Sejak dilantik 20 Februari 2025 lalu Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang mengundang polemik publik. Mulai dari soal mengirim anak “nakal” ke barak militer hingga vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos). Pernyataannya disampaikan lewat akun media sosialnya dan mengundang reaksi beragam dari warganet. Hingga kemudian diberitakan oleh media massa.
Soal vasektomi sebagai syarat menerima bansos, Dedi berencana mengintegrasikan bansos dengan program KB. Alasannya, menurut Dedi pemerintah tidak semestinya terbebani keluarga yang memiliki banyak anak.
Dedi khawatir atas tingginya angka kelahiran di kalangan keluarga prasejahtera, yang menurutnya menjadi salah satu faktor pemicu kemiskinan di daerahnya. Untuk itu ia mengusulkan agar laki-laki dari keluarga penerima bansos menjalani prosedur vasektomi sebagai syarat menerima bansos.
Menurutnya langkah tersebut bisa mengendalikan laju kelahiran di kalangan keluarga prasejahtera, sekaligus memastikan distribusi bantuan pemerintah menjadi lebih adil. Dedi menilai, kebijakan ini merupakan solusi atas fenomena banyaknya keluarga prasejahtera yang melahirkan melalui operasi caesar dengan biaya besar untuk anak keempat dan seterusnya.
Sementara program mengirim anak nakal ke barak militer sudah dilaksanakan sejak 2 Mei 2025 lalu. Pendidikan karakter ala militer untuk siswa nakal dengan melibatkan TNI-Polri sudah dimulai di Purwakarta dan di Bandung.
Menurut Dedi alasan mengirim siswa nakal ke barak militer salah satunya karena orang tuanya sudah tidak mampu mendidik si anak. Jadi anak-anak yang dikirim ke barak militer menurut Dedi adalah mereka yang melakukan pelanggaran berat dan tidak bisa dibina orang tua dan sekolah.
Kirim Siswa Ke Barak Militer: Langgar HAM Dasar Perlindungan Anak
Ani Widyani Soetjipto, pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia menegaskan pendidikan anak merupakan ranah sipil, bukan ranahnya militer. Ada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sebagai institusi yang bertanggung jawab dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) bidang tersebut.
Ranah militer sangat berbeda dengan ranah sipil. Ia punya tupoksi untuk pertahanan negara dan ada di garis depan pertahanan. Untuk itu pendidikan, kultur dan tata caranya mencakup disiplin, hierarki, dan ketaatan mutlak, yang itu semua memang diperlukan.
Karena itu Ani berpendapat ada logika berpikir yang sesat ketika muncul permasalahan terkait pendidikan tetapi kemudian diselesaikan bukan dengan cara-cara sipil, secara institusional sesuai tupoksinya melainkan dengan cara-cara militer.
“Agak sesat pikir kalau ada masalah pendidikan bukannya diselesaikan dengan cara-cara sipil, institusional, ada tupoksinya, tapi solusinya dengan cara militer,” kata Ani kepada Konde.co, Rabu (7/5/25).
Padahal anak menjadi nakal penyebabnya bisa bermacam-macam. Bisa jadi anak itu nakal misalnya karena usianya puber, ini sebetulnya hal yang biasa. Mungkin juga anak nakal karena ikut-ikutan teman, dia ingin menjadi in group, tidak mau menjadi out group atau terlihat berbeda. Atau anak nakal karena di sekolah misalnya dia tidak betah. Gurunya tidak bisa memfasilitasi keinginannya.
Baca juga: 8 Mei Hari Marsinah dan Wacana Menjadikannya Pahlawan Nasional di Tengah Rezim Militer
Alih-alih mencari akar persoalannya, seperti mencari tahu kondisi anak di rumahnya, di sekolahnya, termasuk juga lingkungannya, solusi yang dilakukan Dedi Mulyadi adalah dengan mengirim anak nakal ke barak militer. Ani melihat keputusan mengirim anak nakal ke barak militer ini dilakukan tanpa riset dan analisis.
Dari sisi hak asasi manusia (HAM) solusi ini juga salah. Apalagi kalau mengacu pada tujuan pendidikan seperti tercantum dalam konstitusi dasar negara. Yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, mendidik etika moral generasi masa depan, dan sebagainya.
