*Nunu Pradya Lestari- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Tak mudah bagi Sabrina, Riska, Wafi, Naura dan Manda untuk terpilih menjadi pemimpin. Walaupun hanya diberikan waktu sehari saja, namun ini merupakan pengalaman berharga bagi mereka.
Bagaimana rasanya menjadi pemimpin sehari? Pastinya deg-degan.
Untuk menjadi pemimpin bukanlah mudah. Kelima anak perempuan ini harus melalui proses seleksi ketat oleh Plan Indonesia dan Youth Coalition for Girl. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tahun ini ditujukan untuk menyampaikan pesan ke publik bahwa anak perempuan juga bisa memimpin.
5 anak perempuan ini mengambil alih posisi Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Pimpinan Google Indonesia, dan dua pimpinan redaksi surat kabar di Indonesia selama 1 hari pada 9 Oktober 2019 di Jakarta.
Mereka menjadi peserta kegiatan #GirlsTakeover atau ‘Sehari Jadi Pemimpin’ yang digagas Plan Indonesia dalam rangka Hari Anak Perempuan Internasional.
Menurut Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti, tema ini sangat strategis untuk membangun opini publik yang positif tentang perempuan maupun pemimpin perempuan di media.
Sejak pendaftaran event ini dibuka, antusiasme anak perempuan Indonesia untuk menunjukkan potensi dirinya cukup besar. Hal ini terbukti dari banyaknya pendaftar dari seluruh Indonesia yang mengirimkan tulisan dan video tentang isu gender di media.
Salah satu peserta #GirlsTakeover, Sabrina (15 tahun) dari Blitar menggantikan posisi Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf. Dalam event workshop bertajuk “#JagaPrivasimu Untuk Perempuan Indonesia”, yang merupakan event kolaborasi antara Plan Indonesia dan Google Indonesia, Sabrina berkesempatan untuk memberikan edukasi singkat mengenai pentingnya menjaga privasi di media sosial.
“Yang pertama, jangan menggunakan satu kata sandi untuk berbagai akun. Kalo alasannya biar mudah diingat, ya jangan gitu, nanti kan mudah diretas,” tutur Sabrina bak CEO Google. Para undangan yang hadir dalam event tersebut menyambut dengan tepuk tangan.
Gagasan untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional pun mendapat apresiasi dari banyak pihak.
Ditemui media, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui peran sentral media untuk narasi yang positif tentang anak perempuan.
“Mereka berjuang untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Tugas kita adalah bersinergi untuk mewujudkan media massa dan media sosial yang aman dan positif, terutama bagi anak perempuan. Kami sangat mendukung kegiatan ini agar berkelanjutan, sehingga dapat menginspirasi anak-anak perempuan lainnya,” pungkas Rudiantara
Gagasan untuk memperingati hari anak perempuan internasional ini datang setiap tanggal 11 Oktober seperti hari ini dimana seluruh dunia memperingatinya. Pada hari ini sejumlah organisasi yang bekerja untuk anak-anak di dunia kemudian meminta agar anak-anak perempuan dibebaskan dari banyaknya tuntutan masyarakat dan dibebaskan untuk meraih cita-cita mereka.
Selama ini banyak permintaan dari orang dewasa yang ditujukan untuk anak-anak perempuan, misalnya agar mereka selalu mematuhi cara-cara tertentu yang dikatakan orang dewasa, bertindak dengan cara tertentu dan harus menjadi anak-anak yang diinginkan oleh orang dewasa. Padahal anak-anak perempuan harus dibebaskan dalam memilih, mereka harus diajak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka.
Maka setiap tanggal 11 Oktober ini, yaitu sejak tahun 2011, United Nations (UN) kemudian mengkampanyekan soal Girls Progress=Goal’s Progress, artinya kemajuan untuk anak perempuan dan tindakan bagi perjuangan anak-anak perempuan.
Dalam UN. Org misalnya ditulis bahwa kita harus memperhatikan kesenjangan yang terjadi pada anak-anak perempuan, harus ada data dan analisis yang sistematis tentang mereka. Hal ini diperlukan untuk memastikan program-program, kebijakan dan layanan secara efektif yang bisa merespon kebutuhan khusus anak perempuan.
Peringatan hari anak-anak perempuan ini dalam kelahirannya ingin memperjuangkan kesetaraan pada anak-anak perempuan seluruh di dunia.
Di tahun 2016 misalnya terdapat data yang menunjukkan ada 100 juta anak perempuan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah yang tidak bisa membaca, maka perlu perjuangan untuk ini. Plan Internasional misalnya pernah menuliskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dimulai pada usia muda. Ada kendala kemiskinan, lokasi, stereotipe jender, norma dan kebiasaan sosial yang menghambat anak-anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Pendidikan adalah alat transformasional untuk anak perempuan. Ini adalah kunci untuk membuka potensi mereka. Anak perempuan yang berpendidikan lebih tinggi, akan cenderung untuk menikah di usia dewasa dan memiliki sedikit anak yang dijaga kesehatannya. Maka, anak-anak ini kemudian akan memiliki kesempatan yang lebih baik.
*Nunu Pradya Lestari, penulis dan aktivis buruh. Sedang menyelesaikan kuliah akhir di IISIP Jakarta dan menjadi pengelola www.Konde.co