Tren The Winner Takes It All di TikTok menggambarkan kenyataan pahit anak muda yang tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi, bias gender di keluarga, hingga ketidakadilan struktural. Video-video bertagar #TheWinnerTakesItAll menjadi ruang curhat terbuka bagi mereka yang merasa tersisih dari “perlombaan sukses” versi masyarakat.
Di salah satu video, seorang remaja laki-laki yang kerja jadi pengantar makanan menulis: “Langsung kerja ya, biar bisa bantu adik-adikmu.” Padahal nilainya tinggi dan dia sudah lulus seleksi masuk universitas negeri. Namun karena dia miskin, dia harus menjadi tulang punggung keluarga, dan tidak jadi melanjutkan pendidikannya.
Di sebuah video lainnya, memperlihatkan cerita seorang anak perempuan yang mengaku orang tuanya lebih memprioritaskan pendidikan ketiga kakak laki-lakinya. Di tengah ekonomi keluarga yang terbatas, meski salah satu kakak laki-lakinya gagal kuliah, masih saja dimodali ulang. Sementara ia, harus bekerja membantu di kebun dan mengerjakan domestik rumah tangga.
Perempuan miskin selain menghadapi ketidakadilan struktural akibat sistem ekonomi yang timpang, juga ketidakadilan gender. Dampaknya, mereka makin kesulitan mengakses pendidikan layak.
Lagu The Winner Takes It All dari ABBA yang dinyanyikan ulang oleh Meryl Streep, awalnya memang lagu tentang patah hati. Tapi di TikTok, lagu ini dipakai sebagai latar cerita tentang patah hati yang lain, patah hati karena keadaan hidup yang tidak adil. Karena di dunia nyata, yang menang bisa ambil segalanya. Yang kalah cuma bisa melihat dari jauh. Dan kekalahan ini bukan karena mereka malas atau bodoh, tapi karena mereka lahir di keluarga miskin, harus bantu adik, atau jadi korban budaya patriarki dan ketidakadilan struktural. Terlebih, para perempuan dengan ketimpangan gender yang dihadapinya.
Baca Juga: Pemberdayaan atau Penyelesaian Masalah Struktural? Wacana Gender di Tengah Gejolak Sosial
Bagi banyak anak muda, rasa kalah itu bukan sekadar karena nggak kuliah. Tapi karena standar masyarakat yang sempit mengartikan sukses = gelar + gaji besar.
Mereka yang kerja sebagai kasir, kurir, atau cleaning service sering diremehkan. Padahal pekerjaan itu juga butuh tenaga dan ketekunan. Seolah-olah pekerjaan mereka adalah bentuk kegagalan. Padahal, tak ada pekerjaan yang rendah. Yang ada adalah kenyataan bahwa pekerjaan-pekerjaan ini dibayar sangat tidak layak dan sering tanpa jaminan.
Di banyak negara lain, pekerjaan serupa bisa memberi hidup yang bermartabat. Namun di sini, sistem ekonomi dan budaya memaksa mereka merasa malu atas pilihan yang sebenarnya lahir dari keterpaksaan, bukan kemalasan. Dalam narasi sosial yang sempit ini, mereka bukan hanya kalah secara materi, tapi juga dicabut martabatnya.
Dianggap Kurang Berjuang, Malas, dan Bodoh
Tren ini memang mendapat jutaan penonton dan banjir komentar dukungan. Banyak yang merasa relate dan menyemangati satu sama lain. Namun di tengah empati itu, tak sedikit juga komentar yang tampak bijak “Kalau niat, pasti bisa kerja sambil kuliah.” Padahal, kalimat itu sesungguhnya menunjukkan betapa minimnya empati terhadap realitas keras yang dihadapi kelompok marjinal.
Bekerja sambil kuliah bukan pilihan yang realistis bagi semua orang. Di luar sana, banyak anak muda bekerja 10–12 jam sehari, bahkan tanpa libur. Seperti pekerja warung kopi yang digaji hanya satu juta rupiah sebulan, memang boleh makan di warung, tapi menunya hanya telur dan mie instan. Bagaimana mungkin ia bisa kuliah malam hari, apalagi mengerjakan tugas atau mengikuti kelas daring?
Jangankan untuk membayar kuliah, gajinya bahkan belum cukup buat bayar kos, apalagi buat makan bergizi dan menabung. Mereka berdiri berjam-jam, angkat barang berat, hadapi pelanggan yang marah-marah, pulang malam, lalu besoknya kerja lagi. Tapi masyarakat masih menyebut pekerjaan mereka “rendahan”.
