Akhir-akhir ini, pemberitaan soal diskriminasi terhadap LGBTIQ+ atau kelompok dengan keragaman gender dan seksualitas hilir mudik. Beberapa di antaranya datang dari kebijakan pemerintah daerah sampai riset pada perusahaan soal ketenagakerjaan.
Di awal Mei 2025, kabar tersebut datang dari Kabupaten Cianjur. Konon, mereka akan menjalankan rencana pembinaan siswa ‘melambai’ dan ‘terindikasi LGBT’ dengan dikirim ke barak militer. Kebijakan itu sudah dibuatkan nota kesepahaman dengan Kodim 0608 dan Raider 300 Cianjur. Program yang diklaim sebagai bentuk ‘pembinaan karakter ini sedang disiapkan teknisnya sampai saat ini.
Kontan isu tersebut menuai kritik, salah satunya dari Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN). Mereka menyatakan sikap menolak keras kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat. Khususnya di poin 8 Surat Edaran (SE) Nomor: 43/PK.03.04/KESRA tentang 9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya.
“(Kebijakan mengirim siswa ‘terindikasi LGBT’ ke barak) merupakan contoh nyata bagaimana kebijakan publik dapat melegitimasi praktik diskriminasi dan upaya pengubahan SOGIE (SOGIE Change Efforts),” sebut KAIN dalam pernyataan sikap mereka yang diterima Konde.co, Senin (5/5/2025).
Di tempat lain, sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) juga diketahui mengecam keluarnya Surat Edaran (SE) dari pemerintah kabupaten Gorontalo pada akhir April 2025. SE itu melarang kegiatan keramaian hiburan rakyat dan hajatan pesta yang melibatkan waria atau transpuan.
Surat edaran itu mengimbau camat, kepala desa, dan kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Surat edaran ini juga mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria alias transpuan.
Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran tersebut. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa.
Baca juga: 3 Ancaman Diskriminasi pada Perempuan dan Kelompok Rentan di Permenkes No 2 Tahun 2025
LBHM menegaskan, SE bernomor 800/BKBP/76/IV/2025 yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah an. Bupati Gorontalo ini dapat membuka keran diskriminasi terhadap kelompok dengan keragaman gender dan seksualitas.
“Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatis dari penerbitan surat edaran ini. Dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya,” ujar Koordinator Riset dan Program LBHM, Novia Puspitasari dalam pernyataan resmi yang diterima Konde.co.
Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini LBHM nilai bermasalah. Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran tidak menjelaskan jenis pelibatan waria yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut. Akhirnya, acara tersebut harus dibatasi.
“Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka. Karena takut acara mereka akan dibatalkan,” kata Novia.
Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly). Padahal, ini jelas termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang. Tidak peduli dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lainnya.
“Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul,” terang Novia.
Baca juga: ‘Di Medsos pun Aku Dibungkam’ Cerita Gia, Transgender yang Perjuangkan RUU Penghapusan Diskriminasi
Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum. Serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,” tegasnya.
Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran tersebut menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif. Tanpa ada landasan hukum atas pelarangan kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan. Bahkan, dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apa lagi, kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan. Sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.
Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis. Dalam hal ini sebagai penyanyi, penyanyi lip sync, penari, dan lain-lain.
Novia mengatakan, salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia. Tidak terkecuali pekerja seni informal. Bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan.
“Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal,” sebut Novia. “Karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal.”
Baca juga: Hari Paling Buruk Dalam Hidup Ratu Waria: Media yang Sensasional telah Hancurkan Hidupku
Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral.
Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”
Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain. Seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan.
“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi. Karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, kata Novia.
Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi.
“LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini.”
‘Dipaksa Berhijab dan Harus Tampil Feminin: Riset Inklusivitas Ketenagakerjaan Ragam Identitas Gender dan Seksualitas
Fay (bukan nama sebenarnya) harus memakai hijab supaya bisa dipertimbangkan bekerja di sebuah pabrik di Sukabumi, Jawa Barat. Ya, baru ‘dipertimbangkan’; ia belum pasti benar-benar mendapatkan pekerjaan.
Dalam kesehariannya, Fay biasa berpenampilan dengan rambut pendeknya. Semua dokumen resminya, termasuk Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan ijazah terakhirnya pun demikian.
