Alkisah, seorang remaja 13 tahun bernama Jamie Edward Miller (Owen Cooper) dituding menewaskan teman sebayanya, Katie Leonard (Emilia Holliday), di sekolah. Premis tersebut membuka ketegangan dalam serial film ‘Adolescence’ yang tayang di Netflix. Isu sosial yang diangkatnya begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari: fenomena incel, misogini, dan maskulinitas toksik dari dalam keluarga.
Cerita berawal pada suatu pagi, ketika polisi Luke Bascombe (Ashley Walters) menerima laporan dan diperintahkan untuk menangkap seorang terduga pelaku pembunuhan. Bersama pasukannya, Bascombe datang ke rumah Jamie sekitar pukul 6 pagi. Mereka mendobrak pintu rumah keluarga Miller untuk menangkap Jamie Edward Miller—yang ternyata adalah remaja laki-laki berusia 13 tahun. Jamie diduga telah melakukan pembunuhan terhadap teman sekolahnya, Kattie Leonard.
Dalam kronologinya, Jamie membunuh Kattie secara berulangkali menggunakan pisau dapur. Kejadian itu berlangsung pada malam sebelumnya, yakni pukul 22:13. Orang tua Jamie, Eddie Miller (Stephen Graham) dan Manda Miller (Christine Tremarco) berusaha meyakinkan pihak berwenang bahwa anak mereka tidak bersalah. Namun sebagai opsir, Bascombe menepis itu. Ia memperingatkan kedua orangtua Jamie untuk tidak menghalangi proses hukum. Sebaliknya, mereka dapat dituntut jika melakukan penghalangan terhadap proses penyelidikan.
Baca Juga: ‘Adolescence’ Menguak Betapa Sedikit yang Kita Tahu tentang Dunia Anak Laki-Laki
Akhirnya orang tua Jamie sepakat dan memberikan izin kepada Bascombe untuk membawa Jamie ke kantor polisi demi mendapatkan keterangan. Namun, sesampainya di kantor kepolisian, Jamie menangis dan menolak mengakui kesalahannya saat proses interogasi dimulai. Hal ini pun membuat Eddie memutuskan untuk menemani anaknya saat proses hukum berlangsung; yakni saat interogasi, penggeledahan, dan pemeriksaan kesehatan.
Pemeriksaan awal Jamie menyatakan bahwa dirinya sehat secara fisik maupun mental. Interogasi Bascombe dan DS Misha Frank (Faye Marsay) berfokus pada unggahan Jamie di media sosial Instagram. Dari bukti yang ditunjukkan, remaja itu pernah mengunggah foto dan komentar bernada seksual.
Pembahasan mengenai unggahan itu berlanjut dengan pertanyaan mengenai hubungan Jamie dengan penemuan tewasnya Katie Leonard. Eddie sontak membela anaknya, tapi tayangan video yang kemudian diputar Bascombe membuat sang ayah lantas diam karena terkejut. Dalam video tersebut, tampak Jamie melakukan penikaman sebanyak tujuh kali kepada Katie, teman sebayanya itu, di tempat parkir. Semakin sulit untuk membantah tindakan Jamie—begitu pula dengan misogini dan maskulinitas beracun yang terinternalisasi dan tumbuh dalam dirinya.
‘Adolescence’, Incel, dan Misogini Sejak Dini
Film ‘Adolescence’ bukan hanya mengungkapkan Jamie sebagai pembunuh Katie. Tetapi juga fenomena involuntary celibate (incel); istilah yang dilontarkan sendiri oleh Katie dalam suatu kesempatan sebelum Jamie membunuhnya. Incel adalah individu atau komunitas laki-laki yang tidak mendapatkan hak mereka atas hubungan seksual dan romansa, lantas menyalahkan perempuan atas keadaan tersebut.
Incel merupakan manifestasi radikalisme dan misogini dalam konstruksi gender. Istilah tersebut merujuk pada sekelompok laki-laki yang terpinggirkan secara seksual dan mengembangkan kebencian terhadap perempuan dan masyarakat atas hal itu. Di era digital hari-hari ini, fenomena ini kian mengkhawatirkan.
Menurut para ahli, fenomena incel berkaitan erat dengan dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks. Termasuk krisis identitas maskulin di era posmodernisme. Menurut seorang ahli, Michael Kimmel, krisis maskulinitas diperparah oleh faktor ekonomi dan perubahan gender. Ini mendorong munculnya komunitas incel. Mereka tidak hanay lahir dari frustrasi seksual, tetapi juga dari marginalisasi sosial yang dialami oleh lelaki muda dalam masyarakat yang tidak menentu.
