Maria Catarina Sumarsih di Aksi Kamisan ke-508, Kamis (15/2/2024). (Foto: Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan

Aksi Kamisan sudah 17 tahun berlangsung, tapi masih ada salah paham ini agenda 5 tahunan jelang pemilu untuk "menjatuhkan" paslon tertentu. Padahal, negaralah yang selama ini ingkar janji.

“Jangan diam, lawan!”

Sepenggal kalimat itu terus diucapkan berulang pada tiap peserta Aksi Kamisan ke-805. Mereka menyatukan suara dengan para penampil pertunjukkan seni yang memakai pakaian serba hitam. Seluruh tubuh dililit sayatan kain putih dengan ikat kepala berwarna merah dan putih.

Peragaan teatrikal ini sebagai bentuk merepresentasikan kegagalan negara menjaga demokrasi.

Aksi simbolik juga dilakukan dengan peniupan peluit dan mengangkat kartu kuning dan merah. Ini dilakukan serempak oleh para peserta aksi. Sebuah petunjuk adanya ‘tanda bahaya’ sekaligus peringatan keras terhadap para pelanggar demokrasi agar segera berhenti melakukan kejahatannya.

Di Aksi Kamisan ke-805, hadir para kerabat, sahabat dan siapapun dari berbagai kalangan yang bersimpati pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Mereka secara bergantian menyampaikan orasi termasuk kekecewaan mereka atas keputusan Presiden Joko Widodo, yang malahan ‘membantu’ kemenangan terduga pelaku penjahat HAM dalam pemilu 2024 ini.

Maria Catarina Sumarsih salah satunya, yang selama ini senantiasa teguh hadir dalam Aksi Kamisan. Ia merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), Mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I.

Baca Juga: Kamisan dan Aksi Tolak Kekerasan Perempuan

Sumarsih menyampaikan pula adanya upaya pembungkaman, kritik dan kriminalisasi terhadap mereka yang membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan, sehari sebelum pemilu 2024 kemarin.

Baginya, ini menjadi cermin ketiadaan komitmen rezim dan lingkaran elite untuk menjamin tegaknya demokrasi dan HAM. Janji-janji penguasa tak bisa dipercaya. Sebab selama ini, setiap 5 tahun janji manis penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, hanyalah janji yang diingkari.

“Aksi Kamisan ini adalah cara kami bertahan untuk berjuang membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan impunitas, dan menolak lupa. Jadi, di dalam Aksi Kamisan ini, kita tidak ada dukung-mendukung capres-cawapres atau caleg karena kita sudah tau semua. Karena pengalaman setiap 5 tahun, kami selalu dibohongi. Janji-janji manis mereka tidak ada yang pernah dipenuhi,” Ujar Sumarsih saat menyampaikan orasinya di depan Istana, Jakarta, pada Kamis (15/02/2024).

Aktivis HAM, Dyta Caturani juga bersuara dalam Aksi Kamisan ke-805 itu. Dia mengatakan, orang-orang yang diperjuangkan di setiap aksi kamisan ini adalah teman-temannya, yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.

“Banyak dari mereka adalah teman-teman kuliah saya dan teman-teman dekat saya. Bahwa saya juga pernah menjadi korban kekerasan aparat, ditembak dan dipukuli hingga koma di masa itu,” ujarnya.

Baca Juga: Hari HAM 2023: Jokowi Tak Bereskan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Hadir pula, Paian Siahaan, ayah dari alm. Ucok Munandar Siahaan (mahasiswa korban penghilangan paksa tragedi Mei 1998) yang menyoroti soal upaya bertanggung jawab para pelanggar HAM, yang nihil. Dia menyebut salah satu paslon Capres di pemilu 2024, Prabowo Subianto, yang terlibat dalam tragedi 1998. Di satu sisi, Ia juga menuntut Jokowi yang ingkar pada janjinya untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Seandainya Prabowo mau mempertanggungjawabkan kasus ini bisa selesai sebenarnya, tapi dia tidak mau bertanggung jawab sehingga dia berlarut-larut sampai dia tiga kali dia mencalonkan diri (sebagai capres) baru sekarang dia menang, itu pun karena dukungan dari Joko Widodo. Padahal sebenarnya Joko Widodo sudah dua kali memanggil kami ke istana untuk dia akan segera melakukan penyelesaian. Karena waktu itu di visi misinya dicantumkan bahwa dia harus menyelesaikan dan itu juga di Nawacita, dia akan segera. Tetapi sampai habis masa berlakunya (periode pertama) bukannya diselesaikan malah prabowo diangkat menjadi Menhan,” tutur Paian yang disampaikan di bawah payung hitam saat hujan mengguyur.

