5 Perempuan Yang Jarang Disebut Namanya di Hari Pendidikan Nasional

Setiap memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang disebut-sebut selalu nama Ki Hajar Dewantara yang berjasa mendirikan Taman Siswa. Tapi tahukah kamu, ada banyak perempuan yang berjuang sejak masa kolonial di bidang pendidikan dan jarang disebut namanya?

Konde.co merangkum sejumlah perempuan yang bergerak di bidang pendidikan yang jarang disebutkan kiprahnya di dunia pendidikan. Padahal mereka menorehkan hal-hal penting, seperti menelorkan ide soal sekolah perempuan, perempuan harus bisa baca tulis, perempuan harus punya ketrampilan, termasuk mendirikan Taman Siswa.

1.R.A. Sutartinah atau disebut Nyi Hajar Dewantara

Sutartinah merupakan istri dari Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara telah mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 28 November 1959 oleh Presiden Sukarno, sedangkan Raden Ajeng Sutartinah juga berjuang sama beratnya, namun nama Nyi Hajar Dewantoro tidak turut dikukuhkan sebagai pahlawan nasional seperti suaminya. Selain itu data dan dokumentasi soal perjuangan Nyi Hajar Dewantoro juga sulit ditemukan.

Nyi Hajar Dewantoro lahir pada Tanggal 14 September 1890 di Yogyakarta dengan nama Raden Ajeng Sutartinah. Ia mengenyam pendidikan di Europease Lagere School (ELS) pada tahun 1904, lalu melanjutkan ke sekolah guru. Ia kemudian menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan R.M.Rio Gondoatmodjo.

Setelah tiga tahun bekerja sebagai guru pada 4 November 1907, R.A. Sutartinah dipertunangkan dengan R.M. Suwardi Suryaningrat yang kemudian bernama Ki Hajar Dewantara.

Mereka menikah pada saat Suwardi Suryaningrat berada dalam status tahanan. Pada 13 September 1913 Sutartinah berangkat mendampingi Suwardi ke tanah pembuangan di Belanda. Meskipun status Sutartinah mengikuti suami, namun Sutartinah bekerja sebagai guru di sebuah Frobel School (Taman Kanak-kanak) di Weimaar Den Haag untuk biaya kebutuhan hidup para buangan politik di sana.

Suwardi dan Sutartinah kemudian mendirikan Indonesische Pers Bureau, media yang banyak mereka isi dengan tulisan-tulisan tentang berbagai peristiwa dan situasi di Indonesia. Di samping itu Indonesische Pers Bureau juga menerbitkan brosur-brosur dan karangan-karangan/tulisan-tulisan mengenai Budi Oetomo, Sarekat Islam, indische Partiy dan lain-lain.

Dengan usaha tersebut Sutartinah dan Suwardi berhasil membuka mata dan pikiran orang-orang Belanda tentang Hindia Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu. Tulisan ini sekaligus membuat golongan demokrat dan golongan progresif mengecam kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda. Sebagai akibat dari kemenangan golongan progresif itu, maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graaf van Limburg Stirum mengeluarkan keputusan membebaskan dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker yang merupakan kawan seperjuangan Suwardi dan Sutartinah dari hukuman buangan.

Pada 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat memimpin Taman Siswa, sedang Sutartinah membentuk Wanita Taman Siswa.

BACA JUGA: Mengapa Kepala Sekolah Perempuan Jumlahnya Lebih Sedikit Dibandingkan Laki-laki? Ini Penyebabnya

Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus sebagai anggota Badan Penasihat Pemimpin Umum. Di samping membina organisasi perempuan, Sutartinah juga membina Taman Indria (Taman Kanak-kanak) dan Taman Muda (Sekolah Dasar) dalam Perguruan Taman Siswa. Pada tahun 1928 Suwardi Suryaningrat mencapai usia 40 tahun, dengan resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing menjadi Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara.

Nyi Hajar Dewantara rutin menulis berbagai artikel tentang perempuan di beberapa surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Ia juga merupakan inisiator kongres perempuan pertama. Dalam usahanya itu Nyi Hajar bertemu perempuan-perempuan dengan pikiran sama yang ingin menyatukan seluruh Gerakan perempuan Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah RA. Sukonto dan RA. Sujatien. Atas inisiatif mereka, terhimpunlah 7 organisasi yang kemudian mensponsori terselenggaranya Kongres Perempuan di Yogyakarta.

