Belakangan, isu soal pesantren ramai diperbincangkan. Ini terjadi setelah rentetan kejadian yang menyangkut pesantren menjadi diskursus, yaitu soal kekerasan seksual, feodalisme yang terjadi di pesantren serta ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny.
Banyak yang menyebut, ketika ada kekerasan seksual disana, masih sedikit yang bersuara. Namun di satu sisi juga ada pelanggengan feodalisme di pesantren. Ketiga peristiwa itu bisa dilihat secara kritis, yaitu terdapatnya simbol-simbol penghormatan hierarkis, pengkultusan, dan pengabaian kritik. Relasi kuasa yang timbul tidak lagi bersifat dialogis, tapi penuh subordinasi. Di sini, pembelaan akhirnya tidak hanya terjadi pada nilai-nilai (value), tapi juga pada figur atau ketokohan.
Kita bisa melihat misalnya, saat tagar #BoikotTrans7 ramai di media sosial. Ini terjadi sebagai “respons kemarahan” dari tayangan di program Xpose Uncensored Trans7 pada Senin, 13 Oktober 2025. Dalam tayangan itu, pengisi suara mengomentari sejumlah video dan gambar santri yang menyalami kiai sembari berjalan berjongkok hingga menerima amplop.
“Ini bukan tentang mengkritik, ini sudah menciderai marwah pesantren, hoax dan pencemaran nama baik ulama,” begitulah salah satu kalimat yang terpampang dalam poster seruan boikot itu.
Tak hanya di media sosial, ratusan santri pesantren kemudian melakukan aksi di halaman gedung Transmedia, Jakarta, dua hari setelahnya. Tayangan Trans7 dinilai menghina dan melecehkan kiai dan ulama.
Baca Juga: Pengkultusan di Pesantren, Jadi Belenggu Korban Laporkan Kekerasan Seksual
Produksi konten media Trans7 itu, bisa kita uji dengan kode etik dalam siaran. Ini ada mekanisme yang ditempuh dengan melaporkannya ke lembaga yang berwenang pada tayangan TV, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
Namun, hal yang jadi sorotan juga kemudian, adalah orasi dari Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor Jakarta, Ainul Yakin, yang mengancam menggorok leher pegawai Trans7. Diketahui, GP Ansor adalah sayap organisasi dari Nahdhatul Ulama (NU).
“Jangan sampai kader-kader Banser (Barisan Serbaguna Ansor) menggorok leher kalian, seperti kader Banser menggorok PKI. Halal darah kalian apabila mengolok-olok ulama NU,” ujar Ainul yang videonya beredar di berbagai pemberitaan.
Di tengah situasi itu, video-video pernyataan tokoh agama, pejabat publik, hingga anggota Dewan pun bermunculan. Mereka senada menyerukan narasi yang mendukung boikot Trans7. Namun tak sedikit juga yang memberikan pernyataan melawan arus seperti auto kritik terhadap pesantren, salah satunya Yuniyanti Chuzaifah.
Yuniyanti merupakan aktivis perempuan yang puluhan tahun berkecimpung dalam kerja-kerja intelektual dan aktivisme yang termasuk bersinggungan dengan keislaman dan perdamaian. Lebih dari 30 tahun dia beraktivisme mulai dari Gerakan Perempuan, Solidaritas Perempuan, lalu Search for Common Ground untuk merintis Women Peace Network, juga mendampingi AMAN, Asian Moslem Network, sebagai executive board serta menjadi Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014.
Perempuan kelahiran Wonogiri Jawa Tengah itu, mengenyam pendidikan formal pertamanya di Madrasah Ibtidaiyah setempat. Ia kemudian nyantri di Pesantren Pabelan, Magelang, untuk jenjang SMP-SMA-nya sebelum berkuliah di ADU: Asian Development University. Setahun kemudian, ia belajar di Jurusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jenjang Strata 2 dan Strata 3-nya kemudian ia tempuh masing-masing di Leiden dan Amsterdam.
Baca juga: Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya
Dalam tulisannya di media sosial Facebook pribadinya pada Senin (20/10), Yuniyanti sempat menyinggung soal keresahannya sejak lama tentang feodalisme di kalangan tokoh agama, apapun sandangan/panggilannya. Dalam forum-forum puluhan “tokoh” nasional dia merekomendasikan de-elitisasi peran tokoh agama.