Saat mendaftar pekerjaan, Fay sudah membawa semua persyaratan dokumen asli dan salinan yang sudah lengkap. Tapi kemudian, Fay tiba-tiba dipanggil dan ditolak untuk posisi yang ia lamar, karena dinyatakan ‘dokumen tidak lengkap’.
Setelah mengetahui penolakan lamaran kerjanya, Fay pergi dari kantor itu dan menuju ke tempat parkir. Kebetulan Fay melamar bersama seorang teman. Kemudian, teman tersebut memberitahunya melalui SMS bahwa, “Kamu tidak diterima karena HR (Human Resource) meragukan KTP kamu. Katanya kamu menggunakan KTP suamimu.”
Padahal, jelas-jelas KTP Fay menunjukkan bahwa jenis kelaminnya perempuan.
“Saya tidak mengerti, kenapa perusahaan memberlakukan batasan demikian pada minoritas gender yang mencari pekerjaan di pabrik? Sering kali mengaitkan orientasi seksual kami dengan kemampuan profesional kami,” cerita Fay yang disampaikan Diana Pakasi, dalam paparan laporan penelitian Free to be Me ‘Inklusivitas terhadap LGBTIQ+ dalam Perusahaan Nasional dan Multinasional di Indonesia’ pada Selasa (22/4/2025).
Fay juga merasa sangat kecewa saat dirinya tahu bahwa untuk dipertimbangkan untuk posisi tersebut, seseorang harus membayar biaya ilegal sebesar Rp. 1.000.000 langsung ke HR.
“Praktik ini tidak hanya menggarisbawahi diskriminasi yang dihadapi oleh minoritas gender. Tetapi juga menekankan paksaan pemerasan yang dikenakan pada kami hanya untuk mendapatkan pekerjaan,” lanjut Fay.
Baca juga: Kisah Eman, Transpuan yang Berjuang Jadi Pengacara di Sulawesi Selatan
Sama halnya dengan Fay, Dave (bukan nama sebenarnya), seorang lesbian, juga mengalami pengalaman diskriminasi saat perekrutan kerja. Dia sebetulnya mempunyai gaya penampilan tomboy. Namun, ia juga terpaksa harus memanjangkan rambutnya supaya tidak terlihat terlalu maskulin di tempatnya bekerja.
“Saya memanjangkan rambut agar bisa diterima di perusahaan, tapi sebenarnya saya tidak suka rambut panjang. Tetapi saya coba,” kata Dave dalam kutipan riset itu.
Dave akhirnya diterima kerja di perusahaan yang terbilang besar. Tentu saja, tanpa memberi tahu orientasi seksualnya.
Tak lama setelah dia diterima kerja dengan harus mengubah penampilannya itu, dia langsung potong rambutnya seperti semua. Dave mengaku tidak tahan dengan gaya rambut panjang yang membuatnya tidak nyaman.
“Ini pengalaman bagaimana saya masuk perusahaan besar. Untuk bisa diterima, saya harus terlihat feminin,” katanya.
Fay dan Dave adalah segelintir dari mayoritas individu LGBTIQ+ dalam riset yang memilih untuk tidak mengungkapkan identitas gender dan/atau orientasi seksual mereka saat melamar pekerjaan.
Dalam riset disebutkan, sebanyak 69,8% dari responden LGBTIQ+ mengaku tidak pernah atau jarang mengungkapkan identitas dan/atau orientasi seksualnya. Tingkat kenyamanan terkait pengungkapan bervariasi. Ini menekankan adanya pengalaman dan sudut pandang yang beragam: 55,9% merasa dari tidak nyaman sampai sangat tidak nyaman.
Hambatan-Hambatan Ketenagakerjaan Individu LGBTIQ+ di Perusahaan
Seperti halnya yang dialami Fay, riset ini memotret bias budaya atau agama yang muncul sebagai hambatan utama. 61,4% responden pun sering atau selalu menghadapinya. Kekhawatiran tentang privasi dan kerahasiaan juga signifikan dengan 44,5% peserta sering atau selalu khawatir tentang masalah tersebut.