“Nah kirim anak ke barak itu melanggar ham dasar perlindungan anak. Jadi yang dibutuhkan itu sebetulnya peran serta kerja bareng antara orang tua, guru, dan masyarakat. Ini yang seharusnya menjadi solusi, bukan ditaruh di barak militer,” tegas Ani.
Kemendikdasmen sendiri sebetulnya punya model pembelajaran disiplin yang positif. Ani mengaku tidak tahu apakah model pembelajaran ini sudah diimplementasikan atau belum. Namun ketika misalnya sudah diimplementasikan tetapi tidak berjalan, maka harus dicari penyebab disiplin positif ini tidak berjalan di lapangan.
“Bukan kemudian solusinya langsung tiba-tiba potong jalur dengan membawa anak ke barak militer,” katanya.
Vasektomi Jadi Syarat Bansos: Sarat Bias Kelas
Sementara terkait rencana Dedi Mulyadi menjadikan vasektomi sebagai syarat yang harus dipenuhi warga penerima bansos, Ani Soetjipto menilai langkah tersebut tidak benar.
Bansos pada dasarnya merupakan hak. Hak bagi orang-orang yang memenuhi syarat, ada kriterianya. Misalnya diperuntukkan bagi yang kekurangan dan sebagainya. Karena itu menurut Ani tidak tepat ketika ada kondisionalitas atau persyaratan tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
“Bansos itukan rights (hak) untuk orang yang eligible (memenuhi syarat). Lalu tiba-tiba ada conditionality, harus ada vasektomi. Inikan nggak benar,” katanya.
Lebih jauh kebijakan semacam itu dinilai juga sarat dengan bias kelas. Pasalnya persyaratan tersebut berlaku bagi kelompok masyarakat dari kelas tertentu, yakni rakyat miskin.
“Kenapa vasektomi diberlakukan untuk orang yang sudah miskin, susah untuk mendapatkan bantuan yang seharusnya menjadi hak mereka, masih harus ada lagi syaratnya. Supaya jangan punya banyak anak jadi diberlakukan kepada laki-laki dari kelompok miskin. Ini ada bias kelas,” jelasnya.
Ani memaparkan praktik baik dari kebijakan vasektomi dalam riset yang dibukukan dengan judul Suara dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK (2013). Ada contoh menarik dari Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang pernah dilakukan Bupati Hasto Wardoyo (2011-2016), yang juga seorang dokter obgyn.
Sebagai obgyn, dia melihat kebijakan keluarga berencana (KB) hanya dibebankan kepada perempuan dan menyebabkan sejumlah masalah kesehatan pada perempuan. Karena itu dia ingin meningkatkan partisipasi laki-laki sebagai peserta KB. Untuk itu dia menawarkan insentif, bagi laki-laki yang bersedia ikut vasektomi akan mendapatkan hadiah berupa 2 ekor sapi.
Ternyata banyak laki-laki yang berminat dengan program ini. Karena peminatnya banyak sementara dana di kabupaten terbatas, maka hadiahnya dikurangi menjadi 1 ekor sapi. Meski begitu minat masyarakat tidak surut, tetap banyak yang ikut berpartisipasi. Program ini dianggap sebagai program KB yang berhasil.
Baca juga: ‘Telur Busuk hingga Militerisme’ Temuan ICW Tunjukkan Carut Marut Proyek MBG
Jadi bupati tersebut menerapkan insentif ekonomi alih-alih menjadikan vasektomi sebagai persyaratan yang mengurangi hak seseorang. Dalam kasus ini vasektomi dilakukan atas dasar kesadaran tanpa ada keterpaksaan, peserta mendapatkan informasi yang memadai, dan ada persetujuan (consent).
Pada program yang digagas Gubernur Jawa Barat, ada konteks yang berbeda. Selain itu perspektif yang digunakan juga berbeda. Program yang digagas Dedi tujuannya untuk menurunkan kemiskinan dan menjadi prasyarat yang bisa mengurangi hak seseorang.
