Vasektomi dan kemiskinan

Sisi Lain Vasektomi: Kontrasepsi Tanggung Jawab Bersama, Lebih dari Syarat Bansos

Vasektomi bukan kebiri, ia adalah kontrasepsi yang bisa dilakukan laki-laki demi memenuhi tanggung jawab KB bersama. Namun, bukan berarti hanya untuk memenuhi syarat penerima bansos.

Vasektomi atau kontrasepsi bagi laki-laki menjadi perbincangan ‘panas’ sejak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan, bakal mensyaratkan program Keluarga Berencana (KB) vasektomi bagi masyarakat penerima bantuan sosial (bansos). 

Hal ini bermula dari video yang diunggah Dedi Mulyadi di kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel miliknya beberapa waktu lalu. Dalam video, lelaki yang dikenal dengan sebutan KDM itu mendatangi rumah keluarga miskin yang memiliki 11 anak. Sang suami tidak bekerja, sedangkan anak-anaknya berjualan. Bahkan, istrinya sedang mengandung calon anak ke-12 mereka. Kondisi itu membuat KDM menawarkan bantuan, asal si laki-laki tersebut bersedia vasektomi. Lelaki tersebut hanya cengengesan dan ia menyatakan akan dipikirkan terlebih dahulu.

Tidak butuh waktu lama, pernyataan KDM langsung menjadi buah bibir dan memecah masyarakat ke dalam dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang mendukung bahkan menyatakan bahwa tindakan menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bansos adalah hal yang tepat. Argumennya, memiliki anak tanpa perhitungan dan pertimbangkan kondisi ekonomi adalah hal yang salah. Sedangkan kubu kedua adalah mereka yang tidak setuju dengan pernyataan KDM. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa hal ini merenggut hak warga negara untuk mendapatkan bantuan sosial (bansos). 

Baca Juga: Kenapa Vasektomi Jadi Syarat Bansos Juga Merugikan Perempuan? Meningkatkan Stigma dan Kekerasan Berbasis Gender

Jika kita melihat peraturan perundang-undangan, selain sebagai hak masyarakat, bansos juga merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Ini disebutkan dalam Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Dalam UUD 1945, ada pula pasal 34 ayat (1) yang berbunyi:  “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”

Di samping itu, memperoleh keturunan juga merupakan bagian dari hak masyarakat Indonesia yang tidak dapat dikesampingkan. Pernyataan ini dikuatkan dengan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Pasal 12 Peraturan Menteri Sosial No. 1 Tahun 2019, juga menyebutkan kriteria masalah sosial yang dapat menerima bantuan sosial, yakni:

  1. kemiskinan;
  2. Keterlantaran;
  3. Kedisabilitasan;
  4. Keterpencilan;
  5. ketunaan sosial atau penyimpangan perilaku;
  6. korban bencana; dan/atau
  7. korban tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 
Baca Juga: ‘Langgar Hak Asasi Perlindungan Anak, Bias Kelas, Sensasional’: Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi

Sehingga, tidak mengejutkan bila banyak masyarakat yang kontra dengan pernyataan Dedi Mulyadi. Pihak yang kontra juga menyatakan bahwa KDM melanggar peraturan yang ada. Di samping itu, KH. Cholil Nafis, Ketua Bidang Dakwah & Ukhuwah MUI Pusat, dalam catatan demokrasi TvOne juga menyatakan bahwa tindakan vasektomi adalah haram. Sebab itu memutus jalan untuk mendapat keturunan secara permanen. Ia secara tegas menyatakan bahwa tidak ada relevansi antara kemiskinan dan memiliki anak. Sehingga sangat diharamkan untuk membatasi kelahiran anak, kecuali menjaga jarak kehamilan. 

Sudut Pandang Berbeda, Dukung Vasektomi = Dukung Kesetaraan Gender dan Hak Anak

Pernyataan KDM memang patut diperdebatkan. Namun, hal itu masih memiliki sudut pandang lain, terutama terkait vasektomi, kesetaraan gender, dan hak anak.