Dalam kapitalisme, selalu ada kebutuhan terhadap pekerja bergaji kecil agar barang tetap murah dan keuntungan tetap tinggi. Tapi sistem ini juga menyebut mereka sebagai pekerja yang tidak menghasilkan nilai penjualan secara langsung. Oleh karenanya tidak dipandang penting dan mendapat penghargaan seperti jenjang karir, misalnya. Padahal justru mereka yang menopang sistem itu agar tetap berjalan. Tanpa kasir dan pelayan, mal tak bisa buka. Tanpa petugas kebersihan, rumah sakit dan restoran bisa lumpuh.
Baca Juga: Perempuan Desa Gak Perlu Sekolah? Ini Mitos dan Stigma Patriarki
Masalahnya semakin rumit karena Indonesia, belum punya sistem yang mendukung mahasiswa untuk kerja sambil kuliah dengan layak. Belum ada aturan yang mengatur jam kerja fleksibel untuk mahasiswa paruh waktu. Perusahaan pun tidak berkewajiban membuka slot kerja untuk pelajar atau mahasiswa. Jadi, komentar seperti “asal niat pasti bisa” sebenarnya menyepelekan kenyataan pahit yang dihadapi banyak anak muda ini.
Realitanya bukan mereka tak niat, tapi negara dan masyarakat yang belum sungguh-sungguh menciptakan jalan bagi anak-anak ini agar bisa bertahan hidup dan tetap bermimpi.
Akses ke perguruan tinggi juga belum merata. Sebagian besar universitas negeri ada di Pulau Jawa, sementara anak-anak dari luar Jawa sering harus pindah jauh, keluar banyak biaya, dan akhirnya kehilangan akses.
Biaya kuliah yang harus dikeluarkan tidak hanya uang kuliah yang mahal, tetapi juga biaya hidup seperti kos yang rata-rata mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta per bulan, ditambah biaya makan, transportasi, dan kebutuhan harian lain.
Dengan total pengeluaran per bulan bisa mencapai Rp 3 juta, beban ini menjadi tantangan berat bagi keluarga dari daerah pedesaan yang pendapatan rata-ratanya jauh di bawah itu. Selain biaya, jarak dan infrastruktur transportasi yang kurang mendukung semakin memperbesar kesenjangan akses pendidikan tinggi antara anak kota dan anak desa, menjadikan perguruan tinggi masih terasa sebagai kemewahan bagi banyak anak dari wilayah tertinggal.
Pemaknaan Sempit Pendidikan
Gagasan bahwa sekolah adalah tempat mempersiapkan anak untuk dunia kerja bukanlah sesuatu yang natural. Akar sejarahnya berasal dari sistem pendidikan Prusia (Jerman) pada abad ke-18, yang membentuk sistem pendidikan massal yang berfungsi untuk menciptakan warga negara yang taat, produktif, meniru sistem militer.
Tujuannya adalah pemberian pengetahuan akademis dan persiapan siswa untuk dunia kerja. Alih-alih memelihara kebebasan dan kebaikan yang melekat pada diri mereka.
Mereka membuka kelas-kelas untuk arsitektur, bangunan, pabrik, perdagangan, kemudian melatih dan melakukan sertifikasi guru. Secara keseluruhan, pendidikan massal abad ke-18 dan 19 berarti belajar di dalam ruangan, duduk di meja, mendengarkan guru, lulus ujian, dan mengutamakan mata pelajaran akademis. Model ini kemudian menyebar ke banyak negara lain, termasuk lewat kolonialisme.
Sistem pendidikan yang dibentuk Belanda di Indonesia pada masa kolonial memiliki kemiripan mencolok dengan sistem Prusia, terutama dalam tujuannya mencetak tenaga kerja terampil yang patuh pada tatanan kekuasaan.
Sejak 1901, Belanda mulai membuka akses pendidikan yang lebih luas bagi warga Hindia Belanda. Namun akses ini tetap sangat terbatas dan bersifat stratifikasi kelas. Tujuan utama pendidikan kolonial ini bukan untuk membebaskan atau memberdayakan masyarakat kala itu, melainkan untuk memenuhi kebutuhan administratif dan tenaga kerja lainnya.
Baca Juga: ‘Percuma Sekolah Tinggi, Nanti ke Dapur Juga’: Stop Ungkapan Jadul untuk Perempuan
Dan sistem ini berlangsung hingga sekarang, menggunakan syarat ijazah sekolah untuk diterima bekerja. Seiring berkembangnya sistem pendidikan seperti Prusia ini, muncullah logika bahwa untuk bisa bekerja secara “layak”, seseorang harus memiliki ijazah sebagai bukti telah melewati sistem yang disahkan negara.