Ani juga menyoroti aspek implementasi dari rencana tersebut. Pasalnya ketika sebuah kebijakan diimplementasikan, akan ada banyak faktor turunan yang perlu dipertimbangkan. Ani menegaskan kebijakan bukan hanya norma di atas kertas. Di tataran implementasi ia akan bersinggungan dengan banyak isu. Seperti isu finansial, logistik, hubungan antar institusi, ketersediaan dan sebagainya.
Ketika misalnya kebijakan vasektomi diimplementasikan di Jawa Barat, maka ada banyak hal yang mesti dihitung. Berapa jumlah penerima bansos, berapa banyak dokter obgyn yang tersedia di seluruh Jawa Barat, berapa biaya untuk sekali tindakan, dari mana sumber dana akan diambil, dan sebagainya. Sementara itu dari segi medis seorang dokter tidak bisa melakukan tindakan vasektomi tanpa ada persetujuan dari pasien.
Ani menduga Dedi tidak menggunakan analisis gender dan pendekatan interseksional serta critical thinking dalam merancang kebijakannya. Padahal setiap orang punya identitas yang beragam dan keberagaman itu harus dilihat. Selain itu masing-masing orang juga memiliki kerentanan yang berbeda-beda. Dengan memakai analisis gender, interseksional dan critical thinking diharapkan tidak ada seorang pun yang tertinggal. Baik itu lansia, disabilitas, miskin, laki-laki dan perempuan semua terpenuhi hak-hak dasarnya.
Militerisme Masih Dilihat Sebagai Solusi, Bukan Opresi
Menanggapi kecenderungan masyarakat secara umum yang menunjukkan ketertarikan pada tentara, bahkan ingin tentara kembali mengisi posisi-posisi publik tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa tentara akan menjamin keamanan.
“Ada anggapan kalau ada tentara pasti aman, kalau ada tentara pokoknya solve the problem (persoalan jadi selesai), seperti itu. Anggapan-anggapan ini belum hilang dari benak masyarakat,” papar Ani.
Ani melihat anggapan ini pula yang mendasari kenapa solusi yang ditawarkan Dedi Mulyadi adalah dengan mengirim anak nakal ke barak militer. Konsepsi tentang keamanan masih dimaknai secara elitis, top down dan bukan dalam kacamata human, manusia.
“Keamanan dilihat bukan dalam kacamata keamanannya manusia, melainkan keamanan negara (security of the state). Dalam hal ini negara bisa dimaknai sebagai institusi ataupun sebagai aktor. Jadi cara pandang yang dipakai adalah cara pandang negara, bukan cara pandang orang-orang sebagai si rentan, si marginal, dan sebagainya,” papar Ani.
Cara pandang seperti ini menempatkan militerisme sebagai solusi. Ia tidak melihat bahwa tentara bisa menimbulkan ketidakadilan struktural. Bertahun-tahun kita menganggap bahwa pemerintahan itu pasti bagus, bahwa tentara itu pasti melindungi rakyat. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Tentara bisa menjadi sumber opresi dan kebanyakan orang tidak menyadari hal ini.
“Bayangkan kalau anak-anak itu nanti dididik jadi tentara, apa yang terjadi? Semuanya akan pakai kekerasan. Semua harus dengan pemaksaan, nggak ada lagi negosiasi, nggak ada lagi diskusi. Semuanya jadi siap laksanakan. Kalau nggak mengikuti itu akan dihukum atau kena sanksi. Ini kan bahaya banget,” ujarnya.
Imaji kita tentang sektor keamanan masih dipenuhi dengan gambaran bahwa tentara adalah pelindung yang memberi rasa aman. Tetapi sebetulnya kalau kita tengok lebih dalam, ada potensi untuk menimbulkan opresi dan diskriminasi struktural. Sayangnya hal ini belum dilihat oleh kebanyakan masyarakat, baik sipil maupun militer, baik akar rumput maupun elit.
Situasi ini menurut Ani cukup mengerikan karena cara berpikir kritis belum menjadi arus utama. Supremasi sipil masih dipandang sebelah mata.
Mencari Sensasi Lewat Media Sosial
Ika Karlina Idris, pengajar Monash University Indonesia mengatakan sah-sah saja kalau pejabat memakai media apapun untuk menjangkau publik atau khalayak. Seperti dilakukan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang memakai media sosial dalam hal ini Instagram, YouTube dan TikTok. Bisa jadi ketiganya banyak digunakan oleh warga Jawa Barat sehingga media sosial tersebut yang ia pakai. Namun Ika mengingatkan ada aspek positif dan negatif dari sebuah media yang perlu diperhatikan.