“Jadi kami sangat kecewa dan mohon bantuan kita semua. Kita bergandeng tangan agar kasus ini bisa diselesaikan. Siapapun presidennya,” lanjutnya.

Tentang Aksi Kamisan

Aksi Kamisan pertama kali berlangsung di depan Istana Negara pada Kamis, 18 Januari 2007.  Ia digagas oleh tiga anggota keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Mereka adalah Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya yang tewas ditembak aparat pada Peristiwa Semanggi I 1998. Lalu Suciwati, istri Munir Said Thalib, aktivis HAM yang tewas diracun pada 2004. Serta ada Bedjo Untung, perwakilan keluarga korban pembunuhan, pembantaian, dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang tertuduh PKI pada periode 1965-1966. 

Mulanya, para korban, penyintas, dan keluarga korban pelanggaran HAM berat membentuk paguyuban bernama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Dua tahun setelah berdiri, JSKK pun menginisiasi Aksi Kamisan.

Sesuai namanya, Aksi Kamisan berlangsung setiap hari Kamis, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Pakaian hitam dan payung hitam menjadi ‘identitas’ Aksi Kamisan.

Di Jakarta sendiri, aksi ini biasanya berlangsung sejak pukul 3-5 sore. Ini bukan seperti kebanyakan aksi unjuk rasa yang massif dan riuh. Selama kira-kira 30 menit pertama, Aksi Kamisan dimulai dengan demonstrasi diam menghadap ke arah Istana Negara. Baru setelah itu diadakan orasi singkat dari sejumlah peserta aksi.

Aksi ini awalnya hadir sebagai respon atas sikap pemerintah yang mengabaikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM seperti Peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II di tahun 1998. Kemudian, tuntutan aksi meluas dan memasukkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dan sesudah 1998.

Baca Juga: Penghargaan untuk Mayu Fentami, Perempuan Kendeng dan Aksi Kamisan

Ada empat lembaga yang jadi sasaran utama Aksi Kamisan. Yaitu presiden sebagai penerbit regulasi Keputusan Presiden (Keppres), DPR sebagai instansi perumus surat rekomendasi kepada Presiden, Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik. Keempat lembaga ini dinilai paling bertanggungjawab dalam penanganan kasus pelanggaran HAM.

Dari keempat lembaga yang disebutkan, presiden menjadi sasaran utama. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa presiden berperan sebagai pembuat keputusan utama dalam pembentukan pengadilan ad hoc, yang selama ini dituntut oleh para keluarga korban, maupun Keppres terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden dituntut untuk memberikan respon nyata dan positif terhadap kasus penyelesaian pelanggaran HAM. Ini dapat menjadi bukti penegakan keadilan HAM di Indonesia.

Sumarsih, Menggagas Aksi Kamisan dengan Cinta untuk Anaknya

Selain soal Aksi Kamisan, sindiran dan hujatan juga menyasar Sumarsih, salah satu pegiat Aksi Kamisan. Banyak yang mencemooh Sumarsih dan menganggap dirinya melakukan Aksi Kamisan atas perintah dan ‘bayaran’ pihak-pihak tertentu.

Maria Catarina Sumarsih adalah ibu dari Wawan, seorang mahasiswa Unika Atma Jaya yang masih menempuh pendidikan di semester kelima saat ia tewas ditembak aparat. Kala itu, pada Peristiwa Semanggi I tanggal 13 November 1998, Wawan tergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

Meski sudah mengibarkan bendera putih dan meminta izin untuk menolong peserta aksi yang terluka, peluru tajam tetap menembus dada kiri Wawan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Namun ketika Sumarsih tiba di rumah sakit, nyawa Wawan tidak tertolong.

