Melihat Putusan Kasus Baim-Paula, Sudahkah Hukum di Indonesia Berpihak Pada Perempuan?

Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta dalam kasus perceraian Baim-Paula menetapkan hak asuh anak ada pada Baim. Padahal kedua anak mereka usianya masih anak-anak. Apakah keputusan pengadilan tersebut sudah adil gender bagi Paula maupun kedua anaknya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo kakak di Klinik Hukum Perempuan, perkenalkan saya Mutia. Saya mau sedikit curhat dan bertanya mengenai kasus yang terjadi pada artis Paula Verhoeven dan Baim Wong. Keputusan Pengadilan Tinggi Agama menyebutkan hak asuh atas kedua anak mereka diserahkan sepenuhnya kepada Baim Wong selaku ayah kandungnya.

Padahal, usia kedua anak mereka masih di bawah umur atau masih anak-anak. Apakah Keputusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta ini sudah adil gender, baik kepada Paula sebagai ibu kandung maupun kedua anak mereka? (Mutia, Samarinda)

Jawab:

Kasus perceraian yang terjadi dalam rumah tangga Paula Verhoeven dengan Baim Wong telah resmi diputus. Pada tingkat pertama di Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan, yaitu pada tanggal 16 April 2025. Maupun di tingkat kedua/banding di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta, tanggal 18 Juni 2025.

Ada tiga hal mendasar yang diputuskan majelis hakim pada tingkat banding. Pertama, mengabulkan perceraian kedua belah pihak. Kedua, tidak ada nusyuz (istri durhaka). Ketiga, hak perwalian dua anak jatuh ke tangan ayah karena berdasarkan psikologinya, anak lebih dekat dengan ayah.

Padahal kedua anaknya masih berusia di bawah umur. Anak pertama (KTW) saat ini sudah hampir berusia 6 tahun, sedang anak kedua (KEW) masih berusia 3,5 tahun. Para hakim di tingkat banding berpendapat hak asuh anak diserahkan kepada pihak ayah karena memiliki kedekatan secara psikologis. Namun harus diperhatikan betul soal ketentuan hukum yang berlaku tentang hak asuh anak yang masih berada di bawah umur.

Mengenai kedekatan secara psikologis dalam penentuan hak asuh anak harus mengutamakan kepentingan terbaik anak (the best interests of the children doctrine). Dan dalam penentuan hak asuh anak oleh hakim, faktor psikologis/internal (aspek kognitif dan emosi) memainkan peran yang penting terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Faktor psikologis itu terdiri atas: kecerdasan, kepribadian, jenis kelamin, usia dan pengalaman.

Terdapat beberapa peraturan atau ketentuan hukum tentang hak pengasuhan terhadap anak yang masih dibawah umur, terutama setelah perceraian. Seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pasal 105 huruf a KHI menyebutkan, “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) adalah hak ibunya.” Ketentuan lainnya, adalah Pasal 156 huruf a, “Hak pemeliharaan anak yang masih di bawah umur 12 tahun adalah hak ibu kandung.”

Ketentuan hukum lainnya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973, yang menyatakan, “Ibu kandung diutamakan dalam hak asuh anak, kecuali terbukti ibu tidak wajar dalam memelihara anaknya.”

Baca juga: Korban KDRT Berhak Dapat Perlindungan Sementara, Yuk Simak Gimana Caranya

Secara umum, hak asuh anak di bawah 12 tahun (belum mumayyiz) diberikan kepada ibu. Kecuali jika ibu dinilai tidak mampu atau perilakunya membahayakan. Pengadilan akan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kemampuan ekonomi, kondisi psikologis dan emosional, serta lingkungan yang dapat diberikan oleh masing-masing orang tua.

Dan dalam hal ini soal kondisi dari pihak ibu/Paula Verhoeven dalam proses banding tidak terbukti bersikap yang aneh/nusyuz (istri durhaka). Karena itu sepatutnya hak asuh anak-anak dari kasus perceraian Baim Wong dan Paula Verhoeven dapat diputuskan berada pada ibu kandungnya. Lantaran kedua anaknya masih berada pada umur di bawah 12 tahun (mumayyiz).

Bisa juga hak asuh dilakukan secara bersama-sama (joint custody). Untuk hak asuh secara bersama-sama ini sudah ditetapkan dalam putusan tingkat pertama di PA Jakarta Selatan.    

Mengenai hak asuh bersama (joint custody) ini dalam beberapa kasus perceraian pengadilan negeri ataupun pengadilan agama dapat memutuskan hak asuh bersama. Kedua orang tua berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan anak.

Meskipun untuk beberapa kasus ada anak yang mungkin akan memilih untuk tinggal lebih lama dan lebih sering dengan salah satu orang tuanya. Tujuan dari adanya hak asuh bersama adalah untuk memastikan anak tetap mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua. Karena tidak pernah ada “bekas orang tua, ataupun bekas anak.”