Yang pertama, pernyataan tersebut dapat membuka pandangan baru tentang kesetaraan gender. Saat mendengar frasa ‘kesetaraan gender’, masih banyak pihak menganggap bahwa cakupannya hanya sebatas di bidang pendidikan, pekerjaan, hingga politik. Maka tidak heran, masih banyak yang tidak menerima bahwa hingga saat ini kesetaraan gender masih belum tercapai sepenuhnya. Masalah tersebut kerap dikecilkan dengan tanggapan, “Sekarang kan kalian (perempuan) sudah bisa sekolah, bekerja, mau ikut pemilu juga bisa. Bagian mana lagi sih, yang kurang?

Namun, kesetaraan gender tidak sesempit itu. Dalam hal relasi seksual dan reproduksi pun, baik laki-laki dan perempuan harus menjadi pihak yang setara. Alih-alih, salah satu pihak membuat yang lain senang seorang diri. Kesetaraan relasi seksual dan reproduksi sangat diperlukan, khususnya dalam kehidupan berumah tangga. 

Baca Juga: Vasektomi: Pentingnya Kontribusi Laki-laki Dalam Pencegahan Kehamilan

Nyatanya, hingga saat ini kesetaraan dalam relasi seksual-reproduksi masih sulit dicapai. Pemakaian kontrasepsi atau KB masih lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Berdasarkan jurnal Global Health: Science and Practice, 922 juta perempuan di seluruh dunia menggunakan kontrasepsi. 219 juta di antaranya memilih tubektomi. Namun, hanya 17 juta laki-laki di dunia yang melakukan vasektomi.

Ketimpangan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam penggunaan kontrasepsi ini juga terjadi di tahun 2018. Ini ditunjukkan oleh hasil survei BKKBN tahun 2018. Melansir The Conversation (2022), angka partisipasi perempuan sebesar 96,7% dan laki-laki hanya sebesar 3,3%. Persentase ini menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan gender dalam relasi seksual dan reproduksi. Perempuan yang sudah menstruasi, hamil, dan mengandung, masih dituntut untuk menggunakan kontrasepsi dengan segala resikonya. Mulai dari munculnya jerawat, flek hitam, perubahan berat badan, hingga masalah kesehatan yang lebih serius.

Ketimpangan ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang sejak awal sudah melabeli perempuan dengan segala urusan domestik. Termasuk dalam hal reproduksi. Perempuan dalam lingkungan patriarki cenderung dipersulit untuk ikut memutuskan: akan punya anak atau tidak? Melahirkan secara sesar atau normal? Bahkan, menggunakan KB atau tidak? Perempuan tidak diberi ruang untuk berpendapat dan memutuskan sesuatu untuk tubuhnya. Ia ‘dipaksa’ oleh budaya untuk menanggung beban reproduksi yang berlebihan. 

Banyaknya perempuan yang KB juga tidak lepas dari ketakutan yang dibuat oleh masyarakat patriarki melalui kalimat, “Nanti kalau suamimu KB, dia bisa ‘celap-celup’ sana-sini tanpa takut punya anak.” Perempuan lagi-lagi didesak untuk menjaga agar suaminya tetap setia. Padahal, kesetiaan seharusnya jadi tanggungjawab masing-masing, bukan? Bagaimana bisa laki-laki yang sering hubungan seksual selain bersama istrinya adalah kesalahan si istri karena tidak mau KB? 

Baca Juga: Kelahiran tinggi, mengapa laki-laki di Jawa Barat enggan ikut KB vasektomi?

Kedua, diskursus akhir-akhir ini secara langsung maupun tidak langsung meluruskan kesalahpahaman masyarakat mengenai vasektomi. Selama ini, vasektomi sering disamakan dengan praktik kebiri. Ini juga menjadi salah satu penyebab masih banyak laki-laki yang menolak untuk KB. 