“Selama bekerja di isu HAM-perempuan, menyaksikan langsung gimana impunitas tokoh-tokoh agama sebagai pelaku kekerasan seksual, para pendamping dan korban diteror oleh para pemujanya bahkan ancaman teror magic/metafakta. Para predator berlindung di balik sandangan ketokohan agamanya. Dari guru ngaji hingga kiai. Pedofilia bahkan hampir impun (kebal) karena sandangan syekh,” tulis Yuniyanti Chuzaifah.
Selain isu kekerasan seksual, ia juga menyinggung soal elitisasi tokoh agama hingga tertutupnya ruang kritis.
Saat Yuni bersuara itu, perbincangan soal pesantren tak hanya riuh soal tagar #BoikotTrans7, namun juga kemarahan publik soal ponpes Al Khoziny yang ambruk dengan korban 67 anak-anak tanpa pertanggung jawaban hingga pernyataan publik Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang bilang media membesar-besarkan kekerasan seksual di pesantren.
Jurnalis Konde.co, Nurul Nur Azizah, berbincang dengan Yuniyanti Chuzaifah, tentang situasi terkait pesantren dan apa yang sebenarnya terjadi disana, pada Selasa (21/10). Perbincangan ini sekaligus untuk memperingati Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober 2025. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat fenomena terkait pesantren yang terjadi belakangan ini? Trigger apa yang membuat Anda turut bersuara soal pesantren?
Publik yang kritis kan marah ya, ada impunitas di pesantren yang selama ini seolah dilazimkan. Impunitas ini terjadi, misalnya saat ada kematian segini banyak santri (ambruknya Ponpes Al Khoziny –red), tapi pertanggung jawaban legalnya tidak dikedepankan. Solusinya, malah solusi spiritual soal ini takdir. Orang juga marah karena akumulasi dari kemarahan kepada para elit tokoh agama, mau itu Kiai mau itu Syekh, atau apapun. Marahnya soal kekerasan seksual di banyak tempat yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh agama yang menggunakan kuasanya menjadi impunitas (kebal dari peradilan). Bahkan, mereka misalnya di-backup oleh para pemuja-pemujanya, di-backup oleh para orang-orang yang punya kuasa di lingkarannya. Menurut aku, ini ada problem. Orang sibuk menjaga figur atau person dibanding menjaga value atau nilai (melawan kekerasan–red).
Jadi menurut aku itu masalah. Karena memang harus diakui, di dunia pesantren apalagi di kultur masyarakat yang masih bergantung pada tokoh agama, peran tokoh agama sebagai tempat bergantung bagi banyak kalangan. Orang merasa berhutang ilmu, apalagi bagi masyarakat miskin yang anaknya gak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan (formal di sekolah–red). Masuk ke pesantren dengan harga yang murah untuk sekolah di sana. Belum lagi, soal kebergantungan spiritual. Ada pula, konstruksi bahwa dalam pesantren itu, tokoh agama itu adalah wali Tuhan di muka bumi. Jadi feodalisme itu, banyak dikokohkan dengan pandangan-pandangan spiritual. Kenapa kemarahan dari pihak yang kritis juga tinggi, karena ada orang-orang yang bersetia, tapi bersetia yang irasional.
Memang kompleks ya bicara soal feodalisme di pesantren. Ini bisa diulas dari penghormatan berlebihan hingga munculnya narasi eksploitasi anak-anak sebagai tradisi yang diromantisasi sebagai “ngalap barokah” (mencari keberkahan) kiai. Bagaimana menurut Anda?
Memang tipis ya (eksploitasi vs tradisi gotong royong/mencari keberkahan –red). Jadi di pesantren ini kalau kita lihat memang ada pesantren yang kaya, tapi juga ada pesantren yang terbatas sumber dayanya. Itu misalnya tampak pada murid di pesantren itu yang enggak banyak, jadi Kiai juga tidak sedikit yang memiliki kerumitan mencari sumber dana. Sehingga terkadang, mereka mencari sumber pendanaan berasal dari santrinya sendiri, kadang bahkan menggunakan santri sebagai political atau spiritual trafficker: Para Kiai mencari dana saat pemilu, dia bisa “menjual” (dalam tanda kutip), menjual untuk konsesi-konsesi supaya mendapatkan dana untuk santrinya.
Nah, di tengah situasi yang kadang rumit seperti ini, para santri apalagi santri yang berasal dari keluarga miskin, santri yang mungkin dalam tradisi yang orang tuanya enggak kritis, itu sering dikemas bahwa ini (kerja-kerja seperti jadi kuli bangunan dll) adalah bentuk kesukarelawanan (volunteerism) untuk mendukung dan mempertahankan pesantren. Dalam dunia spiritual itu dianggap mencari keberkahan tadi. Dalam dunia masyarakat kritis, itu padahal sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak-anak.
