Cuplikan trailer film Spider-Man: Across the Spider-Verse

‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’, Rumitnya Hubungan Remaja dan Orang Tua

Setelah penantian lama, film Spider-Man: Across the Spider-Verse tayang untuk umum. Bukan hanya animasi dan grafis yang memukau, kisah sejumlah sosok Spider di film ini juga seakan mewakili dilema para remaja yang kesulitan menjalin hubungan baik dengan orang tua—termasuk jujur akan identitas dirinya.

Menjadi pahlawan super, siswa cerdas yang (berusaha) teladan, dan remaja kasmaran dalam satu waktu? Bukan sesuatu yang sulit bagi Spider-Man. Tapi menjadi anak berbakti yang dapat terbuka dan menjalin pengertian dengan orang tua? Setidaknya bagi Miles Morales dan Gwen Stacy—dua remaja dengan kekuatan ‘laba-laba super’ dari jagat yang berbeda—tampaknya hal itu cenderung lebih sulit dilakukan.

FilmSpider-Man: Across the Spider-Versemerupakan kelanjutan dari film animasi ‘Spider-Man: Into the Spider-Verse’, yang dirilis pada 2018 silam. Butuh waktu lima tahun sebelum akhirnya film kedua tayang untuk umum. Kelihatannya, waktu yang cukup lama itu terbayarkan dengan pantas. ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’ mendapat banyak apresiasi dan komentar positif dari penonton. Bukan cuma karena animasi dan desain grafisnya yang sangat apik. Cerita dalam film ini pun disampaikan sedemikian rupa agar tidak membosankan, meski kisah Spider-Man sudah berkali-kali difilmkan dalam berbagai jagat berbeda.

Baca Juga: The Little Mermaid, Representasi Kulit Hitam atau Sebatas Blackwashing?

Meski tentu sosok Spider-Man sudah tidak asing lagi, yang unik dari film ‘Spider-Man: Into the Spider-Verse’ dan ‘Across the Spider-Verse’ adalah penyajiannya dalam bentuk animasi. Tidak seperti tiga film ‘Spider-Man‘ lainnya, yang diperankan oleh aktor sungguhan (Tobey Maguire, Andrew Garfield, dan Tom Holland sebagai Peter Parker alias Spider-Man). Selain itu, tokoh utama dan cerita yang dibawakan pun berbeda dari versi live action. Alih-alih Peter Parker, ada Miles Morales (suara diisi oleh Shameik Moore) di balik topeng Spider-Man, begitu pula dengan Gwen Stacy (Hailee Steinfeld) dan entah berapa banyak persona sang ‘pahlawan laba-laba super’ lainnya di berbagai semesta.

‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’ mencakup berbagai persoalan yang kita hadapi di dunia nyata sehari-hari dalam bentuk fiksi. Tapi salah satu yang menarik untuk dibahas adalah cerita-cerita tentang kesulitan anak untuk berkomunikasi dengan orang tua di film ini. Terutama ketika para remaja ini merasa bahwa orang tua seringkali menentukan apa yang terbaik untuk diri mereka, tanpa berusaha untuk mendengarkan terlebih dulu. Bukan sebagai superhero; ini kisah Gwen Stacy dan Miles Morales, sebagai anak muda, berkutat dengan upaya-upaya menjembatani hubungan yang canggung dengan orang tua mereka, pun sebaliknya.

Gwen Stacy: Peliknya Hubungan Ayah dan Anak Perempuan

Di film ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’, Miles Morales dari Earth-1610 tetap menjadi tokoh utama yang melandasi alur cerita. Namun kali ini, sebagian narasi film dibawakan oleh Gwen Stacy dari Earth-65. Tidak hanya itu, kisah Gwen pun lebih ditampilkan di film ini. Penonton dibawa mendalami cerita Gwen Stacy sebagai Spider-Woman, berbeda dari sosok Spider lainnya yang biasanya merupakan laki-laki.

