Lebaran, Melupakan Jalan Pulang

Menjelang Hari Lebaran banyak teman, karib, saudara bertanya “kapan pulang?”. Juga suami yang bertanya hal yang sama hampir setiap hari. Pulang di saat lebaran kali ini, bukanlah perkara mudah. Bukan soal ketiadaan biaya karena sudah tidak bekerja kantoran, tetapi karena ada hal besar yang membuatku sangat terguncang. 

*Bintang Timur- www.Konde.co

Masih tak percaya atas apa yang terjadi yang baru kuketahui Maret 2017 lalu:

Jika usai membaca tulisan Quraish Shlihab tentang memaafkan, tentang dosa, tentang cinta kasih, hati ini bergetar dan ingin melupakan cerita buruk yang selama ini berkelindan.

“Bagaimanapun ibuku tetap ibuku. Tak ada ganti dan tak akan terganti. Tak baik memendam marah berkepanjangan…,” demikian diri ini menasehati dirinya sendiri.

Namun, setiap melihat perempuan itu, kakak iparku dan kedua anaknya, tiap kali itu pula hati bergetar. Antara menahan rasa marah dan sedih yang teramat dalam. Marah kepada ibuku dan kakak lelakiku. Dan sedih. Mengapa mereka setega itu?

Suatu malam, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Kakak iparku, aku biasa memanggilnya mbak, datang ke rumah. Seperti biasa, ia pulang dari warung. Setiap tutup warung semua barang harus dibawa pulang. Karena, tempat yang kami sewa adalah teras ruko sebuah bank dan kami mulai berdagang setelah bank tutup, maka kami harus mengangkut semua barang mulai dari meja kursi, makanan dan semua perabot ketika hendak buka. Dan kami membawanya pulang kembali setelah dagangan habis.

Kami berdagang nasi uduk dan soto ayam, soto ceker. Memulai berdagang tepat 1 April 2017 lalu. Keputusan berjualan ini mendadak. Meskipun rencana sudah kurancang lama, sekitar setahun lalu. Namun, keinginan tak dapat dicegah. Ia menemukan caranya sendiri untuk mewujud. Dan, dengan linangan air mata (karena saat hari pertama hendak berjualan, hujan deras petir menggelegar. Jalananan banjir) keputusan berjualan tetap bulat. Kami memulainya.

Malam itu mbakku membisu. Wajahnya muram. Tak biasanya begitu. Setiap hari dalam kondisi apapun, entah dagangan habis atau tidak mbakku biasanya tetap ceria.

Jika tak habis dia akan bilang “Malam ini sepi. Pedagang martabak, ketoprak, bakso juga mengeluh sepi”.

Atau, “Ya, disyukuri. Alhamdulilah masih ada beberapa porsi lagi ..hehe”.

Namun, malam itu tidak. Aku sudah menduga tentang sebab murungnya. Karena, adikku yang biasa membantu mbakku bercerita singkat saat pulang dari warung. Bahwa kakak laki-lakinya yang juga kakakku alias suami mbakku itu datang ke warung.

Lalu perlahan kutanya tentang cerita adikku. Aku tahu mungkin berat. Tetapi dia tak pernah menunjukkan kesedihannya di depanku. Bahkan akulah orang yang selalu ia kuatkan saat kisah sedih hidupnya bermula. Malam itu mbakku yang duduk di lantai mencoba mencari sandaran. Dia memulai ceritanya.

Mbakku mulai bercerita:

Kakakku yang adalah suaminya, datang bersama kedua temannya ke warung sekitar pukul 22.00 WIB. Ia membawa mobil. Datang seperti orang tak bersalah ia memesan makan. Malam itu adalah pertemuan pertama setelah 2 bulan kakakku pergi tanpa seucap kata. Di waktu itu, kakakku hanya bilang ke mbakku itu: bahwa kini ia telah menikahi perempuan lain dan telah tinggal bersama di Tangerang. Saat itu kakakku itu bilang akan segera menceraikan mbakku.