Stereotipe atau asumsi tentang identitas LGBTIQ+ selama proses rekrutmen cukup umum. Tetapi ini kurang sering menjadi hambatan yang berkelanjutan jika dibandingkan dengan bias budaya atau agama. Dalam hal ini, 40,1% cukup sering mengalaminya. Ketakutan akan dipermalukan atau diperlakukan secara tidak manusiawi muncul sebagai kekhawatiran serius dengan lebih dari separuh responden sering atau selalu merasa takut akan perlakuan tersebut (54%).
Tak hanya mengidentifikasi hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh individu LGBTIQ+. Survei ini juga menekankan contoh-contoh ketika individu LGBTIQ+ mengakui potensi mereka dalam memberikan kontribusi berharga kepada perusahaan sebagai individu LGBTIQ+.
Sebagian besar yaitu 90,6% setuju dan sangat setuju bahwa menjadi individu LGBTIQ+ dengan keterampilan pemecahan masalah dan ketangguhan adalah nilai tambah dalam proses rekrutmen. Sebanyak 93,1% responden merasa bahwa sebagai kandidat LGBTIQ+, mereka membawa perspektif yang unik yang dapat memperkaya dinamika tim dan kreativitas.
Sebanyak 87,2% setuju dan sangat setuju bahwa mereka memiliki potensi untuk mempengaruhi dan berkontribusi pada kebijakan keberagaman dan inklusi perusahaan agar menjadi lebih representatif dan efektif. Sementara sebanyak 93,5% setuju dan sangat setuju bahwa pengalaman dan pemahaman mereka sebagai bagian dari komunitas LGBTIQ+ dapat memberikan wawasan berharga dalam industri, membantu untuk memahami karakteristik demografis/komunitas ini.
“Dari perspektif pemberi kerja, selama FGD dan wawancara mendalam, dinyatakan bahwa inklusivitas menawarkan beberapa manfaat bagi perusahaan. Inklusivitas meningkatkan sensitivitas budaya dan membangun rasa saling menghormati antar pekerja. Selain itu, hal ini membawa berbagai sudut pandang yang lebih kaya dan objektif yang didapat dari tenaga kerja yang beragam,” terang Diana.
Baca juga: Tahukah Kamu 17 Mei Hari IDAHOBIT: Yuk, Hapus Kebencian Terhadap LGBT
Survei ini mengungkapkan konsensus yang kuat di antara responden LGBTIQ+ mengenai dampak positif identitas mereka di tempat kerja dan inisiatif keberagaman dan inklusi milik perusahaan.
“Temuan ini menekankan perlunya mengakui dan menghargai kontribusi unik dari individu LGBTIQ+, yang menunjukkan keuntungan mengadopsi strategi dan kebijakan rekrutmen inklusif yang merayakan keberagaman,” lanjutnya.
Riset yang dilakukan oleh Unit Studi Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI ini, terbatas pada ketenagakerjaan yang bersifat formal di perusahaan. Totalnya ada 202 responden LGBTIQ+ di Jawa dan Luar Jawa dari awal Januari sampai akhir Februari 2024. Ada pula responden dari pemberi kerja sebanyak 105 orang yang dilakukan sampai Maret 2024.
Data memperlihatkan adanya beragam identitas gender pada responden, dengan jumlah signifikan terhadap responden yang mengidentifikasi diri sebagai cisgender (53% jika digabungkan dari cisgender perempuan dan cisgender laki-laki), diikuti dengan trans laki-laki (24,8%) sebagai kelompok terbesar kedua. Individu non biner dan transpuan juga merepresentasikan jumlah yang cukup besar, yang mengindikasikan luasnya jangkauan survei di dalam komunitas LGBTIQ+.
Dalam hal orientasi seksual, mayoritas responden mengidentifikasi diri sebagai homoseksual (48,5%), yang menunjukkan bahwa survei yang dilakukan menjangkau komunitas gay dan lesbian secara signifikan. Responden heteroseksual berjumlah 22,8% yang mengindikasikan partisipasi dari ally atau orang orang yang memiliki lapisan identitas gender yang berbeda dengan orientasi seksual mereka.
“Orientasi biseksual dan panseksual juga direpresentasikan dalam survei, sehingga semakin memperlihatkan adanya keberagaman dalam spektrum LGBTIQ+,” ujar Diana.
