Pentingnya aborsi aman bagi korban kekerasan seksual

Dipingpong: Perjuangan Korban Perkosaan Mencari Aborsi Aman

Bagaimana rasanya dipingpong, dilempar kesana-kemari ketika mengurus anak perempuan kita yang mau aborsi karena menjadi korban perkosaan? Miris, penuh air mata.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual.  

Konde.co bersama Koran Tempo dan Project Multatuli dengan didukung Yayasan IPAS Indonesia, melakukan Liputan Kolaborasi tentang ‘Perjuangan Korban Perkosaan dalam Mencari Layanan Aborsi Aman’ 

Ruang tamu berukuran sekitar 2 x 1,8 meter itu berisi rak panjang tempat menyimpan bahan-bahan membuat layangan. Di sisi kiri, gorden kain membentang menjadi pembatas dengan ruang sebelahnya. 

Di ruang itu saya menemui Abed dan Arta (bukan nama sebenarnya) pertengahan Agustus (17/8/23) lalu. Pasangan ini tinggal bersama keempat anaknya di perkampungan padat penduduk di daerah Bekasi. 

Abed dan Arta adalah pasangan suami istri yang pernah mencari layanan aborsi aman untuk Cika (bukan nama sebenarnya), anak mereka. Lantaran Cika (16 tahun) diperkosa oleh Parto (68 tahun), tetangga mereka, hingga hamil. Cika, anak dengan disabilitas intelektual yang sehari-hari beraktivitas di rumah, adalah putri ketiga pasangan tersebut.

Beralaskan tikar, Konde.co mendengarkan pasangan suami istri tersebut menceritakan sulitnya mengakses layanan aborsi aman dan mencari keadilan. Mereka sempat berulang kali bolak-balik dari kecamatan ke kelurahan, hingga tidak tahu lagi mesti kemana mesti mengadu mencari keadilan. 

Baca Juga: Hari Aborsi yang Aman untuk Perempuan

Berkat pertemuannya dengan Togu Jaya Saki Marpaung, pengacara dari kantor hukum Junifer Dame Panjaitan dan Togu Jaya Saki Marpaung, Abed dan Arta mendapat pendamping yang mau memperjuangkan kasus mereka.

Selama wawancara, Cika ikut duduk di antara ayah dan ibunya sambil sesekali mengutak-atik handphone ayahnya. Pagi itu, pengacara Abed, Togu Jayasaki Marpaung, ikut mendampingi.

Saat menuturkan peristiwa yang terjadi hampir setahun yang lalu itu, mata Arta dan Abed beberapa kali tampak berkaca-kaca. 

Perkosaan Pada Anak Dengan Disabilitas Intelektual

September 2022, Abed sedang membangun rumahnya di lantai dua. Ia mengerjakannya seorang diri, jadi waktu itu pengawasannya pada Cika jadi agak kendur. Abed biasa memanggil Cika yang ada di lantai bawah tiap beberapa menit untuk memastikan dia tidak main terlalu jauh. 

Siang di penghujung September 2022, Arta pulang usai bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dan menanyakan keberadaan Cika pada Abed.

“Yah, Cika dimana?.”

“Ada di bawah.”

Arta mencari Cika tapi tak menemukannya. Ia menyuruh suaminya turun dan mencari ke tetangga sekitar. Abed keluar rumah berjalan ke arah kiri rumah sambil memanggil nama anaknya. Selang beberapa rumah, Abed melihat Parto, tetangga mereka, berdiri di depan rumahnya.

“Tadi Cika di sini, cuma tadi terus ke arah sana,” kata Parto seperti disampaikan Abed.

Abed mengikuti arah yang ditunjuk Parto dan berjalan memutar mencari Cika tapi tak menemukannya. Dua kali Abed berputar menyusuri arah yang sama tapi hasilnya nihil. Akhirnya Ia istirahat makan dan baru mencari lagi sesudahnya. Kali ini Abed mencari dengan radius yang lebih jauh, tapi Cika tetap tak ditemukan.

Selama Abed berkeliling mencari Cika, Arta berdiri menunggu di depan rumah. Abed akhirnya menyuruh istrinya mengecek keberadaan Cika di rumah Parto. Pasalnya saat cucu Parto masih tinggal di rumahnya, Cika kadang main ke sana.