Kayak dulu misalnya aku waktu kecil, juga pernah berpengalaman mengalami kerja-kerja yang dianggap “volunteerism” itu. Kami bersekolah di madrasah yang sedang dibangun, sekolahnya sederhana sekali, tiap hari kami usung wedi (mengangkut pasir) dari sungai. Ini dilakukan agar bangunan itu ada. Dan kami saat itu bangga betul, karena kami turut membangun secara volunteerism. Tapi yang jadi masalah, ketika pesantren itu sebenarnya punya sumber daya dan mampu membangun dengan tenaga ahli dan tukang, tapi malah memanfaatkan santrinya, itu yang jadi masalah. Belum lagi, kalau sampai merusak bahkan merenggut waktu santri yang harusnya dia belajar. Belum lagi masalah terkait kerja atas nama volunteerism ini sampai mengabaikan faktor keamanan (safety) santri.
Baca Juga: Pelajaran Dari Ambruknya Pesantren Al Khoziny, Bagaimana Pertanggungjawaban Hukumnya?
Ini memang hidup seperti pola hidup tradisional (tradisi-red) yang mengatasnamakan spiritualitas yang dilakukan di pesantren. Namun harusnya Kiai-Kiai juga paham soal apa itu Rights (hak-hak anak). Bagaimana mestinya santri itu berhak mendapatkan pendidikan layak, jaminan keamanan, jaminan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi termasuk yang mengatasnamakan “pengabdian” di pesantren tadi.
Kalau kita tarik mundur, mengapa feodalisme spiritualistik ini juga kokoh, adalah karena adanya kebergantungan masyarakat ini yang semakin banyak bergantung pada figur. Mereka bergantung secara ekonomi maupun spiritual kepada pesantren dan tokoh agama. Ini bisa terjadi karena misalnya orang tua merasa tidak percaya diri (insecure) dengan derasnya tantangan kehidupan saat ini: ketika anak-anak ada dalam pergaulan yang berisiko narkoba, anak bermain gadget terus, dll.
Menguatnya ketidakpercaya dirian orang tua ini, menjadikan pesantren seolah menjadi tumpuan untuk menjalankan fungsi pendidikan anak. Diharapkan anak mereka aman (secure) dari berbagai persolan sosial yang selama ini menganga terjadi di depan mata. Tetapi yang terjadi justru banyak sebaliknya, pesantren yang melanggengkan feodalisme tadi, anak-anak justru dikungkung “tertutup” dengan isu sosial dan dihadapkan dengan berbagai persoalan seperti kekerasan seksual misalnya. Ini turut disebabkan karena relasi santri itu seperti “penghambaan” gitu. Penghambaan secara kultural dan ada juga figur tokoh agama ini yang melakukan politisasi agama untuk kepentingan kuasanya. Baik kuasa sosial, kuasa spiritual, hingga kuasa ekonomi yang sebelumnya didapat karena menjadi tumpuan tadi. Nah, itu yang menurutku jadi masalah. Terlepas bahwa tidak sedikit para tokoh-tokoh agama atau Kiai-Kiai yang sebetulnya juga ada yang sudah sangat maju cara berpikirnya dengan memahami Hak Asasi dan bisa membangun pendidikan pesantren yang bagus itu juga tidak sedikit.
Feodalisme di pesantren juga membuat pesantren itu seperti “tertutup” dengan kritik dan tidak peka terhadap isu sosial. Feodalisme patriarkis melanggengkan kekerasan seksual di pesantren yang berdampak mayoritas ke perempuan. Siapa yang diuntungkan? Bagaimana ini terus dilanggengkan?
Ya tentu tokoh agamanya. Kiainya atau pemimpinnya yang diuntungkan secara sosial. Feodalisme di pesantren tadi membangun konsep kepatuhan, bahkan dulu aku ingat saat jadi santri bahwa di pesantren itu, kalau kita tidak patuh pada Kiai, kita didoktrin hidupnya tidak akan bahagia ke depan, masa depan kita tidak akan baik jika menentang Kiai. Itu terkonstruksi, walaupun itu tidak dari Kiainya langsung, tapi dari kultur yang ada di pesantren yang didesas-desuskan antar kita sendiri itu sering terjadi.