Dalam hal usia responden, rata-rata usia (mean) responden adalah sekitar 32,81 tahun, yang mengindikasikan demografi rentang usia yang relatif muda ke paruh baya. Jangkauan usianya 54 tahun, dari usia termuda 19 dan yang tertua 73.
Baca juga: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas
Data pendidikan menunjukkan bahwa mayoritas responden menyelesaikan jenjang SMA (44,6%) atau memiliki gelar S1 (32,2%). Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan yang relatif tinggi pada peserta survei. Kehadiran individu dengan gelar S2 atau di atasnya (7,9%) semakin menekankan pencapaian pendidikan dalam kelompok ini.
Survei ini menyoroti tren bahwa pendidikan yang lebih tinggi umumnya mengantarkan pada posisi pekerjaan yang lebih baik, yang sayangnya banyak orang-orang LGBTIQ+ tidak dapat akses.
Selama proses FGD, Diana mengatakan bahwa individu LGBTIQ+ sering tidak dapat memenuhi persyaratan tingkat pendidikan dalam proses rekrutmen. Dalam hal tingkat pendidikan yang rendah di kalangan LGBTIQ+ selama FGD, salah satu peserta mengatakan:
“Soal teman-teman LGBTIQ+ di Jakarta, berapa banyak mereka yang punya ijazah sebagai salah satu syarat penting untuk mendaftar lowongan pekerjaan formal, dan jika kita telaah lagi, hal ini bisa dikaitkan dengan kemiskinan dari keluarga LGBTIQ+, terkait pelecehan yang mungkin dialami LGBTIQ+ di sekolah, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk putus sekolah dan kabur dari rumah ketika remaja. Jangankan diploma, bahkan dokumen identitas diri saja tidak punya. Itulah alasan kenapa opsi bekerja untuk orang-orang LGBTIQ+ itu sedikit.”
Survei terhadap individu LGBTIQ+ menunjukkan bahwa mayoritas secara garis besar, yaitu 57,9% belum pernah mengalami diskriminasi atau pelecehan selama proses rekrutmen. Namun, sebagian besar masih melaporkan mengalami insiden negatif tersebut. Respon terhadap diskriminasi atau pelecehan bervariasi, dengan mayoritas yaitu 41,1% memilih untuk mengabaikannya. Respon lainnya termasuk mengonfrontasi pelaku (32,9%) dan mundur dari proses rekrutmen (15,1%). Hanya sebagian kecil yaitu 9,6% yang memilih untuk melaporkan insiden tersebut kepada perusahaan.
Baca juga: Tersingkir dari Dunia Kerja, Ini 7 Hak LGBT dalam Bekerja
“Data ini memberikan gambaran mengenai berbagai strategi yang digunakan individu LGBTIQ+ dalam menghadapi diskriminasi atau pelecehan dalam konteks rekrutmen.”
Selama FGD (Focus Group Discussion) dalam riset ini, disebutkan pula bahwa di kalangan orang-orang LGBTIQ+, transpuan adalah yang paling rentan dibanding yang lain. Survei mendukung keterangan ini karena sebagian besar responden transpuan (70%) hanya lulusan SMA atau di bawahnya. Tingkat pendidikan yang rendah ini mengakibatkan 58% transpuan bekerja di sektor kerah biru dengan penghasilan rendah (60% berpenghasilan Rp. 4.000.000,00 atau di bawahnya).
Terdapat konsensus yang kuat mengenai pentingnya kebijakan anti diskriminasi dan anti pelecehan. Sebanyak 88,1% responden menganggap dari penting sampai sangat penting untuk bekerja di perusahaan yang memiliki perlindungan jelas bagi pekerja LGBTIQ+. Namun, menemukan informasi tentang kebijakan anti diskriminasi dan anti pelecehan perusahaan menjadi hambatan bagi banyak orang, dengan 47% merasa kesulitan dan 32,7% lainnya merasa sangat kesulitan.