Ijazah menjadi tiket masuk ke dunia kerja, dan secara perlahan masyarakat mulai menerima gagasan bahwa belajar bukan demi pemahaman atau pertumbuhan pribadi. Melainkan demi mendapat pekerjaan dan status sosial.
Pendidikan pun semakin identik dengan seleksi dan penyaringan siapa yang layak bekerja, siapa yang patut menerima gaji, dan siapa yang harus belajar lebih giat agar tak tertinggal. Dalam konteks ini, sekolah tak lagi menjadi ruang membebaskan, melainkan pabrik yang memproduksi tenaga kerja.
Tokoh-tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, dan Johann Bernhard Basedow sudah mengkritik sistem ini sejak lama. Mereka melihat bahwa sekolah justru membatasi kebebasan anak dan mengekang kreativitas. Prinsipnya, begitu kita memahami panggilan hidup kita untuk mengembangkan kapasitas alamiah kita, hidup kita berhenti menjadi permainan kosong, dan mewujudkan martabat kita yang bertujuan sebagai agen rasional. Mereka dipuji atas pemikirannya yang progresif untuk pendidikan, tapi tidak satupun pemikir laki-laki ini yang memikirkan kebebasan untuk perempuan dalam pendidikan. Bahkan mereka masih bias terhadap perempuan.
Amalia Holst seorang feminis dan pendidik Jerman abad 18 mengkritik bahwa gerakan progresif ini masih mengabaikan secara sistematis kebutuhan dan hak perempuan dalam pendidikan. Menurut Holst dalam bukunya On the Vocation of Woman to Higher Intellectual Education, meskipun ada gerakan progresif dalam pendidikan, perempuan tetap tidak menjadi bagian di dalamnya.
Baca Juga: Ingat Pesan Kartini: Buka Akses Pendidikan Perempuan
Holst mengkritik pernyataan sekolah Philanthropin yang didirikan Basedow bahwa Panggilan seorang perempuan adalah menjadi seorang istri, seorang ibu, dan seorang ibu rumah tangga. Perempuan dituntut pula untuk menjadi seorang istri yang “murni”, seorang ibu yang “sempurna”, dan seorang ibu rumah tangga yang “bijaksana”.
Untuk tujuan itulah anak perempuan harus belajar. Segala sesuatu yang tidak berkontribusi pada “panggilannya” harus menjauh darinya. Ini memperkuat stereotip gender yang membatasi perempuan hanya pada ranah domestik dan menghilangkan kesempatan mereka untuk berkembang secara intelektual.
Dalam kritiknya, Holst menegaskan bahwa kemajuan pendidikan harus melibatkan kesetaraan gender agar perempuan bisa berkontribusi secara penuh dalam masyarakat. Bukan hanya sebagai pelengkap peran tradisional. Sejalan dengan Amalia Holst, seabad kemudian, Kartini di Indonesia juga mengkritik anggapan bahwa perempuan hanya layak berada di ranah domestik dan tidak perlu berpendidikan tinggi.
Libatkan Anak Muda dan Perempuan yang Dipinggirkan
Anak-anak dari latar belakang miskin, dari desa, mereka bukan hanya perlu akses kuliah. Mereka juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk soal kebijakan pendidikan. Bukan sebagai tokenisme, tapi sebagai orang yang paham langsung situasi di lapangan.
Dalam Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire menulis “Siapa yang lebih siap daripada yang tertindas untuk memahami makna mengerikan dari masyarakat yang menindas? Siapa yang menderita akibat penindasan lebih dari mereka yang tertindas?”
Freire menekankan bahwa mereka yang mengalami langsung ketidakadilan justru memiliki pemahaman yang paling tajam tentang apa yang perlu diubah. Mereka tidak akan terbebas hanya dengan belas kasihan, melainkan melalui kesadaran kritis dan perjuangan aktif mereka sendiri. Maka, keterlibatan anak-anak terlebih perempuan dari latar miskin, dari wilayah terpinggirkan, bukanlah tambahan simbolik, melainkan kunci bagi lahirnya kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Mereka yang harus pilih antara beli pulsa atau makan, yang belajar sambil lapar, yang kerja dari pagi sampai malam, adalah mereka yang tahu betapa tidak adilnya sistem ini. Dan karena itu, suara mereka penting. Tanpa mereka, kebijakan pendidikan akan terus dibuat oleh orang-orang yang tak pernah tahu rasanya belajar dalam keterbatasan.
(Editor: Nurul Nur Azizah)