Baca Juga: Yuk, Berani Bersuara Menentang Hoaks Pembalut dan Seksisme Kesehatan Reproduksi

Saat Arta berjalan ke rumah Parto, ada dua anak kecil di depan rumah Parto yang berteriak, “Orang Cika ada di dalam!”

Mendengar itu Abed kaget dan langsung bergegas menuju rumah Parto. Tanpa babibu ia menerobos masuk mengambil Cika yang sedang duduk di pojokan dan membawanya pulang. Arta yang marah hendak menampar Parto.

“Kamu apain anak saya?,” teriaknya.

Tapi Abed berusaha menahan.

“Maksudnya apa ngebohongin gua?,” katanya dengan nada tinggi pada Parto.

Abed lantas mengomeli Parto, sedang Parto hanya bilang maaf. 

Baca Juga: Hak Aborsi Di Amerika Dicabut, Bagaimana Nasib Kesehatan Reproduksi Perempuan?

Situasinya agak memanas hingga beberapa tetangga datang dan ada yang menyarankan untuk menyelesaikan masalah mereka lewat RT. Parto menolak, Abed pun enggan. Saat itu Abed tak berpikir Parto sampai memperkosa anaknya. Usai melampiaskan kemarahannya Abed dan Arta pulang.

Setelah kejadian itu mereka tak memperbolehkan Cika keluar rumah. Seiring berjalannya waktu, mereka melihat ada perubahan pada diri Cika. Ia jadi lebih sering tidur-tiduran.

Kecurigaan Arta menguat ketika Cika terlambat haid di bulan Oktober. Arta lantas membawa Cika ke Puskesmas terdekat untuk dicek. Begitu tahu tes urine hasilnya positif, Arta lemas dan menangis. Ia lalu minta pada petugas kesehatan untuk menghentikan kehamilan Cika. 

“Bu, minta tolong, ini nggak mungkinlah. Kalau anak saya normal juga saya nggak minta yang kayak gini, saya bilang gitu. Ini korban bu, anak saya ‘kurang’, saya bilang. Gimana, kasih tahu saya dibuat apa gitu supaya bisa (aborsi). Saya minta tolong,” kata Arta pada bidan.

Meski Arta sudah memohon-mohon tapi petugas kesehatan mengatakan mereka tidak bisa melakukan tindakan tersebut. 

Baca Juga: Praperadilan Ditolak, Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Buat Laporan Baru

Arta pulang dengan perasaan campur aduk. Melihat raut muka istrinya, Abed sudah bisa menduga hasilnya. Ia menyarankan Arta untuk periksa ulang di Puskesmas di Kota Bekasi.

Arta kembali mengajak Cika ke Puskesmas, kali ini di Kota Bekasi, dua hari kemudian. Hasilnya sama. Di sana Arta malah mendapat tanggapan tak mengenakkan dari petugas kesehatan ketika ia minta kehamilan Cika diakhiri. 

“Nggak apa-apa, bu. Nggak, ini aja. Banyak kok yang kayak gitu,” kata petugas kesehatan dengan enteng seperti disampaikan Arta.

Arta bingung. Ia tidak tahu bagaimana prosedur menghentikan kehamilan tidak diinginkan yang dialami putrinya. Dia tidak tahu mesti bertanya dan minta tolong pada siapa. Apalagi petugas kesehatan di Puskesmas tidak bisa memberi solusi seperti yang ia harapkan. 

“Gimana kita mau cari apa juga kita nggak berani. Ih kek mana ini, nggak bisa. Kita minta tolong sama siapa, kita curhat sama siapa?,” tutur Arta dengan mata berkaca-kaca. 

Sulitnya Mengakses Layanan Aborsi Aman

Dalam situasi kebingungan Abed lalu bertanya pada temannya yang bekerja di kecamatan. Ia disarankan membuat laporan dan akan ada satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dari kelurahan yang mendampingi. Besoknya mereka bertemu di kantor kepala desa dan bersama-sama pergi ke Polsek Tambun.

Di Polsek Tambun petugas beralasan mereka tidak punya ahli untuk mengorek keterangan dari korban. Pasalnya mereka melihat kondisi Cika yang Down Syndrome. Petugas Polsek Tambun merujuk mereka ke Polres Cikarang. 