Tidak hanya disamakan dengan kebiri, kesalahpahaman lainnya seperti gairah seksual akan menurun, sudah tidak bisa ejakulasi, bahkan akan sulit dalam bekerja, juga sangat sering ditemukan saat membahas tentang vasektomi. Namun, pernyataan KDM yang viral mendorong beberapa influencer bahkan para dokter untuk meluruskan hal itu. Alhasil,, pernyataan itu dapat menjadi pemantik pembuka dan penyebaran informasi terkait vasektomi, serta debunking hoax mengenainya. Hal itu juga menjadi kesempatan berkampanye soal kontrasepsi sebagai tanggung jawab kedua belah pihak alih-alih beban yang hanya ditanggung oleh perempuan.

Ketiga, diskursus vasektomi sebagai bansos menekankan pentingnya persiapan finansial saat memutuskan untuk punya anak. Dari kisah laki-laki dengan keluarga miskin yang ditemui KDM, terungkap bahwa ia tidak bekerja karena sedang dalam masa pemulihan. Laki-laki itu punya 11 anak yang membantu sang ibu berjualan. Sayangnya, kisah keluarga tersebut bukan satu-satunya di Indonesia.

Baca Juga: Alat Kontrasepsi: Kebebasan Atau Belenggu Bagi Tubuh Perempuan?

Kita perlu mengakui bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan reproduksi dalam keluarga. Prinsip ‘banyak anak, banyak rezeki’ masih dipegang teguh oleh banyak keluarga. Padahal, banyak anak justru berarti banyak rezeki yang harus dicari. Keputusan memiliki anak, apa lagi dengan jumlah yang banyak, harus disertai kesadaran dan perencanaan finansial yang matang. Ini untuk jangka panjang kehidupan anak-anak dan keluarga itu sendiri.

Finansial bukan cuma tentang pemenuhan kebutuhan makanan dan fisik. Khususnya bagi anak-anak, pemenuhan hak mendapatkan pendidikan yang layak berarti butuh persiapan keuangan yang mumpuni pula. Dalam videonya, KDM bertanya kepada salah satu anak dari keluarga yang dijumpainya itu. Sang anak mengaku tidak ingin ibunya melahirkan anak lagi. Sebab, menurutnya, “Kebanyakan.” Selama ini mereka berpindah-pindah tempat tinggal sebelum akhirnya mendapatkan kontrakan 2 kamar. Itu pun dengan kondisi tidak mungkin semua orang mendapatkan kamar. Sedangkan untuk pendidikan, anak-anak tersebut bahkan tidak dapat masuk sekolah secara formal. Selama ini mereka hanya diajari oleh sang ayah.

KDM menanggapi keluhan anak tersebut dengan mengatakan bahwa belajar tidak harus dengan sekolah formal. Menurutnya, berjualan juga merupakan bagian dari belajar. Terkait hal itu; meski tidak salah, tapi pendidikan tetap merupakan hak anak yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah menegaskan hak warga negara akan pendidikan, yakni dalam Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” 

Baca Juga: Pernikahan Tak Bisa Jadi Solusi Atasi Kehamilan yang Tak Direncanakan

Pasal 31 ayat (1) pun menekan kembali dengan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Meskipun kedua pasal tersebut menyebutkan “berhak…”, tidak berarti bahwa pendidikan formal bagi anak-anak diabaikan. 

Meski demikian, jika menarik kembali pada persoalan finansial dan kemiskinan, bukan berarti kita serta-merta menyalahkan masyarakat. Nyatanya, banyak keluarga miskin memiliki terlalu banyak anak karena kemiskinan struktural dari sistem yang menjerat mereka. Minimnya edukasi yang mumpuni terkait perencanaan kehidupan keluarga, perencanaan keuangan, hingga edukasi seksual-reproduksi dan pemahaman mengenai kontrasepsi juga membuat angka kelahiran tinggi kerap tidak linier dengan kondisi keuangan rumah tangga. Lagi-lagi, hak anak dan perempuan yang dikorbankan.