Untuk itu menurut Ika ketika berbicara kepada publik perlu menggunakan strategi. Di sisi lain memakai media sosial juga membutuhkan strategi. Ia tidak mempermasalahkan misalnya langkah Dedi Mulyadi membuat konten live dengan dirinya tampil secara langsung tanpa melewati proses rekam, edit dan sebagainya. Yang menjadi permasalahan adalah ketika pesan yang ia sampaikan masih berupa ide atau gagasan yang mentah.
“Kalau saya lihat, Gubernur Jawa Barat ini kadang-kadang dia ngomong sesuatu tapi sebenarnya apa dasarnya. Karena ide atau inspirasi itukan harus dituangkan dalam bentuk kebijakan. Mau itu berupa misalnya Pergub atau peraturan pemerintah daerah, itukan macam-macam bentuknya. Jadi jangan cuma ngomong aja terus jadi keramaian di publik, tahu-tahu nggak diimplementasikan juga,” ujar Ika kepada Konde.co, Selasa (6/5/25).
Sementara sebuah ide atau gagasan untuk bisa menjadi kebijakan membutuhkan proses yang panjang. Bahkan bisa jadi tidak bisa diimplementasikan. Ketika baru sebatas gagasan lalu dilempar ke publik, maka ia akan menjadi wacana publik dan ada konsekuensi yang mengikuti. Karena itu menurut Ika sebaiknya ide tersebut dimatangkan terlebih dahulu, baru kemudian dilempar ke publik.
Ika mengingatkan ucapan pemimpin atau pejabat punya konsekuensi pada arah kebijakan. Orang yang tidak intensif bertemu gubernur akan membaca arah kebijakan gubernur dari pernyataan-pernyataan publiknya. Masalahnya kadang-kadang ide itu bisa menginspirasi orang lain.
Baca juga: “Kami Meliput Fakta, Tapi Malah Dapat Ancaman,” TNI Masuk Kampus dan Intimidasi Pers Mahasiswa
“Nah yang saya khawatirkan sebenarnya yang masalah siswa bermasalah dikirim ke barak militer. Karena itukan bisa menginspirasi yang lain, jadi langsung disambut sama sama TNI. Terus langsung dieksekusi beneran ada yang dikirim. Padahal dikirim ke barak militer itu apa dasarnya?” tegas Ika.
Seharusnya Dedi Mulyadi lebih berhati-hati menggunakan media sosial. Ika menilai tindakan yang dilakukan Dedi bisa dilihat sebagai upaya agat tetap diberitakan media.
“Mungkin dia nyari sensasional aja, biar dia tetap terdengar di publik. Biar dapat attention (perhatian) media menjadi perhatian warganya. Jadi biar kelihatan kalau dia kerja,” ujarnya.
Pasalnya gagasan yang disampaikan Dedi menurut Ika tidak semua harus diunggah di media sosial. Sebaliknya bisa dibicarakan dalam forum-forum tertutup karena ketika sudah diunggah di media sosial maka ia akan jadi wacana publik. Seperti misalnya kebijakan soal perpisahan anak sekolah, sebenarnya bisa dibicarakan di ruang tertutup, tidak harus diekspose di media sosial. Ketika semua hal diunggah di media sosial Ika melihatnya sebagai upaya untuk mencari perhatian (caper).
Minim Pendidikan Politik dan Partisipasi Publik
Strategi komunikasi yang dilakukan Dedi lewat media sosial dengan menampilkan ide-ide secara blak-blakan tanpa didukung argumen dan kajian menurut Ika bermasalah. Pertama karena dia tidak memberikan pendidikan yang baik kepada publik tentang bagaimana kebijakan itu harusnya dilakukan.
“Ini nggak baik juga buat publik karena nggak mendidik. Kok ada pemimpin publik yang nggak pakai kajian, nggak ada argumennya, main asal jeplak aja,” tutur Ika.