Dari semua jasanya untuk Indonesia, namun namanya seolah tak pernah disebut dan diperhitungkan oleh pemerintah.

Padahal Sutartinah berjuang sama kerasnya dengan Suwardi, tapi perjuangan ini tak pernah dilihat sebagai hal penting dan hanya dianggap sebagai pendukung Suwardi, bukan orang yang juga sama-sama berjuang

2.Kartini

Kartini adalah salah satu pendidik yang mengajar anak-anak buruh di belakang rumahnya. Hidup  di dalam keraton tak pernah membuatnya lupa pada anak-anak buruh yang tak mendapat pendidikan baik. Nama Kartini banyak disebut sebagai penggagas ide-ide soal perempuan, namun Kartini jarang disebut sebagai pendidik, padahal Kartini bersama kedua adiknya menjadi guru baca tulis bagi anak-anak dan perempuan yang tinggal di desa-desa di belakang istana.

BACA JUGA: Kartini: Kami Gadis-Gadis, Apakah Tidak Boleh Mempunyai Cita-Cita?

3.Dewi Sartika

Selain itu ada Dewi Sartika. Dewi Sartika, adalah pahlawan perempuan penggagas dan Pendiri Sakola Istri (Sekolah Perempuan). Ini merupakan sekolah perempuan yang berdiri di tahun 1904. Tenaga pengajarnya 3 orang : Dewi Sartika dibantu 2 saudara sepupunya:Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Sunda bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Dewi Sartika begitu mempengaruhi pendidikan bagi para perempuan di Indonesia kala itu.

4.Roehana Koeddoes

Perempuan berikutnya yang menggagas sekolah perempuan adalah Roehana Koeddoes. Roehana, perempuan asal Sumatera Barat adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan perempuan. Di zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap  perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Lalu ia mendirikan sekolah Amai Setia, sekolah khusus untuk perempuan.

Roehana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan tersebut pada tanggal 11 Februari 1911. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, membaca dan menulis, pendidikan budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.

BACA JUGA: Rohana Kudus, Jurnalis Perempuan Pertama yang Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia

Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang di lakoni, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya

Setelah itu ada banyak perempuan Indonesia lain yang memberikan pendidikan non formal di luar sekolah, mengajak para perempuan untuk sekolah, mengenyam pendidikan sekaligus berorganisasi. Hal ini sebagai tanda bahwa sudah banyak sekali perempuan meletakkan dasar pendidikan untuk perempuan di Indonesia di masa sebelum Indonesia merdeka.

5.Lasminingrat

Raden Ayu Lasminingrat merupakan seorang penulis feminis Sunda yang sudah hidup sejak 1843 lalu. Namanya tak banyak ditulis dalam buku-buku atau sebutan sebagai penulis perempuan di Indonesia. Ia mendukung pendirian Sekolah “Sokola Istri” yang didirikan Dewi Sartika.

Penulis dan pendidik perempuan dari Sunda ini, namanya jarang disebut. Dibandingkan dengan para penulis pada umumnya di zaman itu, namanya jauh dari hingar-bingar. 

BACA JUGA: Lasminingrat, Penulis Sastra Feminis Yang Tak Banyak Diperbincangkan

Lasmi mengajak anak-anak pribumi untuk mau membaca dan menulis bukan sekedar mengisi waktu luang melainkan untuk menghilangkan kegundahan dan kebimbangan hati 

“… sabab barang enggeus tangtoe, sagalage bisa leungit, pangabisa teu diasah, tangtoe bae lali deui, tjara oepama pakarang, pangarti nja kitoe deui. Djeung deui teu hade nganggoer, ngahoeleng mikir teu hasil, selang-selang pagawejan, anggoer matja reudjeung noelis, ngabeberah kasoesahan, ngaleungitkeun bingbang ati” (1887).

Fandy Hutari dalam Kompas.com menuliskan bahwa buku-buku saduran Lasmi ini kemudian diterbitkan dan banyak sekali pembacanya. 

Lasmi kemudian menikah dengan Bupati Garut, RAA Wiratanudatar Vlll dan berkonsentrasi memajukan pendidikan perempuan Sunda. Dengan kiprahnya ini, ia kemudian mendukung Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah Sakola Istri di Bandung di masa itu yang juga dibangun untuk memajukan perempuan.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!