Itu menurutku gini, pesantren jadi seperti metamorfosis dari “pola kerajaan” tapi yang dibalut agama. Jadi kultur nyembah-nyembah yang berlebihan, pengkultusan yang berlebihan, kebergantungan yang juga berlebihan, bahkan Kiai-Kiai sendiri juga diletakkan sebagai manusia yang serba bisa. Kayak misalnya, sebenarnya aku anaknya tokoh agama lokal yang bukan Kiai (besar), tapi ekspektasi masyarakat itu kadang juga berlebihan. Bukan hanya mereka ingin dapat ilmu, tapi melanggengkan penghormatan (yang berlebihan) juga. Kadang Kiai itu dianggap sebagai tokoh agama, yang juga sebagai tumpuan ekonomi. Aku ingat di rumahku, orang lalu-lalang minta tolong (bantuan ekonomi–red), padahal secara ekonomi kami biasa-biasa aja. Jadi orang persepsinya bukan karena secara objektif ada kelimpahan ekonomi, tapi karena ya udah banyak pengajuan bantuan dari proposal masjid sampai ke orang sakit, itu soal kebergantungan ekonomi.
Baca Juga: Menag Sebut Media ‘Membesar-Besarkan’ Kekerasan Seksual di Pesantren: Mencederai Korban, Meremehkan Kerja Jurnalisme
Ada pula kebergantungan spiritual, yang dianggap bahwa Kiai-Kiai itu karena dianggap shalih, dekat dengan Tuhan, makanya jalurnya adalah jalur fast track. Belum lagi soal kiai ini juga dianggap sebagai orang spiritual yang dikaitkan dengan kebergantungan untuk kesehatan, di tengah sulitnya layanan kesehatan yang mahal. Nah, doa-doa, mantra-mantra dari para Kiai, lagi-lagi bisa jadi sugesti atau dianggap bisa jadi memang punya “kekuatan spiritual” menjadikan banyak orang memiliki kebergantungan kepada Kiai-Kiai. Dikarenakan seluruh kapital: kapital ekonomi, kapital sosial, kapital politik, apalagi kapital spiritual, ada di dalam sosok-sosok itu, maka pengkultusannya terjadi.
Itu ditambah kondisi sosial, politik, ekonomi kita, yang rakyat itu semakin powerless. Jadi mereka, kalau istilahnya Karl Marx itu kan, ada kesadaran semu gitu yang menganggap bahwa semua bisa diselesaikan oleh tokoh agama. Dan itu bagi para tokoh agamanya, juga bukan hal sederhana, dia kadang juga harus melayani situasi seperti ini, menjadi problem solver semua persoalan: Ada isu kekerasan, isu kesehatan, hingga konflik keluarga mereka ke sana (Kiai). Aku menyaksikan sendiri, kayak mereka (Kiai dan Ibu Nyai di Ponpes) sering pening banget karena tiba-tiba tamunya banyak, kadang sampe malem, Kiai-kiai juga kenapa kadang juga mudah sakit-sakitan, karena sampe larut gitu, masih tamu hilir mudik gitu ya.
Kebergantungan pada tokoh agama yang juga turut melanggengkan feodalisme di pesantren ini, berarti juga disebabkan oleh gagalnya negara melindungi hak-hak masyarakatnya ya?
Iya, iya, iya, dan derasnya tantangan dan dinamika global yang belum diantisipasi oleh negara. Oleh karena itu, pesantren jadi akhirnya membeludak santrinya, Sehingga tidak siap infrastrukturnya, dibangun dengan asal-asalan, atau bisa jadi ada atau gak ada dananya, mereka menggunakan santrinya untuk misalnya jadi tukang tadi. Karena kalau dia ada dananya kenapa juga gak mempekerjakan ahli profesional? Nah, kita perlu cek soal dimensi finansial ini, karena situasinya ada pesantren-pesantren kan atas nama volunteerisme gak ada audit-audit finansial. Meskipun, tidak sedikit pula, pesantren-pesantren yang juga mulai keuangannya itu dipegang oleh satu mekanisme yang lebih modern, lebih terkelola.
Bentuk feodalisme di pesantren juga banyak disebut berupa penghormatan yang berlebihan dan ada ketimpangan kuasa dari Kiai dengan santri. Menurut Anda, seperti apa penghormatan yang substantif?