Keadilan Gender dalam Putusan Banding Hak Asuh

Bahwa keputusan banding dari Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta tidak mendasarkan keputusan pada jenis kelamin orang tua (laki-laki atau Perempuan). Para majelis hakim di Pengadilan Tinggi Agama menggunakan pertimbangan psikologis dan kedekatan emosional anak, yang hasilnya berpihak kepada pihak ayah (Baim Wong).

Sementara pihak ibu (Paula Verhoeven) tidak dinyatakan “tidak layak” sebagai ibu atau dianggap lalai, sehingga tidak ada pembenaran eksplisit yang bersifat misoginis. Untuk itu tidak tampak bias gender dalam teks putusan.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang patut dikritisi dalam kerangka keadilan gender substantif:

a. Norma Budaya dan Persepsi Ibu Ideal

Sering kali perempuan (ibu) dianggap secara default sebagai pengasuh utama. Dalam kasus ini, ketika ayah mendapat hak asuh penuh, maka akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah ini mencerminkan kemajuan kesetaraan, atau justru penalti terselubung terhadap perempuan?” Dampak atau risiko yang timbul dari kasus ini adalah jika alasan pengasuhan diberikan kepada Baim Wong karena faktor ketenaran, stabilitas finansial, atau media framing negatif terhadap Paula Verhoeven, maka ini bisa menjadi bentuk penilaian tidak adil terhadap peran perempuan.

b. Stigma dan Beban Sosial terhadap Ibu

Bahwa, Paula Verhoeven tampaknya “mengalah” dan tidak mengajukan upaya hukum lagi/kasasi demi kestabilan anak-anaknya. Ini mencerminkan beban moral dan emosional yang sering dibebankan pada ibu dalam kasus perceraian. Selain itu, Paula Verhoeven sebagai seorang ibu juga berusaha untuk menjaga citra keibuan. Padahal dalam konstruksi patriarkis, ibu yang tidak mendapatkan hak asuh kerap dianggap gagal atau kurang berperan.

c. Hak Kunjungan Tidak Dijamin Setara

Mengenai hak kunjungan perempuan setelah kehilangan hak asuh tidak dijamin fleksibilitas dan kontinuitasnya. Apalagi jika tidak dibarengi dengan mekanisme perlindungan dan pengawasan yang kuat dari pengadilan. Dalam praktik, perempuan berisiko kehilangan relasi emosional dengan anak secara perlahan, karena tidak adanya kontrol atau sistem pencegahan yang cukup adil terhadap akses kunjungan.

Baca juga: Refleksi 3 Tahun UU TPKS: Aturan Turunan Belum Lengkap, Implementasi Terhambat

Sistem hukum di Indonesia (Pasal 105 KHI dan UU Perlindungan Anak) tidak memberikan preferensi otomatis berdasarkan gender. Melainkan pada kedekatan emosional, kepentingan terbaik bagi anak, dan kemampuan ekonomi dan moral. Karena itu dalam praktik secara hukum/yudisial, kerap kali muncul beberapa hal sebagai berikut:

  • Laki-laki menang karena dianggap lebih stabil (ekonomi, sosial, publik figur).
  • Perempuan dihadapkan pada beban pembuktian moral yang lebih berat.

Dari sisi hukum formal, putusan terlihat netral dan berbasis pertimbangan psikologis anak, bukan berdasarkan jenis kelamin. Tetapi dari perspektif keadilan gender substansif terdapat potensi bias dalam cara peran keibuan.

Keputusan ini bisa memperkuat norma patriarkis jika tidak diimbangi perlindungan terhadap hak ibu untuk tetap hadir dalam kehidupan anak. Ketimpangan kuasa sosial-ekonomi dan media dapat mempengaruhi opini publik dan hakim, meskipun tidak tertulis dalam amar putusan.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memastikan agar keputusan terkait hak asuh anak mempertimbangkan peran ibu. Yakni, pertama, hak kunjungan ibu harus dijamin dan dipantau secara aktif oleh pengadilan.

Kedua, penilaian terhadap siapa yang “lebih dekat” dengan anak harus diikuti penilaian yang transparan dan inklusif. Termasuk harus mengedepankan analisis psikologis tentang kepentingan terbaik anak (the best interest of the children).

Khusus untuk hakim Peradilan Agama sudah berani menggunakan keterangan kesaksian ahli dari kalangan psikolog. Dengan begitu kesaksian saksi ahli dapat dijadikan pertimbangan yang kuat untuk menentukan pihak yang kompeten dalam pengasuhan anak.

Ketiga, perlu pelatihan bagi para aparat penegak hukum soal keadilan berbasis gender dan konstruksi sosial peran ayah-ibu.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email ke Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

(Editor: Anita Dhewy)

Foto: Instagram Baim Wong dan Paula Verhoeven

Danielle Johanna

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!