Cuplikan film horor Korea 'The Ghost Station'. Dibintangi oleh Kim Bo Ra, Kim Jae Hyun, dan Shin So Yul, film ini berkisah tentang reporter media online Na Young, yang berusaha menginvestigasi Stasiun Oksu yang terbengkalai. Berbagai dilema dihadapinya, mulai dari target jumlah klik pada artikelnya, benturan kode etik, hingga misteri mencekam yang terkubur di bawah Stasiun Oksu.

‘The Ghost Station’: Kisah Jurnalis Bongkar Misteri Stasiun Terbengkalai

Kekeliruan dalam proses verifikasi membuat seorang reporter media hiburan online pontang-panting mencari berita sensasional untuk menebus kesalahannya. Lagi-lagi meleset—bukan hanya dihantui traffic berita sekaligus tuntutan kode etik, kini ia juga mesti menghadapi dendam dan kutukan dari Stasiun Oksu.

Nama Na Young (Kim Bo Ra) berkali-kali disebut dalam film hororThe Ghost Station‘. Redaktur Na Young memanggilnya dengan kesal saat media tempat mereka bekerja harus menghadapi tuntutan terkait kelalaian reporter media online itu dalam menjalankan kode etik saat meliput.

Senior Na Young memanggilnya dengan antusias ketika artikel yang dibuatnya mencapai angka traffic yang tinggi di mesin pencari. Sahabat Na Young, Woo Won (Kim Jae Hyun) memanggilnya dengan ragu setiap kali perempuan itu meminta bantuannya untuk melakukan hal-hal yang kerap berisiko dan tidak masuk akal demi liputan jurnalistiknya.

The Ghost Station’ bukan film horor dengan durasi yang lama. Ia hanya tayang selama kira-kira 80 menit. Film besutan sutradara Jeong Yong Ki ini diadaptasi dari salah satu episode webtoon Korea legendaris karya kreator Horang. Episode webtoon tersebut berjudul ‘Hantu Stasiun Oksu’ dan bisa diakses di platform LINE Webtoon.

Memang tidak panjang—seluruh kisah tentang Stasiun Oksu terangkum dalam satu bab saja. Maka durasi film ‘The Ghost Station‘ rasanya pas untuk mengisahkan kembali kengerian itu dalam format audiovisual. ‘The Ghost Station’ juga digarap oleh penulis naskah Hiroshi Takahashi, yang berperan dalam pembuatan film horor Jepang terkenal, ‘The Ring‘.

Baca Juga: ‘Sewu Dino’: Horor Jawa yang Menegangkan

The Ghost Station’ memang langsung menggugah rasa penasaran banyak orang saat perilisan filmnya diumumkan di Korea Selatan. Pasalnya, webtoon yang menjadi landasan cerita film itu pernah populer sebagai salah satu yang terseram pada masanya.

Webtoon karya Horang tersebut merupakan salah satu yang pertama menggunakan fitur audio dan motion graphic untuk menambah kesan seram pada pembaca. Lebih ngeri lagi, sampai grafis bergerak dan audio pada satu halaman di webtoon itu berhenti, pembaca tidak akan bisa menggulung layarnya ke halaman berikutnya atau kembali ke halaman awal.

Reporter Media Online, antara Klik dan Kode Etik

Film ‘The Ghost Station’ dibuka dengan prolog pendek yang sukses bikin seisi bioskop menjerit kaget. Cukup banyak pula adegan jumpscare di film ini yang, usai membuat penonton berteriak, langsung membawa keheningan mencekam. Tapi sebagai film horor, ‘The Ghost Station’ justru lebih banyak menampilkan konflik sosial yang pelik alih-alih kengerian hantu.

Salah satu fokus cerita utama dalam film ini adalah lika-liku Na Young sebagai reporter media online. Na Young tidak digambarkan sebagai jurnalis ‘heroik’ dengan reputasi yang baik. Malah, ia kerap mengesampingkan kode etik demi mendapatkan berita heboh yang memancing angka traffic tinggi.

Seniornya senang-senang saja dengan hal tersebut—namun tidak demikian dengan sang redaktur. Gagal bertanggungjawab atas salah satu berita yang dibuatnya, Na Young pun pontang-panting mencari berita sensasional untuk menggantikan kerugian perusahaan media. Hal itu kemudian membawanya pada misteri di Stasiun Oksu.

