Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari dalam film 'Dirty Vote II o3' (sumber foto: tangkapan layar YouTube Watchdoc Documentary)

‘Dirty Vote II o3’ Bongkar Lingkaran Setan Otot, Otak, dan Ongkos di Rezim Prabowo-Gibran

Beberapa hari menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, film dokumenter ‘Dirty Vote II o3’ dirilis dan kembali menjadi sorotan publik. Kekuasaan dikonsolidasikan melalui otot, otak, dan ongkos, dalam lingkaran setan politik yang membuat rakyat terus berada di pusaran ketidakadilan.

“Ya, soalnya kan, masa lingkaran setan nggak kita putus? Pasti dong, harus diputus! Kalau nggak, sampai kapan kita mau begini terus?” 

Sepenggal ucapan Bivitri Susanti, ahli hukum dan dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, mengomentari kotornya politik di Indonesia dalam film dokumenter ‘Dirty Vote II o3’.

Dandhy Laksono dan Watchdoc Documentary kembali menggebrak masyarakat Indonesia lewat ‘Dirty Vote II o3’, yang dirilis menjelang satu tahun rezim Prabowo-Gibran. Film ini juga muncul di tengah carut-marut perpolitikan Indonesia yang menimbulkan gelombang protes rakyat sipil selama beberapa waktu terakhir. Tak tanggung-tanggung, 4 jam durasinya. Sebelumnya, pada 2024, mereka meluncurkan film pertama ‘Dirty Vote’ beberapa hari sebelum pencoblosan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) RI. Saat itu Dandhy dan Watchdoc menganalisis praktik-praktik konglomerasi hingga indikasi ‘permainan’ para kandidat presiden dan wakil presiden RI sepanjang kontestasi Pilpres 2024.

Sudah terlalu lama publik menyaksikan siklus yang sama. Kekuasaan berpindah tangan, tapi watak politik tetap begitu-begitu saja. Skandal berganti wajah, janji reformasi tinggal jargon, sementara rakyat terus jadi korban. Film ‘Dirty Vote II o3’ menyebutnya sebagai ‘lingkaran setan’; sebuah sistem yang terus berputar, menelan siapa pun yang masuk ke dalamnya.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Bivitri Susanti benar: selama tidak ada yang berani memutus rantai itu, negeri ini akan terus berada dalam pusaran yang sama. Antara harapan dan kekecewaan yang tak berujung.

Film dokumenter ini menampilkan tiga pakar utama, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Mereka adalah para akademisi hukum yang sebelumnya juga hadir di ‘Dirty Vote’ pertama. Kalau film pertama menyoroti praktik kecurangan sistematis di balik Pemilu 2024, maka film kedua menguliti cara rezim pasca-pemilu mengkonsolidasikan kekuasaan dengan hal yang mereka sebut o3: otot, otak, dan ongkos. Tiga kata itu pun menjadi jantung film ini.

Dirty Vote II o3’ dibuka dengan pemetaan o3 yang disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar, seorang dosen Hukum Tata Negara UGM. Paparnya, otot (politik) membiarkan polisi untuk semakin berkuasa dan mengembalikan militerisme. Otak (hukum) merangkul partai politik agar parlemen hadir tanpa oposisi, termasuk memperkuat rezim lewat produk hukumnya. Sedangkan ongkos (ekonomi) adalah tentang ‘gentong babi’ untuk para elit, oligarki, hingga massa pemilih.

Baca Juga: Mimbar Demokrasi Perempuan Desak Presiden Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu

Pemetaan ini menjadi pintu masuk utama untuk memahami cara kerja kekuasaan dalam satu tahun terakhir pemerintahan Prabowo-Gibran. ‘Dirty Vote II o3’ menyoroti bahwa, khususnya di rezim ini, kekuasaan tidak lagi bertumpu pada ide, melainkan pada kontrol. Politik menjadi otot yang menekan, hukum menjadi otak yang memanipulasi, dan ekonomi menjadi ongkos untuk membeli kesetiaan.

Selama satu tahun terakhir, publik disuguhi sederet peristiwa yang menimbulkan rasa tidak aman. Hingga akhirnya dua tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Kedua tagar itu viral di media sosial sebagai bentuk protes sekaligus keputusasaan dan kemuakan rakyat Indonesia. Tagar itu pula, menurut Zainal Arifin, “Yang menggambarkan keinginan publik dan partisipasi publik.” Ia menjadi sebuah refleksi atas realitas politik yang dirasa makin jauh dari rakyatnya.

Akan tetapi, Presiden RI Prabowo Subianto justru merespon berbagai protes dan kecemasan masyarakat itu dengan ledekan. “Kabur aja lo! Emang gampang lo di situ, di luar negeri?” Ejek Prabowo dalam sebuah sesi pidatonya. “Di mana lo? Dikejar-kejar lo di situ itu!” Bukan hanya menohok dan tidak berwibawa; Prabowo menganggap hal yang muncul dari keresahan rakyat itu hanya rekayasa dan dibuat-buat.