Abed dan Arta sempat berpikir menangguhkan laporan ke Polres Cikarang. Pasalnya akses ke Polres Cikarang tidak bisa ditempuh memakai sepeda motor dengan bonceng bertiga. Sementara untuk menyewa mobil butuh biaya besar. Mereka tidak sanggup.

Persoalan biaya ini membuat mereka sempat surut untuk melanjutkan proses hukum. Karena untuk bolak-balik ke kantor polisi butuh biaya transportasi. Tapi mereka juga tidak bisa membiarkan pelaku bebas berkeliaran setelah perbuatan yang ia lakukan.

“Maju mundur, Mbak. Mondar-mandirnya mikirin uang. Mau ngomong, malu. Kayak gini kan malu, Mbak, kalau buat kita yang nggak pernah tahu yang begini gitu, gimana kita mau ngomongnya ya? Semua tahu nanti. Tapi kalau nggak dilaporin enak banget gitu. Mau lapor, nggak ada uang buat jalan. Diam lagi di rumah, meratap lagi. Duh, gimana ya?,” ungkap Arta.

Selang beberapa hari Abed membuka handphone dan membaca status Togu Jayasaki Marpaung, seorang pengacara yang ia kenal. Abed segera menghubungi Togu dan bikin janji untuk bertemu. Akhirnya Togu dan Junifer bersedia jadi pendamping hukum Abed dan Arta. 

Baca Juga: Pentingnya Reclaiming Safe Space, Aktivis Adakan Asean People’s Forum untuk KTT ASEAN 2023

“Rekan saya Togu menghubungi saya, ada warga kurang mampu yang butuh pengacara, gitu katanya. Lalu datanglah kami dengan harapan Cika bisa mendapat keadilan,” kata Junifer yang ditemui Konde.co pada Senin (14/8/23) di Bareskrim Mabes Polri. 

Setelah berdiskusi dengan tim pengacara, Abed dan Arta melapor ke Polres Cikarang. Mereka diarahkan untuk membuat visum di RSUD Cibitung. Proses ini berlangsung selama 2 hari. Saat itu tak ada pemeriksaan infeksi menular seksual (IMS).

Mereka lalu berdiskusi lagi, Abed merasa tidak bisa melanjutkan laporan di Polres Cikarang karena akses transportasinya sulit sehingga jadi mahal. Apalagi proses laporan mengharuskan mereka datang ke kantor polisi tidak hanya sekali dua kali.

Baca Juga: Sudahkah Kebijakan Aborsi di Indonesia Jamin Perlindungan Hak Perempuan atas Tubuhnya?

Pengacara menyarankan untuk membuat laporan di Polda Metro Jaya. Dari segi transportasi lebih aksesibel dengan kereta rel listrik. Jadi untuk ke sana mereka bisa berboncengan bertiga sampai stasiun lalu Arta dan Cika bisa melanjutkan dengan kereta.

“Jadi secara finansial nggak terlalu boros kalau ke Polda Metro dibandingkan ke daerah Cikarang. Apalagi Cika badannya besar, kalau satu motor bertiga dengan orang tuanya, risiko kecelakaan sangat besar. Makanya saya dan orang tua korban lanjut (lapor) ke Polda Metro,” jelas Togu.

Didampingi pengacara, Abed dan Arta melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap Cika ke Polda Metro Jaya pada 16 November 2022. Laporan mereka diterima unit PPA Polda Metro Jaya. Mereka diminta melakukan visum di RS Polri Kramat Jati. Kasus tersebut ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan.

Seiring dengan proses hukum yang berjalan, Abed dan Arta berupaya mengakses layanan aborsi aman untuk Cika.

“Yang saya butuhkan, kami minta si Cika kalau bisa ‘bersih’ gitu ya. Terus yang pelaku ini juga bisa ditangkap,” ujar Abed.

Dari informasi yang mereka dapat, fasilitas kesehatan yang bisa memberikan layanan aborsi aman adalah Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Mereka pun mendatangi rumah sakit yang terletak di bilangan Jakarta Pusat tersebut.

Baca Juga: Aktivis Kecam UU Kesehatan: Tidak Transparan, Abaikan Kelompok Rentan

Junifer dan Togu tak hanya jadi penasihat hukum, mereka juga mendampingi Abed dan Arta untuk mengakses layanan aborsi aman. Pada kunjungan pertama mereka ditemui seorang dokter untuk berkonsultasi soal niat mereka mengakses layanan aborsi aman bagi Cika. Di kunjungan awal pada 22 November 2022 mereka menggunakan jalur mandiri atau dengan biaya sendiri dibantu pengacara.