Baca Juga: Ngobrol Bareng Pengamat Film: Bias Gender Masih Jadi Tantangan Film Horor

Secara garis besar, ‘The Ghost Station’ menyoroti kisah Na Young dan pekerjaannya sebagai jurnalis media online. Awalnya tentu muncul dorongan untuk menyalahkan tokoh perempuan yang diperankan aktris Kim Bo Ra itu.

Meski Na Young sebagai reporter mengikuti rasa penasarannya dengan cukup baik, ia kerap lalai dan tidak menjalankan kode etik saat meliput. Misalnya, Na Young tidak paham bahwa mewawancarai seseorang yang sedang mabuk tidaklah konsensual karena narasumber berada di bawah sadar.

Ia juga tidak menyimpan kontak narasumber untuk kebutuhan konfirmasi ulang. Bahkan, ia meminta Woo Won, sahabatnya yang bekerja sebagai petugas stasiun, untuk memberikannya rekaman CCTV tanpa meminta izin secara resmi pada stasiun, lalu mempublikasikannya di media.

Di awal film, Na Young tampak mengabaikan prinsip-prinsip kerja jurnalistik yang baik demi mendapatkan bahan berita sensasional secepat mungkin, agar artikelnya mendapat klik sebanyak-banyaknya. Pasalnya, begitulah pekerjaan yang biasa dilakoninya di media online tersebut. Petugas kepolisian pun skeptis terhadap dirinya karena stigmanya sebagai reporter yang hanya berburu sensasi demi mendapatkan traffic sesuai target.

Namun karakter Na Young juga mengalami perkembangan seiring berjalannya film. Ketika ia menyadari bahwa Stasiun Oksu yang terbengkalai lebih dari sekadar tentang fenomena bunuh diri di sana, tujuannya menggali fakta mulai berubah. Ia merasa harus melakukan investigasi sungguhan dan memberitakan kisah di balik angkernya Stasiun Oksu.

Baca Juga: Film ‘Raise the Red Lantern’: Soroti Poligami dan Kompetisi Perempuan yang Tragis

Kendati demikian, tentu saja usahanya tidak berjalan mulus. Berita buatan Na Young menjadi viral dan malah melahirkan tren baru di kalangan pengguna media sosial. Artikelnya berhasil menembus angka views tinggi, tapi hal itu juga membuat korban Stasiun Oksu kian bertambah.

Na Young semakin dilanda dilema atas pekerjaan yang dilakukannya. Di sisi lain, seorang reporter senior meyakinkan Na Young bahwa mereka, “Bukan media sungguhan, hanya media gosip,” sehingga tren aneh dan komentar-komentar negatif akibat beritanya justru merupakan pertanda baik bagi media mereka. Sementara itu, redakturnya mengamuk akibat suatu hal fatal yang membuat posisi Na Young semakin serba salah.

Dilema yang dihadapi Na Young barangkali juga bisa dirasakan oleh para jurnalis media online masa kini. Di satu sisi, jurnalis media online tahu bahwa kode etik jurnalistik itu ada dan sejatinya harus dipatuhi. Tentu ada keinginan untuk memproduksi karya-karya jurnalistik yang berkualitas serta bermanfaat bagi banyak orang.

Di sisi lain, jurnalisme online berkejaran dengan tren dan angka—waktu dan jumlah klik. Maka dalam banyak kasus, pemberitaan media online lebih mengutamakan kecepatan tayang ketimbang akurasi dan verifikasi fakta.

Kelalaian tersebut kerap diakali dengan berita lanjutan (follow-up) atau klarifikasi, seperti yang coba dilakukan Na Young saat beritanya bermasalah. Namun hal itu bukan solusi, apa lagi jika terjadi berulang kali.

Baca Juga: 7 Film Perempuan Mengharukan Yang Bisa Kamu Tonton Akhir Pekan

Ditambah lagi, ketika perusahaan media amat berorientasi pada profit, proses verifikasi dan penggalian fakta menjadi sesuatu yang kemudian dianggap terlalu memakan waktu. Yang terpenting adalah memberitakan sesuatu yang viral saat sedang hangat-hangatnya, agar angka traffic dan viewers tinggi.