Baca Juga: Catatan 100 Hari Kerja Prabowo–Gibran dari Perspektif Perempuan dan Keadilan Sosial: Kesetaraan Ditakluk, Populisme Menyunduk 

Negara kehilangan arah karena pemimpinnya kehilangan pegangan. Zainal menilai sikap seperti ini lahir dari rasa insecure yang justru membentuk paradigma politik yang dibuat secara asal-asalan. Tak lagi berakar pada logika hukum dan keadilan.

Tagar-tagar yang muncul di media sosial menjadi tanda kelelahan publik terhadap sistem yang kian tertutup. #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu menjadi jerit kecil di tengah kebisingan politik. Seolah rakyat sedang bertanya: kalau negara tidak lagi melindungi, ke mana lagi harus pergi?

Kontan saja eskalasi protes rakyat sipil membuncah. Aksi-aksi unjuk rasa pecah di mana-mana, bahkan belum lama sejak Prabowo-Gibran menduduki tampuk kekuasaan. Kebanyakan direspon represif dan brutal oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Protes dibalas gas air mata dan pentungan. Kemarahan rakyat, termasuk perempuan dan orang muda, ditanggapi dengan penganiayaan. Unjuk rasa, yang merupakan bagian dari demokrasi, direspon dengan penangkapan, penculikan, dan kriminalisasi. Semua ini terjadi berulangkali hingga meletus rangkaian aksi di Indonesia pada akhir Agustus 2025, yang awalnya menjadi tanda kemuakan rakyat terhadap tunjangan anggota DPR RI yang tak masuk akal. 

Kekecewaan berubah menjadi amuk massa usai tewasnya pengemudi ojol, Affan Kurniawan, yang dilindas mobil baja rantis polisi di Jakarta pada 28 Agustus 2025. Maka lagi-lagi, aparat membalas kemarahan sipil dengan kekerasan. Gas air mata dan senjata lainnya digunakan untuk memukul mundur massa. Aktivis dan ratusan peserta aksi, bahkan orang-orang yang tidak terlibat aksi sama sekali, ditangkap dan dipenjara. Setidaknya 990 orang masih dikriminalisasi pasca-akhir Agustus 2025 di seantero Indonesia. Sementara itu, ada dua orang yang dilaporkan hilang di Kwitang, Jakarta Pusat, dan belum ditemukan hingga kini.

Tahun ini babak yang membuat layar terasa agak pengap. Ini bukan hanya soal angka di kotak suara lagi, melainkan soal cara kekuasaan mencari napasnya kembali. 

Baca Juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin

“Kapitalisme terpimpin tentu saja berupaya mengendalikan banyak kepentingan. Semua diwujudkan, dengan salah satu langkahnya dengan upaya kembali ke Undang-Undang Dasar ‘45 a la Orde Baru. Sebab undang-undang ini yang membuat kekuasaan otoritarianisme bisa langgeng di Indonesia,” ungkap Feri Amsari, pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Pernyataan itu menjadi benang merah seluruh film. Sebuah analisis tajam bahwa kekuasaan akan selalu menindas secara kasar, mengubah aturan hukum, memainkan hukum, dan memanipulasi opini publik. Realitas ini pun menggambarkan lingkaran setan politik yang terus berulang. Sementara itu, institusi yang seharusnya melindungi rakyat justru terjebak menjadi alat kekuasaan. 

Bivitri mengungkap keprihatinan yang mendalam terhadap pusaran kekuasaan yang seolah berputar di tempat. Ia menekankan, ada tiga hal mendasar yang harus dibenahi untuk memutus lingkaran itu.

Pertama, sebut Bivitri, adalah perlunya reformasi kepolisian. Pasalnya, lembaga yang seharusnya melindungi rakyat ini kerap kali justru menjadi otot kekuasaan yang mempertahankan rezim.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Diprediksi Naik, Tapi Masih Ada Belenggu Masalah Ini

Langkah kedua adalah reformasi TNI, agar institusi pertahanan kembali ke fungsi asalnya, tentu menjaga kedaulatan negara, bukan alat politik. Bivitri menegaskan, kedua institusi ini adalah pondasi demokrasi. Perbaikannya hanya mungkin melalui pembongkaran struktural yang serius, bukan sekadar pergantian pimpinan atau kosmetik reformasi.

Ia menyoroti perlunya perombakan sistem politik secara menyeluruh agar kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat. Titik lemah yang paling krusial, menurutnya, terletak pada partai politik dan sistem pemilu. Sistem selama ini dikuasai oleh segelintir elite sehingga otak dan ongkos politik tidak pernah berpihak pada publik.

