Mau Lamar Kerja Tapi Ada Syarat Penalti Kalau Mundur, Jadi Baiknya Gimana?

Kamu baru lulus sekolah dan mau lamar kerja, tapi bimbang karena ada syarat penalti kalau mengundurkan diri? Sebenarnya gimana aturan soal penalti ini dan apa yang mesti kita lakukan? Tenang aja, advokat Klinik Hukum Perempuan bantu jawab masalahmu.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan   LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,   Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo, Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, Saya Kiara, baru lulus kuliah sedang mencari pekerjaan. Tetapi belakangan ini, saya merasa frustasi dalam mencari pekerjaan, karena banyak lowongan kerja yang ingin saya lamar mencantumkan denda/penalti jika saya mengundurkan diri tidak sesuai dengan ketentuan. Saya takut ke depannya, mendapat peluang kerja lebih baik atau tidak cocok dengan pekerjaan bahkan lingkungan kerjanya sehingga harus mengundurkan diri (resign). Bagaimana kalau kondisi itu terjadi pada saya? Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:

Halo kak Kiara. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Wah, Selamat ya atas kelulusannya. Kamu tidak sendirian, frustasi dalam mencari dan memilih pekerjaan kerap dialami banyak orang. Apalagi, belakangan ini diskusi di platform media sosial banyak membahas pro-kontra memilih pekerjaan yang layak berdasarkan pengalaman yang dibagikan warganet. Seperti lowongan yang mensyaratkan kesediaan untuk penahanan ijazah sampai dengan penalti  kontrak kerja yang jauh dari adil.

Dari pertanyaan kak Kiara, salah satu yang dikhawatirkan ketika ingin melamar pekerjaan adalah adanya penalti kontrak kerja apabila mengundurkan diri. Ini salah satu yang banyak didiskusikan baik terjadi di lingkungan perusahaan swasta maupun di pemerintahan. Tetapi, sebelumnya yang perlu dipahami, apa itu penalti kontrak kerja?

Secara sederhana, Penalti kontrak kerja adalah suatu ketentuan atau klausul yang ditetapkan dalam kontrak untuk memberikan ‘hukuman’ berupa denda atau konsekuensi lainnya apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebagai ganti rugi. Singkatnya, ketentuan ini bertujuan untuk memberi penjelasan pada pihak-pihak yang terikat agar mematuhi perjanjian kontrak dengan itikad baik.

Baca Juga: Refleksi 3 Tahun UU TPKS: Aturan Turunan Belum Lengkap, Implementasi Terhambat

Sayangnya, bentuk penalti kontrak kerja dihitung sepihak oleh perusahaan berdasarkan nilai kontrak tanpa informasi terperinci tentang benefit yang diterima pekerja. Akibatnya penalti sering dinilai tidak adil. Jadi, bentuk penalti ini harus sebanding dengan potensi kerugian yang akan terjadi akibat pelanggaran kontrak kerja.

Perjanjian kerja/kontrak berlaku dua arah, sehingga pemberi kerja atau pihak perusahaan juga memiliki tanggung jawab sama. Yaitu mematuhi kewajiban sesuai yang tertera pada kontrak. Jika pihak perusahaan melanggar ketentuan kontrak, maka mereka juga dapat dikenai penalti atau sanksi yang ditetapkan sesuai kontrak atau perjanjian.

Penalti Kontrak Kerja Diatur Dimana?

Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja, penalti kontrak kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 62 UU Ketenagakerjaan menyebutkan, “Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”

Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah menjadi Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja menjelaskan, perjanjian kerja berakhir apabila:

  1. Pekerja/buruh meninggal dunia.
  2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
  3.  Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
  4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Baca Juga: Ramai Grup FB ‘Fantasi Sedarah’, Bagaimana Kalau Foto Anak Disebar Di Grup?

Penting diingat, perjanjian kerja di Indonesia terbagi menjadi dua golongan yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pada dasarnya, karyawan dengan kontrak PKWT wajib menyelesaikan tanggung jawab sesuai jangka waktu yang ditentukan. Namun, dalam situasi dan kondisi tertentu, pekerja dapat memiliki prioritas tersendiri atau bahkan kondisi tidak terduga. Akibatnya, ia tidak dapat menyelesaikan perjanjian kerja yang telah disepakati.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, Pekerja yang mengundurkan diri sebelum jangka waktu PKWT berakhir, maka:

  • Karyawan membayarkan ganti rugi pada perusahaan sebesar upah karyawan per bulan, sampai waktu berakhirnya perjanjian kerja. Pengusaha memberikan kompensasi, yang jumlahnya dihitung sesuai jangka waktu PKWT yang sudah dilaksanakan karyawan.

Jika pihak perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja, sebelum jangka waktu PKWT berakhir, maka;

  • Perusahaan membayarkan ganti rugi pada karyawan sebesar upah karyawan per bulan sampai waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Perusahaan juga wajib memberikan kompensasi yang jumlahnya dihitung sesuai jangka waktu PKWT yang sudah dilaksanakan.
Baca Juga: Korban Keracunan MBG Bertambah, Bisakah Ajukan Gugatan Class Action dan Citizen Lawsuit Ke Pemerintah?

Tetapi, tunggu dulu, bukan berarti pekerja dengan PKWTT jauh merasa aman karena tidak ada batasan waktu. Justru banyak terjadi kasus seperti tidak diizinkan mengundurkan diri selama 10 tahun atau tidak boleh mengajukan mutasi dan kasus-kasus lainnya. Lalu, bagaimana agar hal ini tidak terjadi pada kak Kiara?

Pertama, penting untuk mencari tahu sejak awal atau saat wawancara kerja tentang kejelasan status pekerja. Apakah PKWT atau PKWTT? Dengan begitu Anda bisa memahami hak dan kewajiban Anda nantinya diatur/dilindungi oleh aturan yang mana.

Kedua, Anda berhak menanyakan secara detail hak-hak yang akan Anda peroleh sebagai pertimbangan menerima pekerjaan tersebut. Ketiga, Anda dapat menanyakan jenis-jenis tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran kontrak kerja sehingga Anda dikenakan penalti kontrak kerja.

Selanjutnya, bagaimana jika Anda dikenakan penalti kerja, apa yang harus dilakukan? Pertama, pahami kontrak kerja dan bentuk pelanggaran kontrak kerja yang Anda lakukan. Misalnya pengunduran diri sebelum kontrak kerja berakhir dan Anda diminta membayar denda 10 kali gaji pokok.

Kedua, sampaikan kepada pejabat yang mengelola SDM bahwa besaran denda tersebut belum dapat Anda penuhi karena tidak sebanding dengan nilai kontrak kerja. Mintalah penjelasan secara transparan kepada perusahaan.

Baca Juga: Seorang Ibu Korban KDRT Lakukan Kekerasan Pada Anak, Bagaimana Penyelesaiannya?

Ketiga, laporkan kepada dinas ketenagakerjaan setempat atau badan kepegawaian instansi Anda tentang penalti yang tidak sebanding atau tidak memberikan rasa keadilan. Apabila dalam jangka waktu yang patut tidak ditindaklanjuti, Anda dapat melaporkan kepada perwakilan Ombudsman tingkat provinsi sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik.

Ingat, aturan mengenai penalti harus diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan yang sah. Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan yang mengatur penalti harus jelas, transparan, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang paling penting adalah, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945. Tetap semangat mencari dan memilih pekerjaan ya, kak Kiara.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org. 

(Editor: Anita Dhewy)

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!