Seorang kawan mengirimkan link berita melalui pesan singkat di Instagram yang membuat saya sangat terkejut.
Baek Se Hee, penulis buku best seller “I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki” meninggal.
Buku itu baru saja saya review tiga pekan lalu dalam diskusi kelompok. Tak ada informasi apapun yang dimuat dalam artikel berita terkait penyebab kematiannya.
Sempat terpikir sejenak apakah mungkin Baek Se Hee bunuh diri? Mengingat kondisi mentalnya yang bisa saja mendorongnya melakukan hal tersebut. Namun karena ketiadaan informasi apapun, saya memilih untuk tidak mengembangkan persepsi itu. Jika sekalipun asumsi itu benar, saya tidak akan pernah menghakiminya. Seperti saya tidak pernah menghakimi siapapun yang telah melakukan hal tersebut sebelum-sebelumnya.
Saya rasa Baek Se Hee pun berprinsip demikian. Ia menunjukkan penghormatannya terhadap mereka yang memutuskan mengakhiri hidup saat mengatakan “Mustahil memahami sepenuhnya kesedihan mereka yang ditinggalkan. Tapi jika hidup memberi seseorang lebih banyak penderitaan daripada mati, bukankah seharusnya kita menghormati hak mereka untuk mengakhirinya? Kita begitu buruk dalam berduka, mungkin karena kita gagal menghormati. Beberapa orang menyebut mereka yang memilih kematian sendiri sebagai pendosa, pecundang, atau orang yang menyerah. Tapi benarkah hidup sampai akhir selalu berarti kemenangan? Seolah-olah dalam permainan hidup ini benar-benar ada yang menang dan yang kalah.”
Kalimat itulah yang membuat saya merasakan akhirnya menemukan belahan lain dari diri saya. Bahkan kini setelah lebih dari 10 hari sejak kematiannya, informasi pemakamannya pun tidak diumumkan secara publik.
Meski memiliki keingintahuan yang besar, penggemar harus tetap menghormati keputusan keluarga mendiang, menghormati kedukaan mereka.
Baca juga: Novel ‘Kim Ji Yeong Lahir 1982’ dan Delapan ‘Dosa’ Perempuan yang Dibebankan Patriarki
Usia Baek Se Hee masih sangat muda, 35 tahun, dan ia telah menciptakan karya yang mampu mengubah banyak orang. Bukunya diterjemahkan ke 25 bahasa di seluruh dunia dan di tahun pertama terbit di Korea Selatan terjual 600.000 kopi atau secara global mencapai angka 1 juta kopi di mana Korea Selatan, Jepang, Tiongkok dan Indonesia merupakan peminat terbesarnya.
Sebagai pembaca dua seri bukunya, kekosongan dengan cepat menyelimuti hati. Saya yang tadinya merasa seperti sedang berada di dalam ruang yang terang penuh cahaya, tiba-tiba meredup dengan sangat. Dunia sastra dan dunia saya kehilangan suara yang gemilang, kehilangan sosok inspiratif yang tak ternilai.
Saya memang tidak mengenal mendiang Baek Se Hee secara pribadi, namun saya merasa terhubung melalui karyanya di bukunya yang pertama dan kedua. Buku yang sama juga menghubungkan saya dengan member grup musik Bangtan Sonyeondan (BTS), khususnya RM dan kebiasaan baik membaca buku.
Saat mengetahui kabar kepergiannya, saya merasakan keterhubungan itu memudar dan lenyap dalam beberapa saat kemudian, dan menciptakan perasaan kesepian seperti kehilangan sahabat yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Di dalam kamar yang lebih sering terkunci sepanjang hari, tiga tahun lalu (November 2022), saya menggenggam buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki yang saya beli atas rekomendasi RM BTS. Hari-hari berlalu setelahnya, dan buku itu menemani saya dalam banyak situasi emosional yang naik turun seperti sebuah roller coaster.
Dalam masa-masa ketika ketidakpercayaan pada orang-orang dan lingkungan mulai tumbuh dan berkembang pesat, karya Baek Se Hee menjadi seorang kawan yang tidak menghakimi. Saya membacanya dalam sunyi, dalam ruang aman yang saya buat untuk diri sendiri. Tempat di mana tidak akan ada orang yang menyarankan saya menemui psikolog ataupun psikiater.