Gwen Stacy versi Earth-65 bukanlah si pacar Spider-Man yang kerap diceritakan tewas dalam berbagai jagat kisah sang pahlawan. Di semesta ini, Gwen Stacy adalah Spider-Woman, juga dikenal sebagai Ghost-Spider. Ialah pahlawannya.

Di Earth-65, Gwen juga menekuni hobinya bermain drum. Karakternya terlihat keras dan memberontak, tapi sesungguhnya Gwen berhati lembut. Sebuah kejadian membuatnya tertutup dan enggan membicarakan perasaannya. Sebagai remaja dengan gejolak emosi, Gwen merasa tidak ada orang yang mampu memahami dirinya, baik itu teman-teman maupun ayahnya.

Baca Juga: ‘The Ghost Station’: Kisah Jurnalis Bongkar Misteri Stasiun Terbengkalai

Di sisi lain, ayah Gwen yang seorang kapten polisi kerap disibukkan oleh berbagai kasus yang harus ia tangani. Jangankan jujur tentang perasaan dan identitasnya sebagai Spider-Woman; sekadar waktu untuk mendekatkan diri satu sama lain pun tidak dimiliki Gwen dan sang ayah. Ditambah lagi, ayah Gwen memimpin perburuan atas sosok Spider-Woman, sehingga mengungkapkan identitasnya jelas jadi hal terakhir yang bakal Gwen lakukan. Gwen menyayangi sang ayah, namun ia lebih memilih untuk melakukan apa saja ketimbang harus menguak jati dirinya sebagai Spider-Woman. Toh, ayahnya juga tidak pernah mencoba mendengarkan dirinya.

Gwen merasa lebih baik saat berada bersama sahabatnya, Miles Morales. Tapi sulit bagi mereka untuk bertemu, sampai pada suatu waktu, ia akhirnya mampu mengunjungi Miles di Earth-1610. Reuni mereka berdua menyenangkan—tapi Gwen juga menyadari, hal tersebut berisiko. Pada akhirnya, ia berupaya keras untuk menolong Miles dan semestanya, serta menghadapi lukanya sendiri.

Miles Morales dan Ekspektasi Orang Tua

Di Earth-1610, Miles Morales yang berusia 15 tahun menghadapi dilema atas ekspektasi keluarga, sebagaimana dirasakan pula oleh kebanyakan remaja lainnya.

Miles adalah remaja cerdas yang tinggal di Brooklyn dengan cita-cita tinggi dan selera humor ‘kekinian’. Miles ingin melanjutkan pendidikan tinggi di sebuah kampus ternama dan didukung oleh orangtuanya—setidaknya sampai mereka tahu kalau kampus impiannya berada di luar Brooklyn. Orang tua Miles, khususnya sang ibu, mulai menunjukkan penolakan atas keinginan sang anak karena tidak ingin ia pergi jauh. Meski demikian, mereka juga menaruh harapan tinggi kepada sang anak laki-laki.

Yang tidak diketahui orangtuanya, Miles Morales juga adalah seorang Spider-Man, yang digigit oleh laba-laba dari dimensi lain. Di Earth-1610, alih-alih Peter Parker, Miles-lah yang berada di balik kostum Spider-Man. ‘Pekerjaan’nya sebagai Spider-Man membuat Miles kerap harus membagi waktu antara mengurusi kehidupannya sehari-hari dan melawan penjahat. Ia jadi tidak bisa hadir secara ‘utuh’, termasuk bagi keluarganya.

Baca Juga: ‘Klub Kecanduan Mantan’: Karena Move On Butuh Support System!

Menghadapi penjahat, sudah biasa bagi Miles sebagai Spider-Man. Belajar dan menjadi murid yang pintar, Miles cukup percaya diri akan hal tersebut. Tapi kalau ada satu hal yang dirasa sulit ia lakukan, itu adalah memenuhi ekspektasi dan menjadi ‘anak berbakti’ bagi orangtuanya. Ia kerap merasa ibu dan ayahnya selalu mengkritik dirinya, tanpa memberikannya kesempatan untuk menjelaskan. Makanya, ia lebih menyukai dirinya saat menjadi Spider-Man. Berada di balik kostum superhero itu membuat Miles dapat berkomunikasi lebih baik dengan sang ayah, seorang petugas kepolisian yang bakal diangkat menjadi kapten. Mereka memang sering bekerjasama menangani kasus kejahatan di kota. Lagi-lagi, komunikasi yang baik itu terjalin tanpa ayahnya mengetahui bahwa Miles-lah si Spider-Man yang sedang berbincang dengannya.

