Siapa di antara kalian yang bercita-cita ingin bekerja dan tinggal di Norwegia? Mungkin film ‘Mrs. Chatterjee vs Norway‘ ini dapat kalian jadikan referensi sebelum mengajak anak dan pasangan untuk menetap di sana.
Sebuah film ber-genre drama hukum yang disutradarai oleh Ashima Chibber. ‘Mrs. Chatterjee vs Norway‘ didasarkan pada kisah nyata seorang ibu asal India bernama Sagarika Chakraborty (menjadi karakter Mrs. Chatterjee dalam film ‘Mrs. Chatterjee vs Norway‘), yang anak-anaknya dipisahkan secara paksa dan dirawat oleh pemerintah Norwegia.
Bermula dari laporan kepada kepolisian Norwegia tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Anirudh Chaterjee (diperankan Anirban Bhattacharya) kepada istrinya, Debika Chaterjee (diperankan Rani Mukerji). Tindak lanjut laporan itu adalah dilakukannya pengawasan dari Norwegia. Proses itu ditugaskan kepada Velfred, sebuah lembaga Layanan Kesejahteraan Anak untuk memastikan anak-anak keluarga Chaterjee aman dalam rumah tersebut.
Setelah 4 bulan diawasi, tibalah hari terakhir pengawasan. Namun dari tinjauan Velfred, keluarga Chaterjee dinyatakan tidak lolos kelayakan dalam mengurus anak-anak mereka. Beberapa hal dianggap tidak layak, seperti menyuapi makan anak dengan tangan. Ada pula karena keluarga itu memakaikan celak di mata anak, suami tidak berkontribusi dalam pekerjaan domestik, dan Debika yang dianggap tidak memperhatikan aktivitas sekolah Subh, anaknya, di TK karena sering lupa membawa tugas sekolah.
Baca Juga: Klinik Hukum Perempuan: Pengasuhan Anak yang Orangtuanya Pisah, Tanggungjawab Siapa?
Penculikan yang Disetujui Negara
Saat tinjauan terakhir itu, Velfred membawa paksa Shubh yang masih TK. Sementara anak lainnya, Suchi, masih berusia 5 bulan. Mereka dibawa pergi dari rumah keluarga Chatterjee.
Debika mengejar dan berteriak histeris melihat anak-anaknya diambil paksa darinya. Separuh jiwanya hilang saat menunggu persidangan untuk mengambil kembali anak-anaknya. Apalagi Suchi, yang berusia 5 bulan, masih menyusui.
Debika merasa bingung karena menyuapi anak menggunakan tangan adalah hal biasa di India. Begitu pun memakaikan celak di mata anak, sebab berdasarkan kepercayaannya, itu bisa mengusir hal jahat pada anak. Namun oleh Norwegia, hal itu dianggap tidak higienis dan berbahaya.
Persidangan demi persidangan yang melelahkan, tidak juga membuahkan hasil. Bahkan pemerintah Norwegia memutuskan agar Shubh dan Suchi diadopsi keluarga lain dan diawasi pemerintah sampai mereka berusia 18 tahun.
Menuai Kontroversi
Film ‘Mrs. Chatterjee vs Norway‘ mendapatkan perhatian internasional karena mengangkat isu yang sensitif ini. Banyak yang percaya bahwa film ini memberikan sudut pandang baru tentang kebijakan perlindungan anak di Norwegia. Film itu juga memperlihatkan pengalaman individu yang mungkin jarang terdengar.
Meski begitu, film ini juga menuai kontroversi, terutama di Norwegia. Duta Besar Norwegia di New Delhi bahkan menulis artikel pendapat di surat kabar India yang mengeluhkan gambaran negatif tentang pelayanan kesejahteraan anak Norwegia dalam film tersebut.
Sagarika Chakraborty telah menjadi berita utama pada tahun 2012. Saat dia berjuang melawan otoritas Norwegia untuk mendapatkan kembali hak asuh atas anak-anaknya. Seluruh masalah itu bahkan sampai menyebabkan ketegangan diplomatik antara India dan Norwegia.