Baca juga: Dipilih Jadi Duta Kesehatan Mental, Sejumlah Anak Perempuan Diduga Malah Dieksploitasi
Saya ikut membuktikan kalimat Baek Se Hee yang berbunyi begini, “…Tapi buku-buku berbeda. Aku sering mencari buku yang seperti obat, yang cocok dengan situasiku dan pikiranku, lalu membacanya berulang-ulang sampai halamannya lusuh, menggarisbawahi setiap bagian, dan tetap saja buku itu punya sesuatu untuk diberikan padaku. Buku tidak pernah lelah padaku. Dan pada waktunya, mereka menawarkan solusi, diam-diam menunggu hingga aku benar-benar pulih. Itulah salah satu hal terindah tentang buku…”
Dan bukunya kemudian menjadi salah satu yang menemani saya pulih. Saat dunia terasa asing dan orang-orang menghakimi padahal tak saling kenal, karya Baek Se Hee menjadi ruang mengumpulkan keberanian dan menghilangkan perasaan keterasingan itu. Saya menemukan teman, menemukan pengetahuan, menemukan kepercayaan diri dari buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki. Saya masih ingat membaca bagian lain. Hal yang paling penting adalah perasaan senang dan gembira dari dalam diri Anda. Tidak peduli apa yang orang lain pikir atau katakan. Saya harap Anda bisa memenuhi keinginan diri Anda terlebih dahulu, tanpa memikirkan apa yang dilihat oleh orang lain dan penting sekali untuk terus mencari hal-hal dan cara lainnya yang bisa membuat Anda merasa nyaman dan bahagia.
Dua bagian tersebut menyadarkan saya bahwa selama ini saya terlalu banyak mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan saya. Sikap yang pada akhirnya membuat saya berada dalam kondisi terpaksa hanya agar orang lain merasa senang. Dari situ saya mulai belajar menempatkan diri dan perasaan saya pada prioritas tertinggi. Seperti yang dikatakan Baek Se Hee “Aku ingin menjadi pemilik hidupku sendiri. Aku ingin melakukan apa yang aku inginkan sehingga hidupku menjadi hidup yang tanpa penyesalan.
Baca juga: Puisi, Ruang Nyaman untuk Healing Kesehatan Mental
Secara perlahan, saya menyingkirkan orang-orang yang berada pada daftar utama yang selalu saya dahulukan. Saya ingin membahagiakan diri saya sendiri terlebih dahulu. Saya tidak ingin lagi mendahulukan orang lain hanya karena perasaan tidak enak atau takut membuat orang lain merasa marah dan kecewa.
Buku ini juga mengajarkan pembaca, khususnya saya, untuk mengakui kerapuhan, menerima kondisi diri sendiri, bahwa tidak apa-apa merasa sedih, marah dan merasa bingung; kita tetap layak dicintai. Kalimat-kalimatnya penuh pengakuan dan kejujuran yang mampu menembus dinding-dinding sunyi dalam diri saya.
Seperti katanya “Aku ingin mencintai dan dicintai. Aku ingin menemukan cara agar aku tidak menyakiti diriku sendiri. Aku ingin menjalani hidup di mana aku lebih sering berkata, ‘Semuanya baik-baik saja’ daripada, ‘Semuanya buruk’. (Dan) aku ingin terus gagal dan menemukan arah baru yang lebih baik. Aku ingin menikmati pasang surut perasaanku sebagai irama kehidupan. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa berjalan di tengah kegelapan yang luas dan menemukan secercah cahaya matahari yang bisa kunikmati lama. Suatu hari nanti, aku akan bisa.”
Saya tidak merasakan kesepian sedikitpun meski saat itu tengah menarik diri dari interaksi dengan manusia lainnya dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar sendirian.
