Pengesahan UU Kesehatan

Aktivis Kecam UU Kesehatan: Tidak Transparan, Abaikan Kelompok Rentan

Tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan, ditandai absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang mendapatkan protes dari para aktivis.

Para aktivis geram. Pasalnya, semestinya perumusan Undang-Undang (UU) Kesehatan bisa inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti.

Rapat Paripurna DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi UU pada Selasa (11/7). Dalam draft final yang Konde.co terima, setidaknya ada ada 20 bab dan 450-an pasal dalam UU Kesehatan itu.

Pasca pengesahan UU Kesehatan, Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Nanda Dwinta Sari menyayangkan proses pembahasan di DPR yang terkesan tertutup. Meskipun sebelumnya, pihaknya sempat diminta untuk memberi masukan pada Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Kesehatan

Namun pihaknya menilai, proses pembahasan hingga pengesahan tersebut tidak transparan. Sehingga, isu-isu penting utamanya soal perempuan mengalami hambatan dalam pengawalan. 

“Tapi sayangnya, sepertinya pembahasannya (DPR) tertutup. Sehingga kita kesulitan (mengawal) ketika ada isu-isu penting seperti perempuan,” ujar Nanda kepada Konde.co, Rabu (12/7).

Baca Juga: Aktivis: RUU Kesehatan Berpotensi Abaikan Suara Korban Kekerasan Seksual

Sementara itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengecam keras pengesahan UU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan itu. Sama seperti YKP, CISDI menilai penyusunan RUU Kesehatan ini dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. 

Beberapa indikasinya adalah dengan proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan. 

Selain itu, pengesahan ini juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiil dalam RUU Kesehatan.

Dalam keterangan resmi Menpan Rb, Ketua DPR RI Puan Maharani mengklaim, pembahasan UU Kesehatan sudah melibatkan partisipasi publik. UU ini dikatakan pula sudah komprehensif dan transformatif. Yaitu untuk mengatur upaya kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir.

“Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia,” tulisnya.

4 Masalah pada DIM RUU Kesehatan

Hingga hari ini, CISDI mencatat setidaknya empat masalah dalam draf dan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan yang kini telah disahkan. Beberapa ketentuan bermasalah ini yaitu soal penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10% dari APBN dan APBD. Serta beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan.

Selain itu, juga karena belum dilembagakannya peran kader kesehatan. Hingga belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.

“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti.” Tutur Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih dalam keterangan resminya kepada Konde.co

Tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan, menurut Diah, ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. 

Baca Juga: Sikap Orang Muda terhadap KUHP: Banyak Pasal Bermasalah dan Tidak Berkeadilan

Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, Senin, 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya. Di samping itu, publik juga belum mendapatkan penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan rancangan undang-undang ini.

“Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini,” kata Diah.

Padahal, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, ada 3 prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna. Yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)

Platform yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara. Tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini. Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK,” kata Diah kembali.

Isu Substansial yang Perlu Diperhatikan

Selain persoalan formil terkait dengan perumusan naskah RUU Kesehatan, CISDI mencatat isu substansi yang belum terselesaikan hingga rancangan ini disahkan menjadi undang-undang hari ini. 

Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD. Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.

“Realita di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujar Diah.

Kedua, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan non-upah secara layak. RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO.

Baca Juga: Aktivis: Pengesahan UU KUHP Merupakan Pukulan Mundur untuk Perempuan dan Demokrasi 

Ketiga, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang.

Berdasarkan catatan tersebut, CISDI menyampaikan beberapa sikap dan catatan. Di antaranya, mengecam keras Pemerintah dan DPR RI yang tidak melibatkan publik secara bermakna, inklusif, partisipatif, dan berbasis bukti dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.

Selain itu, CISDI juga mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.

Abai Terhadap Kelompok Rentan

Sebelumnya dalam Konde.co, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan menyerahkan DIM kepada DPR RI, sebelum disahkannya jadi UU. 

Koalisi mengungkap beberapa persoalan dalam draft RUU Kesehatan. Persoalan tersebut khususnya meliputi isu gender dan kelompok rentan. Ada dua bahasan utama dalam DIM terbaru ini, yakni (1) redefinisi dan perlindungan masyarakat rentan melalui pelayanan kesehatan non-diskriminatif serta (2) aborsi aman dan kesehatan reproduksi.

Mereka kemudian merekomendasikan perubahan sejumlah pasal, di antaranya perluasan definisi masyarakat rentan dan pentingnya layanan kesehatan yang non-diskriminatif (Pasal 27), pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum untuk memberikan rujukan bagi korban kekerasan (Pasal 88), penghapusan pidana pemasungan (pasal 453), serta pelayanan kesehatan reproduksi yang inklusif dan aborsi aman (pasal 39, 42, 43, 448). 

Para aktivis juga berharap Pemerintah dan DPR RI bisa menggali lebih dalam hambatan, kebutuhan, serta mengakomodasi pengalaman perempuan dan kelompok rentan agar dapat mewujudkan program sektor kesehatan yang lebih inklusif dan non-diskriminatif.

Adapun ruang dialog dan partisipasi publik merupakan perwujudan kolaborasi bersama Pemerintah dengan Masyarakat Sipil yang merupakan bagian dari komitmen Pemerintah mengimplementasikan prinsip Pemerintahan yang Terbuka (Open Government).

Penolakan Dokter dan Tenaga Kesehatan

Sebelumnya akhirnya disahkan, Forum dokter dan tenaga kesehatan mendorong pemerintah menghentikan pembahasan RUU Kesehatan di parlemen. Mereka mengkritik pembahasan RUU Kesehatan yang dianggap tidak memberikan ruang bagi publik untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation).

Itu dikarenakan pemerintah hanya mengumpulkan masukan publik secara kuantitatif. Tanpa mempertimbangkan poin penting dalam masukan itu seperti poin tentang penghapusan organisasi profesi dan kelembagaan sistem kesehatan. 

“Menurut pendapat kami meaningful participation masih perlu dipertanyakan, karena ada hal-hal yang fundamental tidak dimasukkan dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah atau Kementerian Kesehatan,” ujar Kuasa Hukum Forum Dokter Peduli Kesehatan Bangsa (FDPKKB), Muhammad Joni dilansir dari VOA Indonesia

Baca Juga: ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan?

FDPKKB itu terdiri dari lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Soal penghapusan organisasi profesi dan kelembagaan kesehatan tercantum dalam rumusan Pasal 14A, yang berbunyi, “Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dapat dibantu oleh lembaga.”

Joni melanjutkan, DIM RUU Kesehatan yang memuat penghapusan lembaga-lembaga seperti Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Kolegium dan organisasi profesi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, menurutnya ketiadaan lembaga ini akan merugikan publik karena tidak ada yang menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.

“Kalau tidak memiliki kelembagaan yang secara spesifik melakukan tugas-tugasnyanya. Bagaimana kita ingin memberikan perlindungan kepada tenaga medis, tenaga kesehatan kalau kelembagaan hukumnya ditiadakan,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!