“Kalau aku pribadi sih tujuanku ke situ memang aku mau segera ditangani gitu. Itu aja yang jadi fokus aku. Aku pengen ini ‘bersih’, gitu aja. Jadi, untuk proses-prosesnya kita ngikut aja,” ujar Arta.

Ia mengungkapkan waktu itu mereka dibantu oleh Junifer untuk menjelaskan pada dokter soal keinginan mereka mengakses layanan aborsi aman. Dokter tersebut mengarahkan mereka untuk menemui dokter obgyn, yang dijadwalkan beberapa hari kemudian. Ketika bertemu dengan dokter obgyn, mereka kembali ditanya soal maksud mereka. 

“Anak saya kan seperti ini, kita periksa ini ya kalau bisa ‘dibersihin’ gitu. Masa iya dia harus melahirkan dengan kondisi seperti ini. Orang untuk dirinya sendiri aja, dia nggak ngerti,” kata Abed menjawab pertanyaan sang dokter.

Menurut Abed ketika itu dokter mengatakan mereka bisa mengakses layanan tersebut, tapi dalam prosesnya ada tim yang akan menentukan. Mereka lalu diarahkan ke bagian psikiatri forensik untuk menjalani sejumlah pemeriksaan.

Baca Juga: Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS, Pemerintah Janji Perjuangkan Masuk RKUHP

Minggu berikutnya mereka datang ke bagian psikiatri yang ada di gedung lain. Abed kembali harus menjelaskan tujuan mereka. Mereka kemudian diberi tawaran solusi kalau misalnya kehamilan Cika dilanjutkan, bayi yang nanti dilahirkan bisa dititipkan ke dinas sosial.

Abed menanggapinya dengan mengatakan tidak masalah hanya saja dia minta diajari caranya menjelaskan pada anak-anaknya dan menjawab pertanyaan teman-teman anaknya soal kondisi Cika. 

“Tolong ajarkan gimana caranya anak saya untuk menjawab pertanyaan dari temannya. Jangan cuma saya doang yang dikasih tahu seperti itu, ajarkan juga mereka,” kata Abed kepada sang dokter.

Menurut Abed waktu itu dokter tidak menjawab pertanyaannya. Di bagian psikiatri forensik ini Cika menjalani sejumlah tes dan pemeriksaan. Di antaranya ia diminta menggambar sejumlah objek seperti manusia, rumah dan pohon.

“Rupanya Down Syndrome itu ada tingkatannya, makanya disuruh gambar itu untuk tahu dia ada di tingkat mana. Kalau dia nggak bisa berarti dia ada di tingkat ini, atau di bawahnya lagi, di bawahnya lagi, gitu. Makanya mereka kasih soal-soal seperti itu. Kalau kita sendiri begitu ngeliatin ini karena kita udah tahu Cika nggak bisa dikasih kayak gitu, ya otomatis mikir ini Cika pasti nggak bisa, gitu,” ujar Abed.

Ada sekitar 3 kali pertemuan yang mereka jalani di bagian psikiatri forensik sekali seminggu. Pada pertemuan terakhir, mereka sempat diinformasikan kalau salah satu dokternya sedang di luar negeri. Abed lantas pulang duluan dengan sepeda motor. Akhirnya hanya Arta yang menemui dokter karena Abed sudah terlanjur pulang.

Arta bertemu tim yang terdiri dari 5 orang dokter. Mereka menginformasikan tindakan aborsi tidak bisa dilakukan karena usia kehamilan sudah lebih dari batas waktu yang diberikan undang-undang. Sempat terlontar juga kalau ada surat keterangan dari kepolisian, baru mereka bisa melakukannya.

Baca Juga: RUU TPKS Dikebut Agar Cepat Disahkan, Aktivis Perempuan: Awas Ada Bolong dalam Implementasinya

Ketika Abed dan Arta menyampaikan soal permintaan surat keterangan ke kepolisian, mereka balik ditanya tentang keputusan dokter. Waktu itu Kanit PPA Polda Metro Jaya sempat menelepon seseorang. Pada akhirnya karena batas waktunya sudah terlewati, mereka tidak bisa mendapatkan layanan aborsi aman.