Lalu media tersebut akan bertengger di posisi teratas pada mesin pencari selama beberapa waktu. Nasib yang dialami Na Young menjelang akhir film pun mungkin bakal membuat sesama reporter media online bersimpati terhadapnya.

Nonton ‘The Ghost Station’ dengan memposisikan diri sebagai seorang reporter media online membuat pengalaman Na Young terasa dekat—kalau bukan jadi momen refleksi dan sindiran terhadap diri sendiri.

Sutradara Tidak ‘Membunuh’ Karakter Perempuan

Ada hal lain yang cukup unik dari film ‘The Ghost Station‘. Biasanya, cerita horor identik dengan karakter perempuan sebagai korban. Namun sutradara Jeong Yong Ki berusaha mengubah stereotip tersebut dengan memastikan bahwa tidak ada sosok perempuan yang meninggal dalam film yang digarapnya.

“Aku ingin mengubah perspektif tentang kenapa hanya perempuan yang harus mati,” ungkap Jeong Yong Ki dalam sebuah wawancara dengan media Korea Selatan, Xsportnews

Menurutnya, ketika ada perempuan yang menjadi korban dan mati dalam film horor, penonton jadi tidak punya pilihan selain menyasar dan menyalahkan perempuan tersebut. Maka dari itu, Jeong Yong Ki dan tim sengaja mengubah skenario agar yang menjadi korban dalam film ‘The Ghost Station’ adalah laki-laki dan bukan perempuan.

Film ‘The Ghost Station’ juga banyak mengangkat persoalan sosial di tengah masyarakat. Sebagaimana berbagai film dan drama Korea lainnya yang kerap menunjukkan bahwa dunia tidak hanya ‘hitam dan putih’. Tidak ada karakter yang benar-benar baik atau jahat di film ini. Semua tokoh punya motif masing-masing yang melandasi perbuatan mereka, bahkan saat moralitasnya dipertanyakan.

Selain itu, melalui ‘The Ghost Station‘, sutradara ingin menunjukkan bahwa orang-orang tidak berdosa kerap harus menanggung tulah dari orang lain yang sebetulnya bersalah. Oleh karena itu, suatu masalah yang berakar dari dendam tidak akan tuntas hanya dengan membalaskan dendam tersebut. Akar permasalahan juga mestinya harus diselesaikan.

Open Ending yang Antiklimaks

Sayangnya, akhir dari film ‘The Ghost Station’ cenderung antiklimaks dan tidak cukup memuaskan penonton, yang kadung terbawa tegang di sepanjang film.

Dengan durasi hanya 80 menit, sebetulnya alur ‘The Ghost Station’ telah tertata cukup rapi dan padat sejak awal hingga menjelang akhir film. Temponya pas dan tidak terlalu banyak plot hole yang mengganggu, setidaknya pada dua babak pertama. Namun arah cerita menjadi kabur begitu mendekati bagian akhir.

Plot twist yang terjadi di babak terakhir terkesan tak punya landasan kuat. Lalu tanpa aba-aba, film selesai begitu saja, bahkan tanpa epilog atau post-credit scene. Sangat mungkin penonton akan dibuat bengong begitu film usai karena masih berusaha mencerna dan berspekulasi tentang apa yang terjadi di menit-menit terakhir.

Film ini barangkali cocok untuk orang yang menyukai kisah misteri dan tidak masalah dengan jumpscare, serta mengharapkan open ending. Tapi untuk penonton yang lebih memilih film dipungkas dengan jelas, tampaknya ‘The Ghost Station’ tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut. Meski begitu, secara keseluruhan, ‘The Ghost Station’ tetap menarik untuk ditonton.

Akting Kim Bo Ra, Kim Jae Hyun, Shin So Yul, dan sejumlah pemeran lainnya dikemas dengan cukup apik di film ini. Sudah tayang di Indonesia sejak 26 Mei 2023, kamu yang penggemar jumpscare dan mystery solving sebaiknya cek jadwal tayang film ‘The Ghost Station’ di bioskop terdekat.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!