Maria Katarina Sumarsih dan Suciwati punya luka personal yang serupa: mereka kehilangan orang terkasih akibat kekerasan negara.
Anak Sumarsih, Bernardinus Realino Norma Irawan, tewas ditembak aparat saat menjadi relawan kemanusiaan dalam Tragedi Semanggi I 1998. Suami Suciwati, aktivis HAM Munir Said Thalib, dibunuh dengan racun di pesawat menuju ke Belanda karena aktivisme yang dilakukannya pada 7 September 2004.
Di tahun 2007, luka tersebut pun dijahit dalam solidaritas kolektif; kemudian dikenal sebagai Aksi Kamisan, yang masih tegap berdiri menghadap rezim hingga kini, 18 tahun setelahnya. Maka di tahun ke-18 ini pula, kenangan dan refleksi atas solidaritas kolektif itu terangkum dalam buku ‘Kamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Ini Tetap Berdiri’.
Peluncuran buku ‘Kamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Ini Tetap Berdiri’ berlangsung di Taman Ismail Marzuki Pada 27 Mei 2025. Di tengah langit muram dan suasana politik yang semakin represif, acara ini juga menjadi momentum penting dalam merawat ingatan dan menegaskan keberanian. Selama 18 tahun, Aksi Kamisan tak pernah benar-benar diam. Terutama bagi mereka yang telah lama mengorbankan suara, tubuh, dan kehidupan demi keadilan.
Dalam acara tersebut, dua moderator Samanta dan Suci mengajak peserta untuk mengenang dan memperpanjang napas perlawanan atas impunitas. Mereka menegaskan bahwa Aksi Kamisan bukan hanya simbol, melainkan bentuk nyata perlawanan terhadap negara yang lalai bahkan menutupi luka yang menganga. Dengan payung hitam sebagai saksi, para korban dan keluarga korban berdiri setiap Kamis di depan Istana Negara. Menuntut keadilan yang belum kunjung datang.
Baca Juga: Sulitnya Jadi Musisi Peduli HAM: Kalau Mengkritik, Bisa Diancam Atau Diputus Kontrak
“Reformasi 1998 pernah membawa harapan besar,” kata Samanta. “Namun, harapan itu ternyata belum sepenuhnya terwujud. Puluhan tahun telah berlalu. dan berbagai rezim telah berganti. Tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih belum juga diselesaikan secara tuntas dan berkeadilan.”
Samanta melanjutkan, “Di tengah retorika pembangunan dan stabilitas, kita justru menyaksikan semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil. Komitmen terhadap nilai-nilai reformasi semakin dikesampingkan sementara kecenderungan otoritarianisme kian menguat dari waktu ke waktu.”
Hal ini menjadi refleksi: betapa negara tak hanya gagal memenuhi janjinya, tetapi juga aktif menghapus jejak-jejak kekerasannya sendiri.

Aksi Kamisan digagas sejak 2007 oleh dua perempuan yang menjadi sosok sentral dalam gerakan tersebut. Ada Maria Katarina Sumarsih dan Suciwati. Kehilangan anak dan suami akibat kekerasan negara adalah duka. Namun, alih-alih tenggelam dalam duka, mereka membangun ruang politik baru.
Sumarsih, ibu dari Wawan yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, menyampaikan dengan tegas bahwa Aksi Kamisan adalah cara untuk bertahan. “Melawan lupa, melawan impunitas, dan juga untuk merawat reformasi dan demokrasi,” Sampainya.
Dengan suara tenang namun tegas, ia menjelaskan bagaimana hukum di Indonesia dimandulkan. Undang-undang ada, tetapi negara sendiri enggan menegakkannya.
Yang menyemangati ia untuk terus hadir selama 18 tahun, katanya, adalah kehadiran anak-anak muda. Meski Aksi Kamisan lebih tua dari mereka, anak-anak muda datang dari sekolah-sekolah, kampus, bahkan membuat tugas skripsi dan tesis tentang Aksi Kamisan. Hal tersebutlah yang menguatkan Sumarsih dan Aksi Kamisan.
Baca Juga: ‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan
Sedangkan Suciwati, istri dari almarhum aktivis HAM Munir Said Thalib menyampaikan bahwa narasi negara hari ini tak bisa dipercaya. Negara sedang menuliskan sejarah versinya sendiri sehingga tampak bersih dari dosa.
“Setidaknya di tengah situasi negara yang sangat gelap ini, Indonesia yang gelap ini, setidaknya kita masih mampu untuk merebut narasi-narasi yang dituliskan oleh negara. Dan menciptakan narasi kita sendiri untuk melawan narasi-narasi yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh negara,” Tutur Suciwati.
Menurut Suciwati, sejarah yang ditulis oleh keluarga korban memiliki kekuatan validasi yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, proses menulis menjadi bentuk perlawanan dan katarsis politik. Patah hatinya melihat impunitas di negara ini dengan pelaku-pelaku yang masih bebas menjabat diberikan harapan melalui perlawanan kolektif. “Ternyata harapan itu ketika kita menyatakan melawan,” Kata Suciwati.