Peristiwa itu amat melukai Sumarsih dan keluarganya. Selama berbulan-bulan, ia hanya menangis dan berdoa, sementara suami dan anak keduanya berusaha tetap beraktivitas seperti biasa. Kemudian pada suatu hari, perempuan itu merasa harus melakukan sesuatu.

Itulah yang melandasi Sumarsih untuk mengadakan Aksi Kamisan, bersama dengan para keluarga korban pelanggaran HAM berat lainnya. Sejak Januari 2007, mereka berdiri di seberang Istana Negara, juga mengirim ratusan surat kepada presiden sejak masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo. Peserta aksi datang silih berganti hingga saat ini.

Salah Paham Aksi Kamisan: Bukan Isu 5 Tahunan, Sudah 17 Tahun Berjalan

Sepanjang masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, ada satu dari berbagai topik yang banyak dibicarakan di internet, yakni Aksi Kamisan. Berlangsung setiap Kamis sore di depan Istana Negara di Jakarta, banyak yang mencibir Aksi Kamisan dengan menyebut bahwa aksi tersebut ‘hanya muncul lima tahun sekali’ dalam ajang Pemilihan Presiden (Pilpres).

Padahal, faktanya bahwa Aksi Kamisan sudah berlangsung selama 17 tahun dan tersebar di lebih dari 60 kota di Indonesia, tidak hanya di Jakarta.

Tak hanya salah paham bahwa Aksi Kamisan hanyalah agenda 5 tahun sekali jelang pemilu, tapi ada juga mereka yang menyebut aksi ini spesifik hanya berusaha menjatuhkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Pun adanya anggapan bahwa Prabowo Subianto tidak pernah dipecat karena keterlibatan pelanggaran HAM masa lalu yang dia lakukan. Bahkan, Ia secara terang menyebut itu hanyalah angin lalu pemilu yang mengarah ke “konspirasi” untuk menjatuhkan Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilu 2024 ini. Salah satu yang ramai jadi perbincangan adalah perkataan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Cheril Tanzil di sebuah diskusi acara televisi “Pilpres Sebentar Lagi, Anak Muda Pilih Siapa” yang ditayangkan di TV One sekitar sepekan lalu.

“Saya juga ingin mengutip almarhum Munir di salah satu tayangan televisi, almarhum Munir pernah mengatakan bahwa betul Pak Prabowo ini sebenarnya dipecat tidak ada hubungannya dengan Mei 1998. Ini merupakan ‘konspirasi’ politik. Saya ingin anak muda mari kita belajar sejarah lagi dan anak muda pilihlah orang-orang yang tidak memakai topeng. Yang apa adanya tapi tulus utk negara kita,” katanya.

Baca Juga: Perempuan Pembela HAM Kerap Menjadi Sasaran Kekerasan dan Intimidasi

Tak hanya itu, upaya “pelemahan” perjuangan Aksi Kamisan juga muncul dari berbagai komentar negatif usai Kamisan ke-805 pada 15 Februari 2024 lalu. Salah satu komentar bernada merendahkan datang dari fotografer senior Indonesia, Darwis Triadi.

Di bawah foto Sumarsih, yang mengacungkan kartu merah saat teatrikal di Aksi Kamisan ke-805 yang diunggah di Instagram Harian Kompas, Darwis berkomentar agar Sumarsih dan para pegiat Kamisan untuk menyudahi saja aksi tersebut karena Pemilu sudah beres.

Wes tooo, pemilu wis rampung Bu, tinggal nunggu KPU.. (Sudahlah, Pemilu sudah beres Bu, tinggal nunggu KPU..)” Komentar Darwis. Quick count juga sdh ada.. trimo karo lapang dodo, ora usah nggawe ribut malah.. ojo gelem dikongkon ngene.. pun kundur mawon. (Terima dengan lapang dada, tidak usah malah membuat ribut.. Jangan mau disuruh begini.. Sudah, pulang saja.)”

Komentar Darwis dinilai nirempati dan ia dianggap tidak paham makna Aksi Kamisan. Apa lagi, mengingat dirinya merupakan sosok fotografer senior yang jadi figur publik. Banyak orang mengutarakan kekecewaan mereka karena pernyataan tersebut datang dari sosok profesional seperti Darwis. Meski kemudian ia menghapus komentarnya, jejak digitalnya akan senantiasa membekas.