“Kita harus bongkar juga supaya otak dan ongkos itu dikembalikan kepada rakyat. Jadi nanti di ujung kita akan membongkar lingkaran setan ini untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif,” ucap Bivitri.

Bivitri membayangkan perubahan yang lebih dari sekadar perbaikan mekanisme teknis. Ia ingin sistem politik yang terbuka dan inklusif. Artinya setiap warga, tanpa memandang posisi atau kekayaan, memiliki ruang untuk berpartisipasi dan menentukan arah bangsa.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Kebijakan Fiskal di Center of Economic and Law Studies (Celios) juga memberikan analisisnya dalam ‘Dirty Vote II o3’. Ia menemukan contoh nyata dari aspek ongkos ini pada Patriot Bond. Instrumen finansial ini menarik perhatian publik karena menawarkan bunga rendah, hanya 2% per tahun, sementara surat utang pemerintah biasa memberikan 6,2%.

Artinya, para konglomerat yang membeli Patriot Bond secara teknis mengorbankan potensi keuntungan 4,2% per tahun. Secara simbolik, inilah yang membuatnya disebut patriotik, menunjukkan loyalitas terhadap program-program Prabowo.

Baca Juga: Pencinta Kucing sampai Joget Gemoy, Gimik Gaet Gen Z ini Ampuh Menangkan Prabowo- Gibran

“Para konglomerat ini atau pengusaha yang membeli Patriot Bond, dia sebenarnya juga memiliki tujuan, yang pertama agar dianggap sebagai loyalis mendukung program-program dari Prabowo. Tapi juga ada yang kemudian melihat bahwa beberapa pelaku usaha itu sebelumnya dari sisi perizinan, ada juga kriminalisasi. Sehingga mereka melihat ini sebagai bentuk dari asuransi politik”. Ungkap Bhima

Seperti kata Bhima, motifnya tidak selalu murni patriotik. Beberapa pengusaha melihatnya sebagai asuransi politik, langkah strategis agar bisnis mereka tetap aman dari gangguan perizinan atau risiko kriminalisasi selama pemerintahan mendatang.

Bahkan dana yang dihimpun lewat Patriot Bond melebihi target awal sebesar Rp50 triliun, mencapai Rp51,7 triliun, menunjukkan tingginya minat pasar. Sebagian besar pembeli berasal dari sektor ekstraktif misalnya nikel, batu bara, sawit, serta sektor perumahan. Dana tersebut sebagian digunakan untuk proyek strategis nasional seperti Morowali dengan alokasi Rp38,4 triliun.

Patriot Bond dan proyek-proyek strategis menunjukkan cara kekuasaan menggunakan ekonomi untuk mengamankan loyalitas. Namun, hal ini juga menjadi refleksi nyata bahwa perubahan politik dan sistemik tidak bisa hanya bergantung pada kepatuhan atau kontribusi elit. Rantai kekuasaan dan lingkaran setan politik tetap utuh jika kesadaran dan keterlibatan publik, terutama generasi muda, tidak hadir untuk menuntut reformasi sejati.

Bhima menggantungkan pesannya bahwa perubahan sejati tidak datang secara instan dan membutuhkan keberanian serta keterlibatan aktif dari generasi muda.

Baca Juga: Akademisi Sebut Program Kerja Prabowo-Gibran Lemah Pada 7 Isu Krusial Meski Unggul Quick Count

Ia menyoroti pentingnya regenerasi dalam berbagai institusi, partai politik, ormas, militer, kepolisian, hingga aparatur sipil negara dan mendorong setiap orang untuk bersuara, berkolaborasi, dan memulai langkah konkret meski dari skala kecil.

“Kalau yang lama tak bisa juga dibenahi, tinggalkan ramai-ramai,” ucap Bhima.

Ia juga menekankan bahwa sebuah film, seperti ‘Dirty Vote’, bukanlah alat untuk mengubah seluruh nasib bangsa. Akan tetapi, film bisa menjadi pemicu kesadaran dan langkah awal menuju perubahan yang nyata. Menunggu saja tidak akan cukup. Perubahan hanya lahir ketika kesadaran itu diterjemahkan menjadi tindakan, ketika lingkaran lama berani diputus dan sistem politik benar-benar mulai berpihak pada rakyat.

Film ‘Dirty Vote II o3’ memang sangat panjang durasinya; sampai 4 jam. Namun, film ini sangat tepat untuk ditonton masyarakat Indonesia. Ia juga dapat menjadi bahan renungan dan strategi rakyat bersama. Fokuslah tonton dan amati pemaparan bagian pertama sampai ketiga di awal film ini dulu. Pemaparan itu sangat membantu untuk menuntun penonton ke arah bahasan dalam film tersebut dibawa.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

(sumber foto: tangkapan layar YouTube Watchdoc Documentary)

Rara Wiritanaya

Mahasiswi Universitas Atmajaya Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!