Dampak dari fenomena ini luas dan berkaitan dengan sejumlah kasus kekerasan dan serangan massal. Di Amerika Utara, misalnya, ada beberapa serangan yang dilakukan oleh komunitas incel. Sementara itu, pemerintah Eropa mulai berkonsentrasi untuk menanggapi ancaman ideologi incel sebagai bentuk ekstremisme.
Baca Juga: Laki-laki Gen Z, Beneran ‘Woke’ atau Hanya Pura-Pura? ‘Kenalan’ dengan Performative Male
Bersamaan dengan itu, fenomena tersebut juga memperburuk ketidaksetaraan gender dan memperkuat stereotipe negatif tentang perempuan. Narasi incel menggambarkan perempuan sebagai entitas yang mementingkan penampilan fisik dan kekayaan materi semata. Bagi mereka, perempuan adalah objek yang bisa dan patut disalahkan atas kegagalan heteroseksual.
Incel menjelma jadi identitas kolektif berbasis frustrasi seksual yang disebabkan oleh kegagalan struktural. Mereka meyakini bahwa dunia tidak adil kepada laki-laki biasa yang tidak menarik secara fisik. Incel pun berkembang menjadi subkultur di dunia digital, dengan pandangan hidup yang misoginis. Mereka mengglorifikasi kebencian dan kekerasan terhadap perempuan, serta membenci feminisme.
Menurut keyakinan mereka, incel melihat perempuan sebagai pihak yang bersalah dan bertanggungjawab atas berbagai sentimen negatif yang mereka rasakan. Seperti isolasi, penolakan, dan kegagalan maskulinitas sebagai laki-laki.
Pandangan itu pun menjadi manifestasi para incel untuk melakukan tindak kejahatan berbasis kebencian, yang juga dilakukan Jamie dalam serial ‘Adolescence’. Ia dipengaruhi manosfer—sebuah subkultur di internet yang mempromosikan maskulinitas beracun. Tumbuh dengan perasaan terisolasi, ditambah Katie yang menolaknya, mendorong Jamie untuk melakukan pembunuhan.
Keterlibatan generasi Z (gen Z) dan milenial dalam fenomena incel juga menunjukkan adanya kekosongan dalam pendidikan tentang gender dan hubungan interpersonal yang sehat. Sistem pendidikan, baik yang formal maupun informal, kerap gagal dalam menyediakan pemahaman mendalam tentang dinamika gender dan seksualitas. Hal tersebut pun membuka ruang bagi narasi radikal untuk mengambilalih dan membentuk pandangan generasi muda terhadap perempuan belakangan ini.
Baca Juga: Male Loneliness Epidemic: Banyak Laki-laki Kesepian, Jangan Salahkan Perempuan Sebagai Penyebabnya
Menurut perspektif psikologis, keterlibatan dalam komunitas incel juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari krisis identitas yang dihadapi oleh laki-laki muda. Ketika peran gender yang tradisional mulai dipertanyakan dalam masyarakat yang makin egaliter dan inklusif, para lelaki yang mengadopsi maskulinitas beracun pun merasa ‘kehilangan’. Di sisi lain, kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap norma maskulinitas.
Pada dasarnya, persoalan peminggiran yang dialami oleh komunitas incel adalah hasil dari titik temu berbagai faktor. Termasuk dinamika ekonomi, sosial, dan politik. Marginalisasi dalam konteks konstruksi gender diartikulasikan dalam narasi ketidakberdayaan. Inilah yang sering kali mereka manifestasikan dalam bentuk kebencian terstruktur dan subversif.
Komunitas incel pun menempatkan diri sebagai korban—yang tidak sepenuhnya keliru, kecuali bahwa kemudian perempuanlah yang dijadikan ‘pelaku kesalahan’. Kebencian mereka mengarah pada penolakan terhadap norma sosial yang dominan dan dianggap menindas. Ekspresi radikal muncul, selain sebagai manifestasi frustasi, juga sebagai cara mengkompensasi perasaan tidak mampu memenuhi norma gender yang diharapkan.
Baca Juga: Film ‘Barbie’ Disebut Film Klasik ‘Bimbo Feminis’, Apa Itu?
Teori maskulinitas hegemonik yang dikemukakan oleh Raewyn Connell dalam analisis fenomena incel berfungsi sebagai kerangka teoritis (Wedgwood, Connell, & Wood, 2022). Fungsinya mengungkap kegagalan individu untuk mencapai norma-norma maskulinitas dominan. Menurutnya, hal itu bisa menciptakan ketidakpuasan relasional yang signifikan.