Togu menyayangkan tidak adanya koordinasi antar lembaga dalam kasus ini. 

“Jadi membuat bingung keluarga korban. Seharusnya sesama mereka saling diskusi kan, jadi kita hanya mendapatkan jawaban. Nah ini pesan dari mereka harus kita sendiri yang menyampaikan. Sedangkan sudah kita sampaikan, ditanya lagi, memang dari sana seperti apa pesannya? Jadi keluarga korban jadi bingung,” ujarnya. 

Setelah proses panjang dijalani, tahap demi tahap diikuti dengan harapan bisa mendapat akses, ternyata keputusan tim tak seperti yang diinginkan.

Abed dan Arta merasa seperti diberi harapan dan dipingpong.

Prosedur Layanan Aborsi Bagi Korban Perkosaan 

Pengacara keluarga korban berpendapat proses yang harus dijalani korban perkosaan untuk mengakses layanan aborsi aman sangat panjang dan berbelit. Sementara aturan yang ada memberi batasan dengan usia kehamilan yang cukup singkat. Pada kasus yang terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual mestinya ada prioritas.

“Seharusnya yang namanya rumah sakit terbesar di Indonesia bisa membantu korban pemerkosaan, khususnya anak dengan disabilitas intelektual. Itulah yang diutamakan, tapi ini kenapa dibuat berlarut-larut prosesnya, seharusnya step by step-nya bisa cepat,” ujar Togu.

Prosedur pemeriksaan yang panjang dalam pandangan Junifer seolah-olah menunjukkan tidak ada keberpihakan pada korban perkosaan. “Prosedur itukan bisa dikecualikan karena hal yang sangat mendesak, tapi mereka tidak ada sama sekali membantu. Jadi di negara ini saya katakan korban pemerkosaan tanggung aja sendiri,” katanya.

Pedoman teknis tentang pelaksanaan layanan aborsi ada dalam Permenkes 3/2016. Korban perkosaan yang akan melakukan aborsi perlu membuktikan kehamilannya akibat perkosaan dengan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Keterangan ini bisa didapat saat membuat laporan ke kepolisian atau lembaga pengada layanan.

Korban juga harus membuktikan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter. Selain itu korban juga harus menjalani konseling pratindakan dan pascatindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Kalau hasil konseling pratindakan menunjukkan korban perkosaan siap menjalani tindakan, konselor memberikan surat keterangan konseling. 

Kalau ada kondisi medis tertentu pada kehamilan akibat perkosaan, tim kelayakan aborsi bisa melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaannya berupa surat kelayakan aborsi. Setelah semua syarat tersebut dipenuhi, korban perkosaan bisa mendapatkan tindakan aborsi. 

Baca Juga: Indonesia Dalam Kondisi Darurat Kekerasan Seksual: Lihat Kematian NWR di Mojokerto

Caption: Syarat Mendapatkan Tindakan Aborsi Bagi Korban Perkosaan

Tapi semua prosedur ini bisa berjalan kalau Kementerian Kesehatan, pertama, sudah menunjuk fasilitas pelayanan kesehatan yang bertugas sebagai penyelenggara layanan. Kedua, menyelenggarakan pelatihan yang terakreditasi untuk dokter yang akan memberikan layanan. 

Sayangnya sejak UU Kesehatan disahkan pada 2009 dan Permenkes diterbitkan pada 2016, hingga hari ini pemerintah belum menunjuk institusi kesehatan yang menjadi penyelenggara layanan. Pelatihan bagi dokter yang akan memberikan layanan aborsi aman juga masih terbatas. 

Sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSCM kerap menerima permintaan layanan aborsi untuk kasus perkosaan atau dianggap perkosaan. RSCM menangani kasus-kasus yang memang sudah diduga perkosaan dan pasien sebelumnya sudah minta ke RS tertentu. Tapi RS tertentu tersebut tidak bisa atau tidak tahu, sehingga dirujuk ke RSCM.

“Karena kita rujukan nasional di mana banyak rumah sakit atau pusat kesehatan gamang untuk memutuskan boleh atau tidak,” kata dokter JM Seno Adjie, Ketua Koordinator Pelayanan Obgyn RSCM. 