Sore itu, aku menelepon bulekku, istri paman untuk suatu urusan. Dan dari dialah aku tahu tentang apa yang selama terjadi dengan mbak dan kakakku.

Ibuku banyak bercerita ke bulekku. Ibuku bercerita katanya anak lelakinya akan segera pulang untuk menikah, membawa istri baru. Pulang membawa mobil dan akan melunasi semua utang-utang kakakku juga ibuku. Selain itu akan mengumrohkan ibu bapakku, dan masih banyak lagi cerita yang kuanggap sore itu seperti petir di siang bolong.

Sambil mendengar cerita bu lekku aku menangis sesenggukan. Dadaku bergemuruh. Dan tiba-tiba ingin teriak sekerasnya.

Mbakku yang sore itu sedang di rumahku terdiam. Kulihat mukanya merah dan suaranya bergetar. Meminta maaf dan memintaku untuk tak marah.

“Bagaimana mungkin sampeyan diam tak bercerita ke aku mbak?” kataku saat itu sambil menahan sesak di dada.

Dia bilang tak berani bercerita karena dilarang dan diancam ibuku.

“Oh..”.

Dan…

Cerita mbakku malam itu. Ia menangis. Menitikkan air mata sambil menahan suara berat

“Aku tak kuat saat bertemu tadi,” katanya tentang pertemuan dengan suaminya di warung.

Suaminya yang hidup bersamanya selama 14 tahun tak mengatakan apa-apa. Mbakku hanya melihat mobil yang ia tahu milik perempuan yang sekarang menjadi istri suaminya.

Karena tak kuat, saat suami dan teman makan di warungnya, ia lalu pergi ke tukang martabak yang ada di seberang jalan. Ia bilang ingin numpang duduk sebentar.

“Kukatakan ke penjual martabak, seandainya aku pingsan tolong bantu aku ya mas ..” katanya.

Dan usai makan, mbakku menghitung uang makanan yang harus dibayar suami dan teman-temannya. Tak lama kemudian dia menutup warungnya.

Malam itu kulihat ia lemas. Kurasakan dan kubayangkan betapa berat bagi mbakku malam itu. Ini salah satu alasan mengapa aku tiba-tiba merasa perlu melupakan jalan pulang.

Setelah rentetan cerita tentang kepedihan antara aku, ibuku, dan kakak lelakiku yang sebelumnya masih bisa kumaafkan, kali ini sungguh teramat berat.

Kedua anaknya seperti anak ayam, kebingungan, marah uring-uringan tanpa sebab, dan hidup kakak iparku yang tiba-tiba seperti sampah yang dicampakkan. Yang membuatku lebih pedih, ibuku mengetahui semuanya. Menyuruh dan mengizinkan anak lelakinya berselingkuh, meninggalkan istrinya, dan mengizinkan anak lelakinya menikahi selingkuhannya.

Ibuku juga yang setiap hari mengirim pesan, menelepon mbakku supaya dia bersabar, baik, bersikap ramah dan halus kepada madunya.

“Itu sudah nasibnya. Tidak usah dibesar-besarkan” ujar ibu kepadaku saat kuminta dia untuk menjaga perasaan mbakku.

Aku ingin melupakan jalan pulang. Aku tak ingin kembali ke ibuku, aku tak ingin mengumpat juga memarahinya.  Aku pernah belajar ilmu agama, dan ingat hadis Rassulullah SAW yang berbunyi surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Biarlah kecamuk ini hilang dengan sendirinya. Dan waktu akan mengajarkanku untuk memaafkan dan melupakan. Kini, aku menjadi pendamping mbakku, menjadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Aku tak ingin mereka sendirian dan tercerai berai. Biarkah kukuatkan bahuku seraya menguatkan mbakku. Mendampingi keponakanku supaya mereka merasa nyaman dan tak kesepian.

Kini, aku benar-benar tak ingin pulang.

Warung nasi uduk, 12 Juni 2017

Bogor

*Bintang Timur, perempuan yang banyak melakukan pendampingan kepada para perempuan korban kekerasan.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!