Urgensi Kebijakan Anti Diskriminasi dan Anti Pelecehan
Salah satu cara untuk memastikan bahwa kebijakan anti diskriminasi dan anti pelecehan perusahaan diketahui dan dipahami oleh pekerja adalah melalui pelatihan. Beberapa peserta dalam diskusi kelompok terarah menyebutkan bahwa perusahaan mereka menyediakan sesi pelatihan tentang keberagaman dan inklusi. Namun, mereka mengakui bahwa sebagian besar perusahaan belum memberikan pelatihan mengenai anti diskriminasi dan anti pelecehan.
Bekerja di perusahaan yang memiliki kebijakan anti diskriminasi dan anti pelecehan sering kali dianggap sebagai sebuah privilese. Individu dengan latar belakang pendidikan tinggi dapat lebih mudah menemukan tempat kerja dengan kebijakan DEI atau yang setidaknya ramah terhadap individu LGBTIQ+. Privilese ini juga dapat dikaitkan dengan ekspresi gender dan asumsi orientasi mereka sebagai heteroseksual.
Mereka yang tidak terlihat gay atau lesbian, atau individu transgender yang tampak seperti perempuan cisgender atau laki-laki cisgender, dapat menyembunyikan identitas mereka. Namun, tidak semua individu LGBTIQ+ bisa “terlihat” seperti cis-heteroseksual. Situasi ini menjadikan bekerja di perusahaan dengan kebijakan DEI sebagai sebuah privilese alih-alih hal yang lumrah bagi individu LGBTIQ+.
Mereka mengatakan, “Bekerja di perusahaan yang memiliki kebijakan anti diskriminasi dan anti pelecehan sering dipandang sebagai sebuah privilege.”
Survei mengungkapkan beberapa dukungan bermakna yang berguna sebagai kunci utama pengukuran inklusivitas dalam organisasi: 52,4% responden mengakui pentingnya menangani bias yang tidak disadari; 57,1% menekankan pentingnya merekrut kandidat yang beragam sebagai indikator inklusivitas; mayoritas 58,1% menegaskan bahwa memberikan kesempatan yang setara adalah dasar dari inklusivitas; 56,2% setuju bahwa mengakomodasi kebutuhan kandidat selama proses perekrutan merupakan bagian integral dari inklusivitas; dan 52,4% menekankan pentingnya menggunakan bahasa inklusif dalam deskripsi pekerjaan untuk meningkatkan inklusivitas perekrutan.
Baca juga: Manifesto IDAHOBIT 2022: Cabut Aturan Diskriminatif bagi Minoritas Seksual dan Gender
“Mengkomunikasikan komitmen terhadap inklusivitas perusahaan dapat dicapai melalui penegakan kode etik perusahaan dengan berbagai cara, seperti menggunakan bahasa gender-neutral dalam iklan pekerjaan dan menerapkan kebijakan tertulis tentang diskriminasi dan kekerasan seksual yang disosialisasikan di kalangan pekerja. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang praktisi personalia dari PMN di Indonesia.”
Guna memperkuat inklusivitas untuk individu lGBTIQ+ dalam perusahaan nasional dan multinasional di Indonesia, terdapat beberapa rekomendasi di antaranya, perusahaan harus didorong untuk mengadopsi dan secara aktif mempromosikan kebijakan yang menjamin peluang pekerjaan yang setara dengan menjadikan inklusivitas sebagai landasan dari proses perekrutan.
Sesi pelatihan khusus juga harus diberikan untuk divisi personalia dengan fokus pada isu-isu inklusivitas dan keragaman. Hal ini akan membantu anggota personalia untuk lebih memahami dan mengatasi tantangan unik yang dihadapi oleh karyawan LGBTIQ+.
Perusahaan harus secara berkala, memantau efektivitas inisiatif dan kebijakan inklusivitas mereka dengan melaksanakan survei dan mekanisme umpan balik. Dari umpan balik ini, mereka dapat melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk mempromosikan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif. Selain itu, penting untuk mengembangkan standar pemantauan dan evaluasi yang memastikan praktik-praktik ini secara konsisten mematuhi kriteria terstandarisasi untuk inklusivitas di seluruh organisasi.
“Membentuk kelompok dukungan untuk minoritas gender dan seksual di dalam perusahaan untuk menyediakan ruang aman bagi berbagi pengalaman, serta mempromosikan pemahaman dan solidaritas di antara para pekerja,” pungkas Diana.
(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)