Di sisi lain Ika melihat ada kecenderungan banyak warganet yang menjadi fans atau pendukung tetapi banyak juga yang tidak suka. Karena itu menurutnya gaya sensasional seperti yang dilakukan Dedi sebaiknya tidak dilanjutkan. Ia khawatir justru akan menimbulkan perpecahan baru di masyarakat.
Jadi, kedua, menurut Ika, strategi semacam ini dikhawatirkan akan memperuncing polemik. Dan ketika hal ini terus dipelihara bisa menyebabkan polarisasi seperti yang terjadi pada era Jokowi dan Ahok.
“Ini sebenarnya upaya dia untuk menjadi populis. Mungkin karena tahun pertama jadi dia pengen dianggap kerja. Sementara persaingan atensi terhadap gubernur-gubernur atau kepala daerah juga banyak,” jelasnya.
Data yang ada menunjukkan pengguna internet di Jawa Barat cukup besar. Seperti data yang dilansir Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia yang menyebutkan per November 2020, Jabar mempunyai 35,1 juta pengguna internet.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi publik seperti yang dilakukan Dedi Mulyadi bisa menarik partisipasi publik? Dari pemetaan yang dilakukan Ika Idris terhadap percakapan mengenai Dedi Mulyadi di berbagai platform media sosial dan media massa dari 19 Februari hingga 29 April menunjukkan keterlibatan publik (public engage) yang tinggi.
Baca juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis
Namun hal penting yang perlu dicermati menurut Ika adalah apakah enggament itu arahnya untuk mengedukasi atau sekadar untuk sensasi? Dan yang tak kalah penting adalah apakah pelibatannya merupakan pelibatan bermakna?
Ika menjelaskan dalam sehari Dedi bisa membuat konten hingga 3 postingan, ini baru di Instagram, belum akun media sosialnya yang lain. Setiap postingan itu mengundang ribuan komentar.
“Tapi masalahnya komentar-komentar itu diambil nggak inside-nya, dianalisis nggak. Atau dia cuma yang penting dia muncul dan dibicarakan hari ini. Kalau untuk pelibatan dalam artian dapat atensi, iya, tapi pelibatan untuk engage secara bermakna menurut saya belum tentu,” jelas Ika.
Ika meragukan adanya pelibatan yang mendalam dengan melihat contoh kebijakan mengirim anak nakal ke barak militer. Di media sosial percakapan soal isu ini terpecah. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Tetapi tetap saja kebijakan itu dijalankan. Sementara dasar dari kebijakan tersebut juga tidak jelas.
Hal positif yang bisa diambil menurut Ika adalah publik jadi makin kritis dengan pimpinan yang tidak bijak dalam menyampaikan ide.
Baca juga: Kegilaan pada Mayor Teddy di TikTok: Bentuk Pengidolaan pada Militer di Media Sosial
Sementara kalau bicara partisipasi atau keterlibatan keompok marginal dan rentan, Ika melihat Dedi Mulyadi belum memakai pendekatan GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) dalam kebijakannya. Hal ini bisa dilihat pada isu vasektomi, misalnya.
“Kalau saya lihat yang isu vasektomi, itu malah kayak nggak sensitif terhadap kelompok marginal, terhadap keluarga miskin dan anak. Saya nggak melihat dia memahami konsep adanya kelompok marginal, atau konsep gender, equality, disability, dia nggak memahami konsep inklusif. Bahkan sangat abai kalau dilihat dari ucapan-ucapannya,” paparnya.
Media sosial, Ika menambahkan sebenarnya bisa dipakai untuk mendapatkan insight dari masyarakat. Ada banyak metode yang bisa dipakai. Masalahnya adalah apakah pemangku kebijakan mau melakukan itu.
“Kalau saya lihat kecenderungan pemangku kebijakan itu mereka paling menggunakan analisis media sosial untuk memetakan siapa yang mendukung, siapa yang anti. Narasi yang anti apa, lalu bagaimana meng-counter-nya. Jadi bukan untuk membangun atau mengumpulkan data atau insight untuk melihat pendapat publik atau aspirasi publik,” beber Ika.
Terkait Dedi Mulyadi, Ika tidak yakin Dedi sudah melakukan itu. Apalagi dia selalu muncul lagi dengan isu baru terus-menerus.
Foto: KDM Channel