Negara Tidak Berhak Mengatur Otoritas Tubuh Warga

Feminisme mendukung kesetaraan gender dalam reproduksi dan pengasuhan anak. Namun, ditinjau dari sudut pandang feminis pun, pernyataan KDM tidak dapat serta-merta diterima.

KDM memang menyatakan, vasektomi sebagai syarat bansos perlu digalakkan agar laki-laki juga ikut memikul tanggung jawab dalam hal reproduksi. Secara prinsip, hal itu benar. Namun, feminisme—terutama feminisme radikal—sangat menentang adanya kontrol negara atas tubuh warga negaranya. Secara khusus, penolakan ini muncul akibat berbagai upaya negara mengontrol otoritas tubuh perempuan selama ini. Namun secara umum, ide utamanya juga menentang kontrol atas tubuh warga laki-laki. 

Salah satu akun feminis yang saya ikuti juga memposting ketidaksetujuannya dalam beberapa Instagram story. Di dalamnya, ia menjelaskan bahwa ini adalah bentuk penyimpangan. Sebab negara mulai masuk ke ranah pribadi dan mengatur tubuh warganya. “Jika negara tidak boleh mengatur tubuh perempuan, maka negara juga tidak boleh mengatur tubuh laki-laki,” begitu yang dapat saya simpulkan dari paragraf yang ia tulis kala itu. 

Selain alasan di atas, banyak orang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan KDM karena perempuan berpeluang lebih besar menjadi korban kekerasan. Khususnya dalam lingkup rumah tangga. Memaksakan vasektomi untuk ‘sekadar’ menerima bantuan sosial bisa jadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan.

Pentingnya Perencanaan Reproduksi yang Bukan Sekadar Strategi Kontrol Negara

Rezeki tentu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Namun, diskursus mengenai vasektomi dan tanggung jawab KB bersama untuk kesejahteraan keluarga harus dipertimbangkan pula. Secara realistis, akan baik untuk merencanakan biaya membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak-anak, khususnya dalam hal pendidikan. Ini akan berdampak pada orang tua dan anak-anak sendiri.

Melihat banyak kasus, beranak-pinak tanpa perencanaan matang lebih banyak merugikan anak dan perempuan. Anak yang seharusnya tumbuh dengan belajar secara layak, malah harus bekerja. Bahkan kadang menjadi tulang punggung keluarga ketika orangtuanya meninggal dunia atau tidak mampu berfungsi sebagai pencari nafkah. 

Baca Juga: Pemakaian Kontrasepsi Bukan Cuma Urusan Perempuan, Tapi Juga Laki-Laki

Sementara itu, perempuan dalam rumah tangga pun dibebankan kerja reproduksi tanpa kontrol sama sekali atas tubuhnya sendiri. Dalam keputusan memiliki anak, laki-laki sering mengklaim anak sebagai keturunannya, sedangkan perempuan diperlakukan seakan-akan ia hanya ‘mesin’ yang menghasilkan anak dan berperan mengasuh anak-anak itu. Bahkan saat KB, tubuh perempuan kerap diatur agar tidak ‘memproduksi’ anak, padahal ada peran laki-laki juga di dalamnya. Laki-laki masih cenderung menghindari kontrasepsi atas dirinya sendiri karena stigma vasektomi sebagai ‘kebiri’ dan penyebab kemandulan.

Namun, dari semua ini, pernyataan KDM menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bansos juga tidak lantas dibenarkan. Ia sendiri sebagai gubernur perlu lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan dan membuat kebijakan. Khususnya berkaitan dengan kesejahteraan perempuan dan anak. Vasektomi mungkin memang salah satu cara menurunkan angka kelahiran di kalangan masyarakat miskin. Namun, pengentasan kemiskinan tidak sesederhana itu. Ini adalah masalah kompleks yang harus diselesaikan dari akarnya alih-alih lewat jalan pintas.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Christy Siregar

Mahasiswi Ilmu Hukum dengan peminatan Hukum Pidana di Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!