan, seperti perkosaan terjadi karena pakaian tertentu yang dipakai korban “mengundang” terjadinya kekerasan seksual. Mitos tersebut sangat menyudutkan tubuh korban KS yang kebanyakan adalah perempuan dan melanggengkan relasi kuasa.

Begitu pula yang terjadi pada 1990-an di Italia, yaitu ketika seorang hakim mencabut vonis pelaku perkosaan dengan alasan pakaian korban. Hakim tersebut menilai korban menyetujui perkosaan tersebut karena korban mengenakan jeans ketat. Penggunaaan jeans ketat dinilai menyiratkan persetujuan.

Kala itu, seorang perempuan muda berusia 18 tahun sedang mengambil kursus mengemudi. Namun, ia mendapatkan perlakuan tidak pantas dari instruktur pengemudinya, seorang laki-laki berusia 45 tahun. Instruktur memperkosanya selama pelajaran mengemudi dan korban melaporkannya ke polisi.


Awalnya, pelaku dihukum karena tindakannya tersebut. Namun, pada 1998, Corte di Cassazione, atau Mahkamah Agung di Italia membatalkan vonis tersebut karena jeans ketat yang dipakai korban.

Publik pun menyampaikan tidak setuju terhadap hakim tersebut. Pemikiran seperti itu membudayakan victim blaming atau menyalahkan korban. Seolah-olah perkosaan terjadi karena “permintaan”, bukan karena isu objektifikasi perempuan yang lebih mengakar.

Protes besar-besaran terjadi di Italia. Anggota parlemen perempuan dari Partai Demokrat Kiri mengenakan jeans ke parlemen sebagai bentuk solidaritas kepada korban dan sebagai bentuk pengecaman putusan tersebut.

Aksi ini mendapatkan perhatian publik, seperti Peace Over Violence di Los Angeles. Hingga tahun 1999 diluncurkanlah Denim Day sebagai bentuk dukungan kepada penyintas dan penentangan terhadap budaya victim blaming.

Berhenti Salahkan Korban, Berpihaklah Pada Mereka

Di Indonesia, kekerasan seksual adalah isu serius. Struktur patriarki, di mana laki-laki dominan dan perempuan subordinat, berkontribusi pada victim blaming

Victim blaming adalah sikap menyalahkan korban kekerasan seksual, sering kali berdasarkan hipotesis dunia yang adil (just-world hypothesis). Yakni masyarakat percaya bahwa dunia itu adil dan hal buruk terjadi pada orang yang jahat.

Bentuknya termasuk pertanyaan mengenai bagaimana pakaian korban, lokasi kejadian, atau pengaruh alcohol. Termasuk pernyataan seperti “dia (korban) yang meminta” yang justru mengalihkan fokus dari relasi kuasa pelaku. Akibatnya, korban mungkin mengalami kecemasan, depresi, dan lainnya sehingga enggan melaporkan kasusnya.

Pemberitaan kasus KS juga sering kali menggunakan bahasa seksis, menyoroti tindakan korban daripada pelaku. Seperti dalam kasus pelecehan yang banyak terjadi di transportasi umum seperti pernah ditulis Konde.co. Belum lagi jika membicarakan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang marak terjadi karena perkembangan teknologi yang pesat.

Bahkan selama kuartir pertama 2025, sudah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ini membuktikan bahwa Indonesia masih darurat kekerasan seksual. Data yang ada menunjukkan pelaku KS kerap merupakan orang terdekat korban. Bahkan sosok yang dianggap bisa memberikan perlindungan, seperti dosen, guru besar, maupun aparat.

Baca juga: Dugaan Kekerasan Seksual Mantan Kapolres Ngada, Fajar WLS: Korban Diperkosa, Direkam, Diunggah di Website

Mengacu pada piramida kekerasan, puncak kekerasan berupa penghilangan nyawa bermula dari tindakan pewajaran. Seperti menormalisasi keyakinan gender yang biner, homofobia, serta konsep-konsep yang diskriminatif.

Dari konsep diskriminatif tersebut akan menghasilkan ekspresi/ungkapan yang menjatuhkan tubuh yang dianggap lebih rendah. Perlu diingat karena sering tidak disadari bahwa kelompok rentan, seperti teman-teman transpuan, mengalami kerentanan berlapis dalam situasi ini.

Tidak sampai pada ungkapan saja, pemikiran/konsep yang diskriminatif akan melahirkan tindakan kekerasan. Hal itu seperti pemukulan, pengeroyokan, pelecehan, bahkan hingga pembunuhan.

Pada tahun 2022, UU TPKS telah disahkan. Ini merupakan langkah progresif karena memperluas definisi kekerasan seksual, yang mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual, mengakui laki-laki dan anak laki-laki sebagai korban, dan menyediakan restitusi serta konseling.

Namun, pelatihan khusus gender untuk aparat penegak hukum (APH) seperti polisi, jaksa, dan hakim masih sangat diperlukan. Perkataan/perlakuan tidak sensitif dari APH sering kali memperburuk trauma korban.  

Kekerasan Seksual Masih Marak, Jadilah Sekutu Dimanapun Kamu Berada

Kampanye SAAM terus mengalami perkembangan. Semula fokus pada kesadaran pada awal 2000-an sambil mempromosikan pita warna teal. Selanjutnya fokus pada pencegahan pada 2000-an pertengahan yang menargetkan komunitas di kampus dan tempat kerja. Pada 2010-an, SAAM menekankan pada isu seksualitas, persetujuan atau consent, dan bystander intervention. Akhir-akhir ini, SAAM menargetkan audiens baru, yaitu orang tua hingga pemimpin agama.

Menjadi sekutu berarti mendukung korban dengan cara yang sensitif. Mempercayai korban serta mendengarkan korban tanpa menghakimi adalah ruang aman yang dibutuhkan.

Memiliki perspektif korban berarti mendahulukan segala kepentingan korban di atas kepentingan apapun. Kepentingan korban harus selalu ditanyakan langsung kepada korban dan mesti dihormati.

Lewat tema SAAM tahun ini, “Together We Act, United We Change” atau “Bersama Kita Bertindak, Bersatu Kita Berubah”, kita semua diajak untuk bersatu dalam upaya pencegahan. Upaya ini meliputi edukasi, advokasi, dan dukungan bagi para penyintas kekerasan seksual.

(Editor: Anita Dhewy)

Gloria Sarah Saragih

Mahasiswi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!