Aksi Kamisan tumbuh menjadi gerakan sporadis. Tidak hanya di Jakarta, letupan-letupan solidaritas merawat ingatan muncul di daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan penjuru dunia. Kisah perempuan juga datang dari Nikita Situmeang, penggerak Aksi Kamisan Medan. Dalam penyampaiannya, ia menceritakan lahirnya aksi ini dari obrolan di warung kopi. Mereka, yakni anak-anak muda dari Sumatera Utara, melihat ketidakadilan terjadi di depan mata, seperti represi aparat, kematian warga, impunitas pejabat.
Baca Juga: Penghargaan untuk Mayu Fentami, Perempuan Kendeng dan Aksi Kamisan
Salah satu kalimat yang paling banyak dilantangkan dalam aksi ini adalah: “Hidup korban! Jangan diam! Lawan!” Kalimat ini sederhana, tetapi dalam konteks negara yang represif, ia menjadi ancaman. Seorang pejabat yang diminta Nikita bersama teman-temannya untuk menyuarakan pun, akhirnya mengutus orang untuk menghapus rekamannya.
Namun kalimat itu telah tersebar. Kalimat itu tertulis di payung, di poster, di dada para aktivis. Ia telah menjadi memori kolektif.
Aksi Kamisan menegaskan satu hal penting dan Nikita menunjukkan hasil tersebut, yakni bahwa keberanian itu menyebar. Nikita juga menunjukkan bahwa keberanian bukanlah soal tidak takut, tetapi soal terus berdiri meski rasa takut hadir.
Andovi Da Lopez, seorang pemengaruh di media sosial sekaligus salah satu penanggap acara peluncuran buku ‘Kamisan’, juga berkata, “Being silent is also a political stance. Kalau kita diam itu juga bukan berarti, ‘gue netral ya bro, sorry gue diam’. Enggak. When you’re quiet on certain issues, udah clear. Itu adalah sebuah stance yang sangat clear politically juga.”
Aksi Kamisan hingga peluncuran buku ‘Kamisan’, adalah bukti suara perempuan begitu sentral dalam gerakan. Sumarsih dan Suciwati bukan hanya penyintas; mereka adalah penulis sejarah. Dalam sistem yang selama ini membungkam perempuan, kehadiran mereka radikal. Mereka tidak hanya hadir, tapi menulis, berbicara, dan mengorganisir.
Dalam konteks feminisme, gerakan ini memperlihatkan bahwa keadilan tidak mungkin hadir tanpa mendengarkan perempuan. Dan mendengarkan bukan berarti memposisikan mereka sebagai korban belaka. Perempuan juga adalah subjek politik; yang berdaya, yang menulis narasi sendiri, dan yang merawat perlawanan dari generasi ke generasi.
Selain itu, yang radikal dari Aksi Kamisan adalah keberaniannya merawat ingatan. Sumarsih mengatakan, “Di dalam cinta ada semangat dan harapan.” Dan cinta dalam konteks ini bukan cinta domestik, bukan cinta yang melayani kekuasaan. Ini adalah cinta yang menghidupkan keberanian. Cinta yang menolak patuh. Cinta yang melahirkan revolusi.
Baca Juga: Kamisan dan Aksi Tolak Kekerasan Perempuan
Buku ‘Kamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Ini Tetap Berdiri’ bukan hanya kumpulan tulisan. Ini buku yang sekaligus jadi deklarasi bahwa sejarah tidak bisa ditulis tanpa perempuan. Di tengah narasi sejarah resmi yang patriarkal, buku ini memulihkan suara perempuan; yang luka, yang kehilangan, tapi juga yang mengorganisir, membangun, dan menyembuhkan.
Dalam buku ini, perempuan menolak menjadi korban pasif. Perempuan merebut mikrofon, pena, dan panggung. Mereka menulis bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk menggugat. Dan menggugat bukan karena dendam, tapi karena cinta. Cinta pada keadilan.; cinta pada kehidupan. Cinta pada masa depan generasi perempuan berikutnya.
Dari acara ini, masyarakat disadarkan kembali bahwa sejarah bukan milik penguasa. Sejarah adalah milik mereka yang menolak dilupakan. Dari Jakarta hingga Medan, dari Plaza de Mayo hingga depan Istana Negara, dari seorang ibu yang kehilangan anak hingga anak muda yang baru belajar sejarah, semua bergabung dalam satu suara: Hidup korban! Jangan diam! Lawan!
Karena melawan adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup. Dan menulis adalah satu-satunya cara agar suara tidak hilang ditelan sunyi.
Pada akhirnya, Aksi Kamisan menjadi ruang politik yang bernuansa feminin sekaligus feminis. Aksi Kamisan tidak melulu riuh dengan teriakan, tetapi juga menuntut keadilan dengan menggalang solidaritas.
(Foto: Marjin kiri dan Instagram Dian Purnomo)