Baca Juga: Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karena Ingin Hindari Sanksi Sosial
Apakah Ada Standar Pengasuhan Anak?
Kasus yang dialami Chatterjee menyoroti perlunya pendekatan yang lebih peka budaya terhadap kesejahteraan anak. Norwegia dalam hal ini, merasa standar pengasuhan negaranya-lah yang paling benar.
Padahal, apakah ada standar universal dalam hal pengasuhan anak?
Setiap individu dan budaya (dalam film ini) memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengasuh anak. Pendekatan ini harusnya mengakui keragaman praktik budaya dan kebiasaan individu. Misalnya menyuapi anak dengan tangan yang dianggap tidak higienis oleh Norwegia, padahal ibu sudah mencuci tangan. Tentu hal ini menyakiti perasaan orangtua di India, atau bahkan Asia yang turun temurun makan atau menyuapi anak dengan tangan.
Tapi, Norwegia melarang para orangtua terutama para imigran membuat keputusan tentang kehidupan anak-anak mereka sendiri.
Bagi Norwegia, Kesejahteraan Anak-Anak adalah yang Terutama
Meskipun bermula dengan tujuan yang baik, yaitu menempatkan kesejahteraan anak sebagai yang utama, tapi peraturan yang kaku dan kesewenang-wenangan hukum Norwegia bisa jadi sangat merugikan. Utamanya, bagi keluarga-keluarga yang punya cara sendiri dalam mengasuh anak.
Dalam kasus Chaterjee digambarkan, Anirudh Chaterjee adalah suami yang kasar dan sangat patriarkis. Hal ini tentu patut mendapat perhatian oleh pemerintah Norwegia, tapi solusinya malah mengambil paksa anak-anak dari orangtuanya.
Padahal di satu sisi, belum dilakukan pembinaan pasca pernikahan. Belum juga ada upaya pemerintah Norwegia mempelajari budaya yang berbeda, dalam konteks ini budaya keluarga di India.
Dalam film ini ditunjukkan bahwa demi memperoleh kewarganegaraan, Anirudh sang suami beradaptasi dengan bahasa dan norma Norwegia. Namun Debika, istrinya, lebih memilih untuk mempertahankan bahasa dan budaya India-nya.
Baca Juga: Catatan Tahunan LBH APIK, Pengaduan dan Kekerasan Perempuan Meningkat
Bekerja di Norwegia merupakan cita-cita Anirudh. Tentunya dengan jaminan kesejahteraan dan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Norwegia. Namun, hal ini harus diikuti dengan kepatuhan terhadap peraturan di Norwegia.
Setiap pendatang yang bekerja dan tinggal di Norwegia diwajibkan mengikuti budaya Norwegia agar dapat diterima dan diberikan kewarganegaraan. Tapi syarat-syarat di dalamnya tidak inklusif dan menolak keragaman budaya para pendatang.
Setelah perjuangan hampir tiga tahun untuk mendapatkan kembali anak-anaknya, bahkan harus ‘menculik’ anak-anaknya sendiri. Akhirnya Debika Chattarjee memenangkan hak asuh anaknya.
Ketika suami istri ini akhirnya memutuskan untuk bercerai, konflik kembali hadir. Debika harus memperjuangkan hak asuh dari suaminya karena alasan Debika tidak bekerja. Sebab dia dianggap tidak mampu membiayai anak-anaknya.
Padahal, Debika tidak bekerja karena harus mengurus anak. Bagaimana mungkin hal itu menjadi alasan ia kalah dalam hak asuh? Dengan penuh perjuangan, seorang pengacara perempuan yang membantu Debika, akhirnya membuat Debika berhasil memenangkan hak asuh anak-anaknya.
Ingin tahu bagaimana perjuangan ibu memperjuangkan anak-anaknya itu? Kamu bisa nonton film ‘Mrs. Chatterjee vs Norway‘ di Netflix.