Sementara itu, ketidakpuasan tersebut dijelaskan oleh Thomas Joiner melalui teori ketidakpuasan relasional yang signifikan. Menurutnya, perasaan tidak puas muncul dari ketidakmampuan membangun hubungan interpersonal yang diinginkan. Hal itu kemudian mendorong anggota komunitas incel untuk mencari pelampiasan melalui ekspresi radikal;
Fenomena tersebut juga membongkar soal radikalisme di internet bagi kalangan remaja. Sebab radikalisme tidak terbatas pada isu terorisme semata; ia juga bisa berbentuk kebencian berbasis gender yang berujung pada tindak kejahatan.
Pola Asuh Keluarga: Tidak ‘Jahat’, Tapi Ternyata Beracun
Film ‘Adolescence’ juga memancing kontemplasi serius terhadap pola asuh keluarga masa kini. Di rumah, Jamie kerap dekat dengan ayahnya, yang mengharapkan anaknya dapat menjadi laki-laki maskulin, jago bermain sepak bola, atau tinju. Namun hal tersebut justru bukan hobi Jamie. Remaja itu lebih gemar menggambar. Alhasil, saat sedang di luar rumah, ia menjadi anak pendiam.
Kondisi itu dihadapinya hingga Jamie beranjak umur belasan tahun; ia belum mampu mengelola emosinya dengan baik. Di tengah kekalutannya, ia pun menemukan manosphere, sebutan untuk sebuah forum daring sebagai wadah interaksi pemikiran misoginis dan maskulin-beracun terhadap perempuan. Jamie malah merasa memiliki teman senasib di forum tersebut. Secara tidak langsung, Jamie merasa akhirnya mendapatkan ruang untuk diterima secara lebih apa adanya di sana ketimbang dalam keluarganya sendiri dan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Yang membuat kisah Jamie begitu menyakitkan adalah kenyataan bahwa keluarganya tidak ‘jahat’. Namun, mereka hidup dalam kerangka budaya ketika laki-laki dibesarkan dengan batas emosional yang sempit. Ayahnya mencintai Jamie, tetapi mengekspresikan cinta dengan cara-cara yang kaku: menasihati agar “tegar”, mendorong untuk “lebih berani”, bukan mendengarkan rasa takutnya. Sementara ibunya berusaha memahami, tapi tidak menyadari bahwa anaknya memerlukan ruang untuk gagal tanpa dihakimi.
Baca Juga: Dear Fadli Zon, Perkosaan Massal Mei 1998 Itu Nyata, Kami Perempuan Muda Tolak Sejarah yang Misoginis
Inilah bentuk maskulinitas toksik yang paling halus. Bukan lewat kekerasan, melainkan dari ketidakmampuan untuk hadir secara emosional. Di meja makan, Jamie diajari disiplin, bukan empati. Dalam percakapan keluarga, ia belajar bahwa perasaan adalah kelemahan. Maka ketika dunia luar menolaknya, ia tidak tahu bagaimana memproses rasa sakit itu selain dengan menarik diri. Di ruang kamarnya, komputer menjadi satu-satunya teman yang mendengar.
Ketika tekanan di sekolah—dari ejekan teman, penolakan perempuan, hingga standar kejantanan yang tak terjangkau—bertemu dengan ajaran-ajaran manosphere, lahirlah ledakan identitas. Jamie mulai melihat dunia melalui kacamata curiga. Baginya, perempuan adalah musuh, cinta adalah kompetisi, dan dunia berutang pengakuan padanya.
‘Adolescence’ menggambarkan fase ini dengan halus tapi tajam. Tidak ada satu momen besar yang “mengubah” Jamie. Justru akumulasi kecil dari kesepian, rasa malu, dan narasi digital yang mengarahkan pikirannya menuju jurang. Ia tidak menjadi pelaku kebencian karena benci, tetapi karena ia merasa tak punya tempat di dunia yang terus-menerus menertawakan kelemahannya.
Sementara itu, serial ini tidak memberi solusi mudah. Ia sesungguhnya memberi cermin; mengingatkan bahwa pencegahan radikalisasi gender bukan semata urusan algoritma. Melainkan pendidikan emosional. Bahwa ayah yang memeluk anak laki-lakinya saat ia gagal, ibu yang tidak menertawakan air matanya, dan sekolah yang mengajarkan empati, adalah bentuk perlawanan paling efektif terhadap budaya kebencian.
Jamie Miller menjadi simbol dari remaja yang tumbuh di antara cinta dan jarak, di antara keluarga yang baik tapi bisu, dan dunia digital yang fasih tapi dingin. Serial ini menuntun kita untuk bertanya: di berapa banyak rumah, di berapa banyak layar, sedang tumbuh Jamie-Jamie lain yang belum ditemukan?
(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)
(sumber foto: Netflix)