Darwis Triadi Diundang ‘Omon-Omon’ Soal Aksi Kamisan

Darwis Triadi dan komentar atas Aksi Kamisan pun memantik reaksi banyak kalangan. Termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Melalui unggahan di Instagram, AJI Jakarta mengundang Darwis untuk ‘omon-omon’ atau berdiskusi dengan format tanya-jawab terkait Aksi Kamisan pada 18 Februari 2024 lalu. Hingga artikel ini terbit, Darwis Triadi belum tampak muncul dan diskusi belum berlangsung.

Inisiatif mengundang Darwis Triadi untuk membicarakan tentang Aksi Kamisan datang dari Muhamad Iqbal, Divisi Hubungan Eksternal AJI Jakarta. “Kami juga japri yang bersangkutan soal undangan tersebut melalui DM,” ungkap Iqbal kepada Konde.co, Selasa (20/2/2024). Namun menurutnya, sampai saat ini Darwis belum merespon.

Baca Juga: Aktivis Perempuan: Hari HAM Jangan Hanya Jadi Gimmick Perayaan Tahunan

Kepada Konde.co, Iqbal menjelaskan, hal itu merupakan salah satu upaya kampanye untuk melawan narasi yang digaungkan oleh orang-orang seperti Darwis di media sosial. Narasi yang menegasikan Aksi Kamisan dan meremehkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas, kerap muncul di momen Pemilu.

Iqbal melanjutkan, sebetulnya sejak awal tim AJI Jakarta sudah memprediksi bahwa Darwis tidak akan hadir. Di sisi lain, jika fotografer itu memutuskan untuk hadir, mereka pun siap menyambutnya.

“Acara tersebut konsepnya diskusi publik, biar lebih menarik kita modifikasi jadi QnA,” jelas Iqbal. “Kan seru tuh kalau yang bersangkutan mau hadir. Seluruh peserta bisa nanya dan mendalami pemikiran doi soal Aksi Kamisan, bahkan bisa ke motif doi ngomen se-nir-empati itu.”

Kendati undangan diskusi dari AJI Jakarta belum digubris oleh Darwis Triadi, Iqbal memastikan akan ada model kampanye lain dari mereka untuk menanggapi komentar fotografer tersebut.

Senantiasa Mengingatkan Bangsa yang Pelupa

Mengharapkan agar bangsa ini selalu ingat sejarah, terutama sejarah yang dihilangkan, memang sulit. Bahkan ketika sejarah yang dimaksud merupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang memberatkan penguasa, belum tentu semua orang sudi meletakkannya dalam ingatan.

Ga perlu jauh mengingat tragedi yang berpuluh tahun silam,” ucap Iqbal. “Tragedi yang belum lama terjadi seperti Kanjuruhan saja tidak sedikit orang yang sudah lupa, apa, siapa, dan bagaimana itu terjadi.”

Narasi sejarah selama ini sangat kuat diarahkan agar berpihak pada penguasa. Tapi bukan berarti arus alternatif sejarah tidak ada. Arus alternatif sejarah adalah milik orang-orang yang tertindas, meski bangsa ini lupa atau bahkan tak mengetahuinya sama sekali.

Baca Juga: Aktivis: Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Jalan di Tempat, Komnas Perempuan Harus Bergerak

Bukan kali pertama narasi-narasi yang berkaitan dengan masa lalu Indonesia, termasuk soal kasus pelanggaran HAM berat yang belum diusut tuntas, direduksi menjadi seakan-akan hanya muncul di masa Pemilu. Aksi Kamisan hanya satu di antaranya. Namun, menurut Iqbal, ini bukan berarti Aksi Kamisan sia-sia.

“Gerakan ini jadi upaya pengingat kesadaran publik biar orang ga jadi pelupa karena terus diingetin, tekanan kepada Pemerintah,” katanya.

“Meskipun kadang-kadang dianggap remeh oleh pihak berwenang, tekanan yang konsisten dari gerakan ini dapat mendorong pemerintah untuk bertindak. Dan yang paling penting, solidaritas untuk korban dan keluarga, jadi kesempatan buat mendapatkan dukungan moral dari masyarakat,” pungkasnya.

(Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Konten ini diproduksi sebagai bentuk kolaborasi dengan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dalam rangka melawan misinformasi soal perempuan dan kelompok marginal.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!