Pada perempuan dan anak dengan disabilitas yang mengalami perkosaan hingga hamil, prosedur yang dijalani untuk mendapatkan layanan aborsi berlaku sama. Dokter Oktavinda Safitry yang akrab disapa dokter Idhoen dalam sebuah diskusi yang diadakan IPAS (29/8/23) menjelaskan standar atau proses pemeriksaannya kurang lebih sama. Tapi pendekatannya atau teknik anamnesisnya berbeda. 

Pada anak dengan disabilitas intelektual perlu dicek apakah kasusnya ada kasus baru atau tidak. Kalau tidak ada kasus baru bisa coba dilakukan asesmen psikiatri. Tapi kalau ada indikasi kasus baru perlu pemeriksaan fisik, genitalia, dan sebagainya untuk pembuktian. Setelah itu bisa dilakukan pemeriksaan psikiatri.

Baca Juga: Kim Seon Ho Pelaku Kekerasan Seksual, Stop Normalisasi pada Selebritas

Kalau laporan baru dibuat setelah korban hamil, prosedur pemeriksaannya juga sama. Perlu pemeriksaan fisik untuk melihat beberapa hal. Seperti tumbuh kembangnya, hambatan yang mungkin dihadapi, usia kehamilannya, apakah bisa membahayakan proses tumbuh kembangnya, apakah harus dilanjutkan atau mau diterminasi/dihentikan kehamilannya.

Untuk proses terminasi prosedurnya sama. Sementara kalau tidak bisa diterminasi karena sudah lewat 14 minggu misalnya, korban dan keluarganya perlu diberikan konseling.

Bagi perempuan dan anak dengan disabilitas, persetujuan atau consent atas tindakan aborsi jadi hal yang penting. Termasuk pada anak dengan disabilitas intelektual, menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu kepada Konde.co (1/8/23).

Dalam proses penyelidikan kasus tersebut HWDI dilibatkan Polda Metro Jaya untuk membantu mendapatkan informasi dan persetujuan dari korban. Maulani menjelaskan ada berbagai macam akomodasi yang layak yang diberikan untuk mendapatkan persetujuan.

“Tentu saja nomor satu adalah kita mengedukasi beliau terkait dengan kondisinya gitu ya. Jadi kita mengedukasi tentang apa sih sebenarnya kehamilan gitu ya,” kata Maulani.

Selanjutnya HWDI mempertemukan ibu korban dengan sesama orang tua penyandang disabilitas intelektual yang sudah terlatih pada penanganan kasus serupa.

Edukasi tersebut diberikan dengan bahasa ibu. Ini biasa dilakukan dengan mendampingi si ibu untuk memberikan penjelasan kepada anaknya. Karena anak dengan disabilitas intelektual biasanya berbicara dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Atau dia menggunakan gambar dan video maupun menyampaikan melalui orang terdekatnya seperti ibu dan kerabat lainnya. Dengan kata lain si anak biasanya lebih cepat memberikan respons kepada ibu, ayah atau kakak dan adiknya ketika berbicara.

Keguguran Karena Jatuh

Sesudah upaya mereka mengakses layanan aborsi aman menemui jalan buntu, Abed dan Arta berusaha mencari cara lain. Abed mencari tahu di internet dan menemukan informasi soal obat yang dijual di Pasar Pramuka. 

Berbekal uang 200 ribu Abed dan Arta pergi ke pusat grosir obat dan alat kesehatan di daerah Matraman. Setelah berputar dan bertanya, beberapa orang menyebutkan harga 1,5 hingga 2,5 juta.

Abed hanya bisa garuk-garuk kepala. Ia juga tidak tahu apakah obat yang ditawarkan tersebut asli atau palsu. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang dengan tangan hampa.

Sebelumnya mereka mampir dulu ke tempat kakaknya, berharap bisa mendapat jalan keluar. Mereka mendapat informasi ada tempat untuk melakukan aborsi di daerah Jakarta Timur. Tapi besoknya setelah dicek, Abed mendapat kabar tempat tersebut sudah tutup.

Pudar sudah harapan Abed dan Arta.

Pergumulan batin mereka makin berat mengingat natal sebentar lagi tiba. Keluarga besar mereka punya kebiasaan berkumpul pada perayaan natal.

Abed dan Arta tidak tahu bagaimana mereka harus menghadapi momen tersebut dengan kondisi Cika saat itu. Mereka hanya bercerita tentang kasus Cika pada saudara yang sekiranya bisa membantu dan masih menyembunyikannya dari keluarga besar.

Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, mereka berdoa, berserah pada Tuhan.

“Kita kan tadinya mau jalur secara legal gitu ya. Kita ikutin prosesnya, kita udah usaha sebagai manusia. (Ternyata) nggak bisa. Udah lah, udah gak tahu lagi mesti gimana. Ya, pertolongan Tuhan tepat pada waktunya,” tutur Arta. 

Pagi itu sehari menjelang Natal, Cika tiba-tiba keguguran. Beberapa hari sebelumnya dia jatuh terpeleset tapi kakaknya tidak cerita. Saat jatuh, Cika hanya berdua dengan kakaknya. Abed dan Arta sedang tidak di rumah kala itu.

Sorenya Arta membawa Cika ke rumah sakit di Cibitung. Dokter mengecek dengan USG dan terlihat sudah tidak ada janin di perutnya. Ia lalu meresepkan obat.

Sulitnya Mencari Aborsi Aman di Daerah

Jalan penuh liku menjalani kehamilan akibat perkosaan juga dilalui N (14), seorang pelajar SMP di salah satu kecamatan di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). N diperkosa oleh orang dewasa yang jadi pengurus Masjid di kampungnya. Pelaku sendiri sudah punya istri dan anak.

Saat ketahuan hamil, pada awal tahun 2022, N mencoba menggugurkan kandungannya karena stres dan depresi. Namun tidak berhasil padahal sudah minum obat.

“Saya ingin gugurkan kandungan. Saya sudah minum obat Bodrex dan pijat. Tapi tidak bisa mempan,” ungkap N. 

Karena perut N terus membesar, Ia lalu melaporkan kejadian itu ke orang tuanya. Orang tua lalu melaporkan kasus kekerasan seksual itu ke Polres Sumbawa. Akibat pelaporan ini, pelaku T (40) ditangkap dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara di Pengadilan Negeri Sumbawa. Pelaku memang diadili, namun tidak mengurangi trauma yang diderita N. Remaja itu mengalami depresi.

“Saya sempat putus asa. Usai melahirkan, saya tidak punya cita-cita lagi. Saat kembali bersekolah, pikiran saya tidak fokus belajar,” kata N.

Perempuan lain bernama L (17). Ia pernah menjalani pemulihan trauma dan rehabilitasi di NTB pada 2022 karena keguguran setelah aborsi tidak aman yang dilakukan keluarganya setelah L hamil. Awalnya remaja itu enggan berbagi. Ia terus terisak.

Kekerasan seksual yang dilakukan sang pacar membuatnya menjalani masa sulit. Saat bentuk tubuhnya berubah dan perutnya membesar, nenek L memberinya ramuan-ramuan hingga akhirnya dia pendarahan dan dirujuk ke Puskesmas. Dokter merujuk L tinggal dan menjalani pemulihan. 

Lima bulan di sana, namun trauma masih membayangi dirinya. 

“Saya sudah kuliah sekarang. Saya berusaha berdamai dengan masa lalu,” kata L.

Baca Juga: Perempuan Amerika Kembali Mendapat Akses Seluasnya Untuk Kesehatan Reproduksi

Perempuan dan anak perempuan memiliki kerentanan berlapis ketika negara tidak melindungi korban perkosaan dan kekerasan seksual secara penuh. Sebagai korban perkosaan, kehamilan mereka diketahui saat ada perubahan bentuk tubuh dengan usia kehamilan di atas 4 bulan atau melebihi 120 hari. Usia tersebut sudah melewati batas yang ditetapkan UU Kesehatan, yaitu 6 minggu dihitung sejak haid terakhir.

Dampaknya, penyintas harus berhenti sekolah dan melahirkan pada usia dini karena tak ada jalan mendapatkan akses aborsi aman. Tentu saja setelah usaha menghentikan kehamilan tidak berhasil, hal ini makin menambah risiko kerentanan hingga kematian ibu akibat kehamilan yang tidak diinginkan.

Kabid Humas Polda NTB, Kombes Arman Asmara Syarifuddin, saat dikonfirmasi Kamis (3/8/2023) mengatakan, saat ini aturan yang digunakan polisi di NTB terkait penanganan kasus aborsi masih mengacu pada UU Kesehatan 36/2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Perlindungan Anak 35/2014.