Kalau aku memaknai, masing-masing orang memang punya cara berekspresinya. Ini berimplikasi pada perbedaan juga cara mereka menunjukkan penghormatan. Tapi yang terpenting, kalau ekspresi penghormatan itu mengukuhkan satu relasi asimetris yang membuat salah satu pihak menjadi powerless, rendah, tidak berdaya itu yang menurut aku perlu disoal. Misalnya penghormatan dengan cium tangan (terhadap guru–red), kalau ya untuk penghormatan, mungkin masih bisa kita anggap itu lazim. Tetapi kalau aku, misalnya penghormatan dengan cium tangan pada orang yang berpotensi membuat relasi kuasa menjadi bermasalah, aku memilih tidak cium tangan kepada orang-orang tersebut. Aku tidak akan cium tangan kepada pejabat, aku tidak akan cium tangan kepada misalnya tokoh agama. Tetapi aku bisa jadi, cium tangannya justru pada orang tua yang sudah renta, perempuan, aktivis yang sudah sepuh (tua) banget gitu, itu bisa jadi aku memeluk, menunduk dalam hati, merangkul, itu bisa aja gitu. Ini kan simbol dan cara berekspresi.
Hal yang penting kita cek dari diri manusia kita sendiri, adalah seberapa jauh kita sebetulnya kita “menghambakan diri” dalam cara mengekspresikan penghormatan tadi. Seberapa jauh kita juga kemudian kritis terhadap tradisi simbol-simbol, cara berekspresi. Itu kan produk dari satu tradisi. Bisa jadi kita mengukuhkan tradisi-tradisi, yang sebetulnya dulu produk dari relasi-relasi feodalisme itu.
Bagaimana pendapat Anda terkait pernyataan pejabat publik atau tokoh agama yang nirempati dan melumpuhkan nalar kritis dalam perbincangan soal pesantren belakangan ini? Misalnya pada ambruknya ponpes dibilang takdir dan tak ada pertanggung jawaban malah dibangun lagi pakai APBN hingga soal statement Menag soal kekerasan seksual.
Itu kan yang membuat publik yang kritis tadi marah. Soal pesantren yang ambruk itu aku memang belum terlalu menyikapi itu, tetapi sejauh yang aku tahu, bahwa pertanggung jawaban legalnya kemana? Kalau di dalam Human Rights, itu kan pelanggaran HAM itu bisa dengan by commission (melalui tindakan aktif) atau by omission (melalui kelalaian atau pembiaran). Keteledoran, yang berdampak pada kehilangan nyawa itu persoalan kalau dalam Human Rights gitu ya jadi mestinya disoal di dua level. Level pertanggung jawaban legal dan moral. Sama kalau di dalam hak asasi itu kan ada hak atas kebenaran, penjelasan kenapa itu terjadi, hak atas keadilan, proses legal soal hak atas pemulihan bagi para korban serta hak ketidak berulangan. Walaupun penting betul diinvestigasi akarnya itu apa sih, apakah memang tadi itu karena murid yang membeludak atau karena apa.
Sementara soal pernyataan pejabat, aku lihat ada tren sekarang ini, ada kecintaan untuk “melindungi” tokoh-tokoh, kecintaan untuk “melindungi” organisasi, kecintaan untuk “melindungi” keluarga, itu meruntuhkan spirit moral untuk independen, imparsial (tidak memihak salah satu), dan tidak mengutamakan pembelaan pada value. Namun lebih kepada figur. Ini yang harus kita kritisi termasuk apa motif di baliknya.
Sebenarnya langkah dan upaya apa yang bisa dimulai untuk deelitisasi tokoh agama seperti usulan Anda? Juga bagaimana agar pesantren tidak terkungkung dan tertutup dengan kritik dan isu sosial?
Yang pertama, mental para pemimpin agama sendiri harus berubah. Mereka juga harus tahu soal hak asasi kayak apa. Tidak apa-apa menerapkan pendidikan tradisional, tapi pendidikan tradisional yang transformatif. Itu menurutku mulai penting menjadi bahan diskusi, kenapa hak asasi penting. Sebenarnya untuk tadi itu memastikan pesantren-pesantren itu harus punya prinsip hak atas rasa aman. Baik aman soal infrastruktur fisiknya maupun kulturnya. Misalnya, bebas dari kekerasaan seksual, bebas dari eksploitasi, bebas dari rasa takut karena ancaman-ancaman spiritual. Jadi dari Kiainya dan tradisi pesantrennya, pada hal-hal yang bagus dipertahankan, hal yang gak bagus perlu direformasi.