Sementara itu, Miles jelas menyayangi ibunya, Rio Morales. Tapi sebagai anak laki-laki dalam fase remaja yang berapi-api, ia juga yakin sang ibu tidak akan sepenuhnya memahami dirinya. Di sisi lain, Rio Morales dapat merasakan bahwa sang anak tidak jujur kepadanya. Makanya, ia berusaha memberikan sedikit kelonggaran bagi Miles untuk melakukan hal yang disukainya, asalkan Miles tidak lupa ke mana dirinya harus pulang.

Spider-Verse dan Macam-Macam Pergulatan Anak Muda

Sosok Spider-Man memang kerap dipandang sebagai representasi anak muda ‘kekinian’ di tengah khazanah pahlawan super Marvel. Pada masanya, sosok Spider-Man si ‘anak muda’ itu muncul dalam bentuk Peter Parker live action versi Tobey Maguire dan Andrew Garfield, keduanya dari film yang berbeda. Lalu versi lain dari Peter Parker alias Spider-Man diperankan oleh Tom Holland, yang lebih dekat dengan karakteristik anak muda zaman sekarang. Kali ini, Spider-Man versi animasi sebagai representasi remaja muncul dalam sosok Miles Morales, Gwen Stacy, Hobie Brown, Pavitr Prabhakar, dan segenap ‘pahlawan laba-laba’ lainnya dalam Spider-Verse.

Pada dasarnya, kisah para sosok di balik kostum Spider-Man berkutat pada dilema kehidupan anak muda. Khususnya ketika ia harus jujur tentang identitasnya kepada sosok orang tua, kekasih, dan orang-orang terdekatnya. Selain itu, beberapa masalah yang melatari kisah Spider-Man dari jagat-jagat lain pun cenderung relatable dengan pergolakan jati diri anak muda saat ini.

Baca Juga: Ngobrol Bareng Pengamat Film: Bias Gender Masih Jadi Tantangan Film Horor

Salah satu sosok dari Spider-Verse yang mencuri perhatian dalam film ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’ adalah Hobart ‘Hobie’ Brown. Ia dikenal pula sebagai Anarchist Spider-Man atau Spider-Punk dari Earth-138, jagat dengan rezim yang dipimpin oleh Ozzy Osborn. Hobie adalah seorang pemuda anarkis dan gitaris punk yang tidak percaya pada aturan, otoritas, dan sistem. Hobie juga menjadi Spider-Man paling radikal seantero Spider-Verse.

Selain Hobie, ada Pavitr Prabhakar, Spider-Man dari Earth-50101 dan tinggal di Mumbai, India, bersama Bibi Maya dan Paman Bhim. Pavitr awalnya hanyalah seorang pemuda miskin yang di-bully oleh anak-anak di sekolahnya. Kemudian ia mendapatkan kekuatan laba-laba, meski juga kehilangan sosok sang paman yang selama ini banting tulang membiayainya. Dalam ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse‘, ‘kunjungan’ Miles Morales dan kawan-kawan ke jagat Pavitr menjadi kunci atas berbagai hal yang dihadapi Miles berikutnya.

Tentunya selain mereka berempat, ada banyak sekali kisah yang melatarbelakangi para ‘Spidey’ lainnya. Tidak selalu sebagai remaja; beberapa sosok di balik kostum sang superhero pun sudah dewasa, dengan masalah mereka masing-masing. Tapi yang jelas, dilema yang dirasakan para karakter dalam film ini bisa jadi sukses ‘menjangkau’ kamu dan kita, anak muda yang bergulat dengan identitas diri dan keterbukaan pada orang terdekat—termasuk orang tua.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!