Bias gender melihat aib perempuan dan laki-laki

‘Tubuhku Jadi Tontonan, Dosamu Jadi Hormat’: Bias Gender Soal Aib Perempuan dan Laki-Laki

Kenapa aib perempuan kerap menjadi tontonan hingga bahan olok-olok, sedangkan dosa laki-laki dianggap rahasia? Bias gender dan patriarki melihat perempuan sebagai sosok 'yang lain' dan kerap tidak dihargai.

Ada cerita dari sebuah desa yang tidak bisa disebutkan namanya. Beberapa waktu lalu, seorang perempuan diketahui menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah berkeluarga. Laki-laki ini adalah seseorang yang dikenal luas dan disegani di lingkungan sekitarnya. Karena rayuan dan bujukan laki-laki itu, ia mengirimkan foto bagian tubuhnya secara pribadi. Namun, foto itu jatuh ke tangan istri si laki-laki. Kemudian foto tersebut tersebar luas melalui grup percakapan warga dan menjadi bahan perbincangan hangat.

Peristiwa itu tentu menjadi sorotan. Namun, bukan hanya itu, respon masyarakat terhadapnya juga tak luput dari perhatian. Sang perempuan menjadi topik gosip di warung kopi, ruang tunggu, hingga grup ibu-ibu. Setiap bisik-bisik mengarah padanya. Nama dan tubuhnya diperbincangkan, disamakan dengan aib, dijadikan pelajaran tentang ‘cara perempuan seharusnya menjaga diri’. Sementara itu, laki-laki yang menerima dan diduga menyebarkan fotonya tetap melenggang bebas. Ia tidak kehilangan muka, tidak kehilangan hormat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, masih disambut dengan anggukan dan senyum.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan sering kali menjadi objek pengawasan, sementara moralitas laki-laki diberi kelonggaran. Menurut feminis Simone de Beauvoir dan Kate Millett, peristiwa semacam ini mencerminkan ketimpangan gender yang telah lama dikritik dalam teori feminisme.

Baca Juga: Film ‘Sinden Gaib’, Paradoks Sinden Perempuan, Disingkirkan dan Dikontrol Laki-Laki 

Kate Millett dalam Sexual Politics (1970) menyebut bahwa sistem patriarki menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dalam masyarakat. Mereka dibentuk untuk tunduk dan menjaga norma. Sementara laki-laki—terutama yang memiliki status sosial—bisa melanggar tanpa kehilangan kehormatan. Perempuan yang “melanggar batas” segera dihukum: lewat cibiran, pengucilan simbolik, dan pemberian cap. Sebaliknya, laki-laki yang menjadi bagian dari cerita itu tetap dianggap “laki-laki biasa” yang hanya khilaf.

Sementara itu, Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) menjelaskan bahwa perempuan jarang sekali dipandang sebagai individu utuh. Mereka lebih sering dilihat sebagai “yang lain”—lawan dari laki-laki yang menjadi tolok ukur. Ketika perempuan menyimpang dari ekspektasi sosial, mereka akan ditempatkan dalam posisi hina. Dalam banyak kasus, sesama perempuan pun ikut menegakkan standar ini. Fenomena internalized misogyny—ketika perempuan menyerap nilai patriarkal dan menghakimi kaumnya sendiri—tampak begitu jelas di sini.

Hal senada disampaikan Laura Mulvey dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975). Ia memperkenalkan konsep male gaze: cara pandang laki-laki terhadap perempuan sebagai objek visual. Konsep ini awalnya digunakan dalam analisis film. Konteksnya, kamera cenderung merekam tubuh perempuan untuk kesenangan laki-laki. Namun, di era digital, konsep ini menjelma lebih nyata. Dalam kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan (NCII), masyarakat justru ramai-ramai mencari tautan, meminta “bukti,” atau menyebarkannya kembali. Tubuh perempuan bukan lagi tubuh, melainkan tontonan. Ketika sudah dikonsumsi, ia dihakimi.

Baca Juga: Pengalaman Perempuan: Keajaiban Itu Ada Jika Kita Mau Menjemputnya

Feminisme juga menyoroti rape culture—budaya yang membenarkan kekerasan terhadap perempuan dan menyalahkan korban atas penderitaannya (Buchwald et al., 2005). Dalam kasus ini, yang menjadi pertanyaan adalah: “Mengapa ia kirim foto?” bukan “Mengapa laki-laki itu memintanya?” atau “Mengapa foto itu disebarkan?” Komentar seperti “salah sendiri,” “makanya jangan ganggu suami orang,” adalah bentuk nyata victim-blaming—di mana korban disalahkan atas situasi yang tidak sepenuhnya ia kendalikan.

Feminis Susan Brownmiller menjelaskan fenomena tersebut dalam Against Our Will (1975). Ia menegaskan bahwa masyarakat cenderung lebih lunak terhadap ekspresi seksual laki-laki. Ketika laki-laki menunjukkan hasrat, ia disebut nakal atau jantan. Tapi ketika perempuan melakukannya, ia dianggap rusak atau murah. Inilah standar ganda yang menempatkan beban moral secara tidak adil hanya di pundak perempuan.

Coba kita balik sejenak. Jika seorang laki-laki mengirimkan foto alat kelaminnya ke selingkuhannya, lalu tersebar, apakah masyarakat akan menghukumnya dengan cara yang sama? Apakah nama dan tubuhnya akan jadi bahan obrolan selama berminggu-minggu? Besar kemungkinan tidak. Bahkan bisa jadi ia hanya jadi bahan candaan di antara kawan-kawan.

Baca Juga: Putus Sekolah Sampai KDRT: Marak Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan, Anak Perempuan Jadi Korban

Melihat kenyataan ini, jelas bahwa tubuh perempuan masih diperlakukan sebagai ruang publik: bisa diatur, dikomentari, ditonton, bahkan dijadikan bahan tertawaan. Perempuan yang dianggap “melanggar” akan dijatuhkan. Sementara laki-laki yang berperan sama bahkan bisa tetap berdiri tegak—berwibawa, dihormati, dan bebas dari rasa malu.

Sudah saatnya kita sadar bahwa sistem ini cacat. Perempuan tidak boleh terus-menerus menjadi sasaran penghinaan massal, apalagi jika pelaku laki-laki justru bebas dari pertanggungjawaban sosial. Yang lebih menyedihkan adalah ketika sesama perempuan ikut menertawakan, bukan mendukung. Musuh kita bukan satu sama lain, tapi sistem yang terus menempatkan perempuan sebagai simbol kehormatan, sementara laki-laki tetap manusia biasa yang bisa “salah dan dimaafkan.”

Selama tubuh perempuan masih dijadikan tontonan, dan selama penghinaan terhadap perempuan masih dianggap hiburan, keadilan tidak akan pernah benar-benar hidup.

Referensi:

Beauvoir, S. de. (1949). The Second Sex. London: Vintage.

Brownmiller, S. (1975). Against Our Will: Men, Women, and Rape. New York: Simon & Schuster.

Buchwald, E., Fletcher, P. R., & Roth, M. (2005). Transforming a Rape Culture. Minneapolis: Milkweed Editions.

Gilligan, C. (1982). In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development. Cambridge: Harvard University Press.

Millett, K. (1970). Sexual Politics. New York: Doubleday.

Mulvey, L. (1975). Visual Pleasure and Narrative Cinema. Screen, 16(3), 6–18.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Herlin Oda

seorang pegiat literasi dari NTT
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!