Kedua, kita sebagai umat, masyarakat itu hormat tidak apa-apa, tapi hormat itu berbeda dengan penghambaan. Kita kadang ada kecenderungan membiarkan penghambaan itu yang berlebih (pengkultusan). Saya inget banget, ada tokoh-tokoh yang bilang bahwa saya itu lebih senang waktu itu di Komnas Perempuan, karena tidak ada orang yang cium tangan. Ada loh tokoh-tokoh agama yang dia sudah reformis, tapi umat sekitarnya gak ada perubahan. Mereka masih hobi cium-cium tangan Kiainya, gak kritis, bela-bela yang dibela bukan value-nya tapi membela person-nya. Padahal, person tersebut salah.
Baca juga: Santriwati Alami Pelecehan Seksual Oleh Pimpinan Pondok Pesantren dan Diintimidasi Saat Lapor Kasusnya
Ketiga, di kalangan para birokrat sendiri di aparatus negara. Pesantren itu kan punya peran penting di zaman kolonial dengan melakukan upaya-upaya resistensi dan perlawanan terhadap kolonialisme. Jadi mereka memang berperan. Kenapa banyak pesantren yang waktu Indonesia sudah merdeka pun, tidak mau “berada dalam naungan” pemerintahan, karena mereka merasa ingin independen. Ini makanya, bagaimana negara ini tetap harus menghargai independensi pesantren jangan melakukan intervensi terlalu berlebih, jangan melakukan homogenisasi sistem. Meski begitu, di satu sisi, pesantren juga perlu menjadi transparan untuk menjadi lembaga pendidikan yang optimal.
Jangan yang terjadi dengan pendanaan pesantren kemana-mana itu, juga menurut aku mungkin pada pesantren-pesantren yang butuh yang miskin banget juga perlu, tapi distribusi perdanaan yang ada ini juga memungkinkan membuat dependensi (kebergantungan) pesantren secara finansial menumpulkan independensinya. Ini yang membuat potensi pesantren menjadi alat konsesi politik, yang tadi untuk mendulang suara, mendulang dukungan saling dukung-mendukung pejabat, segala macam.
Seberapa penting juga mendorong perspektif adil gender dalam pesantren ini?
Iya, termasuk misalnya kepekaan pada isu-isu seperti yang dilakukan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) kan sangat serius ya, untuk melakukan itu ke pesantren-pesantren. Sehingga memang soal keadilan gender itu kunci banget, karena orang tahu keadilan gender itu bukan ilmu belaka, tapi ini transformasi sikap, transformasi kesadaran baru yang justru melindungi Kiai dan pesantrennya.
Misalnya dalam konteks kekerasan seksual di pesantren, itu bukan isu individual tapi isu sosial. Kalau orang tahu soal punya kesadaran gender soal itu, sebetulnya bagian dari perlindungan bagi dunia pesantren dan aktor-aktornya.
Jika kita bicara soal gender role, dimana santri perempuan sering diminta membersihkan, membantu ke rumah kiai, itu merentankan mereka. Walau keluarga kiai yang baik-baik jumlahnya lebih banyak, tapi bisa memicu kerentanan. Bahkan ada kasus, pesantren dipakai untuk menitipkan isteri yang masih anak-anak, agar tidak dituduh mencerabut hak pendidikan anak. Kalau pas libur mingguan, dijemput untuk digauli. Tentu ini kasus- kasus pada pesantren tertentu. Tapi pesantren yang baik juga banyak.
Di tengah situasi itu, apa praktek baik dari pesantren-pesantren yang bisa kita jadikan pembelajaran?
Pesantren adalah rumah mula bagi pendidikan keindonesiaan, karena santrinya plural dalam konteks etnisitas hingga kelas sosial. Ia juga mengakarkan kultur hak asasi. Siapapun termasuk perempuan punya hak atas pendidikan terutama perempuan miskin, bisa sekolah karena jasa pesantren. Pesantren modern juga mengajarkan cara berfikir kritis. Bukan semata tentang fiqh, tapi metodologi dan melihat logika maupun argumen mengonstruksi dan memproduksi fatwa. Para nyai-nyai pesantren anggota KUPI khususnya, tidak hanya sibuk pada teks. Tapi mendengarkan umat, menjadikan pengalaman perempuan sebagai sumber fatwa. Mereka menjadikan pesantren sebagai crisis center hingga jadi ruang tempa keulamaan perempuan.
(Editor: Luviana Ariyanti)
(Sumber Gambar via Kupipedia)