Karya ini terasa dekat oleh banyak pembaca, terkhususnya saya karena isinya penuh dengan pengalaman-pengalaman keseharian yang mungkin juga dialami banyak orang. Mereka yang merasa baik-baik saja tapi sebenarnya tidak benar-benar bahagia. Baek Se Hee yang didiagnosis mengalami distimia—depresi ringan berkepanjangan—menuliskan pengalaman pribadinya melalui sesi-sesi konsultasi dengan psikiater. Menariknya, buku ini tidak berkesan menggurui pembaca terkait perasaan depresi yang menyiksa seseorang, melainkan penuh dengan kalimat-kalimat jujur dan mengalir melalui percakapan yang ringan namun penuh makna.
Baca juga: Klub Buku Sebagai Tempat Aman untuk Berdiskusi dan Berekspresi
Membaca I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki membuat saya merasakan berbagai warna emosi: kesadaran, kesedihan, kemarahan, kesenangan. Di satu sisi, saya seperti menjadi Baek Se Hee dalam buku tersebut yang datang dan menemui psikiater setiap minggunya untuk sesi konsultasi. Dari situ saya menemukan gambaran besar tentang bagaimana proses konseling dengan seorang psikiater. Situasi yang selama ini saya tolak untuk jalani karena tidak memiliki rasa percaya pada siapapun. Meski hingga sekarang belum menemukan alasan kuat untuk menjalani sesi seperti Baek Se Hee, namun buku tersebut berhasil membuat saya menumbuhkan perspektif positif terhadap psikiater.
Di lain waktu, saat membaca buku ini saya merasa seperti seseorang yang sedang bercakap-cakap dengan seorang teman yang benar-benar mendengarkan dengan penuh kesabaran. Seorang teman yang tidak akan menganggap saya mengalami gangguan mental hanya karena perubahan-perubahan yang terjadi pada diri saya. Seorang teman yang tidak pernah saya miliki.
Buku ini tidak memberikan solusi instan atas berbagai perasaan negatif saya selama ini, melainkan membuat saya menyelami dan memahami pikiran Baek Se Hee yang penuh keraguan, rasa takut, dan keinginan untuk dimengerti. Setelah jauh menyelam dalam kedalaman, saya menemukan koneksi antara perasaan Baek Se Hee dan perasaan saya.
Buku ini mengajarkan saya untuk memahami dan menerima kondisi saya, seburuk apapun. Buku ini pula mengajarkan saya untuk selalu menemukan alasan-alasan kecil untuk tetap hidup, seperti keinginan makan Tteokbokki.
Nasihat yang disampaikan oleh psikiater “Aku harap kamu mau mendengarkan suara kecil yang sering diabaikan di dalam dirimu. Karena hati manusia, bahkan ketika ingin mati, sering kali di saat yang sama juga ingin makan Tteokbokki,” masuk dan menetap di sudut lain dalam hatiku.
Baca juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965
Kini, penulis muda dan berbakat itu telah tiada. Ia telah memulai perjalanannya menuju kebahagiaan yang abadi, meninggalkan segala sakit yang melukainya, dan telah melukiskan banyak kenangan baik pada orang-orang yang mencintai serta mengaguminya. Ia memberikan kehidupan dan kesempatan untuk hidup bagi pembacanya melalui goresan kata-kata yang dalam dan jujur.
Keberanianmu dalam menulis menjadi warisan penting bagi para penyintas mental. Dan bahkan setelah kematiannya, Baek Se Hee tetap memberi kehidupan dengan mendonorkan lima organ tubuhnya untuk disumbangkan ke pasien-pasien yang membutuhkan. Tidak ada ucapan yang bisa saya sampaikan selain rasa terima kasih yang begitu luas kepadanya. Terima kasih karena sudah hidup dan menceritakan duniamu, terima kasih karena menyelamatkan saya dari kesunyian yang mematikan, terima kasih untuk setiap kata, ungkapan, dan kalimat menenangkan dalam Karyamu.
Tubuhmu boleh menyatu dengan alam semesta, namun jiwamu akan terus hidup di dalam buku-bukumu. Orang-orang akan terus mengenalmu, terus mengingatmu, dan mungkin akan menciptakan Baek Se Hee lainnya.
Terima kasih, selamat tinggal. Sampai bertemu di dunia di mana kita benar-benar bahagia.
Foto: IG @_baeksehee