“Kaitan batasan waktu, aborsi bagi korban perkosaan masih 6 minggu sesuai Pasal 75 UU Kesehatan Tahun 2009,” ucap Yasmara.

Ia mengakui ada Undang-Undang Kesehatan yang baru dan KUHP baru mengatur batas waktu diperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan tetapi aturan itu masih belum berlaku. 

“Sekarang belum berlaku, nanti tahun 2026 baru berlaku,” kata Yasmara.

Saat ditanya mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus di kepolisian, Ia mengatakan masih menggunakan prosedur perlindungan anak. Ketika korban hamil, proses hukum tetap berjalan. Korban akan mendapatkan rehabilitasi di panti sosial Sentra Paramitha dan anaknya diadopsi negara. 

Baca Juga: Argentina Sahkan Aborsi, Aktivis Sambut Pro Choice Perempuan

Sejauh ini, Ia menyebutkan belum ada SOP untuk layanan aborsi aman korban perkosaan dari kementerian kesehatan. Proses hukum tetap dilanjutkan penyidik bagi tersangka dan korban akan meneruskan kehamilan.

Saat ada kasus kehamilan akibat perkosaan, penyidik akan mengeluarkan surat rekomendasi agar korban bisa menjalani pemulihan trauma, rehabilitasi sosial hingga melahirkan di Sentra Paramitha Mataram. Demikian disampaikan Kasubnit I Unit IV Satreskrim Polres Kota Mataram, Aiptu Sri Rahayu.

Aiptu Sri Rahayu menyatakan, sebenarnya aborsi bagi korban perkosaan dibolehkan tapi dilihat dulu usia kandungannya. Jika dokter melihat ada indikasi medis yang mengancam nyawa ibu dan janin, pasti dilakukan aborsi selama belum melewati batas waktu sesuai undang-undang yaitu 6 minggu. Tetapi harus ada laporan dulu ke kepolisian.

“Untuk aborsi kasus perkosaan sepanjang saya di sini belum ada di Polres Kota Mataram,” ucap Sri.

Kasus aborsi tidak aman di Kota Mataram saat ini cenderung meningkat. Hal ini disampaikan Kasubnit I Unit IV Satreskrim Polres Kota Mataram, Aiptu Sri Rahayu. 

“Setiap tahun selalu ada kasus aborsi. Kasus penemuan bayi baru lahir yang dibuang orang tuanya juga kerap terjadi,” kata Sri. 

Baca Juga: Aktivis: Pengesahan UU KUHP Merupakan Pukulan Mundur untuk Perempuan dan Demokrasi 

Peristiwa aborsi tidak aman itu terkuak dengan beragam motif. Ada yang meminum pil aborsi, pijat dan jamu. Obat biasanya dibeli secara online.

“Obat itu diyakini bisa menggugurkan kandungan. Padahal sering kali obat itu oleh oknum disalahgunakan,” sebut Sri. 

Jadi untuk abosi aman ini, polisi masih berkutat pada aturan dan seringkali masih menyebut korban sebagai oknum karena aturan tersebut.

Kenapa banyak kasus aborsi tidak aman?

Untuk kasus di Mataram, sebenarnya pelaku bukan penduduk Mataram, mereka kebanyakan adalah pendatang. Kehamilan yang tidak diinginkan. Banyak penduduk pendatang, inilah yang membuat aborsi tinggi di Mataram. 

Penanganan terpadu kasus kekerasan seksual sambung Sri, sudah ada kerja sama dengan petugas kesehatan. Setiap ada perbuatan yang mengarah pada pidana pasti dilaporkan. Satu pintu jika penanganan kasus terpusat di Unit PPA Polresta Mataram.

Menurutnya, kepolisian mulai menggencarkan sosialisasi bahaya aborsi setelah adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Baca Juga: Riset Konde.co: Bagaimana Media Memandang Tubuh Perempuan dan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan

“Kami sosialisasi ke sekolah, kampus dan masyarakat terkait bahaya aborsi,” sebut Sri.

Sulitnya akses atas aborsi aman membuat korban mencari aborsi tidak aman yang berisiko bagi kesehatannya. Ketika korban masih usia sekolah sering kali ia mengalami hambatan untuk melanjutkan sekolah.

Seperti yang dialami A (14 tahun) di Jombang, Jawa Timur seperti dituturkan Ana Abdillah, Direktur WCC Jombang.

A adalah korban kekerasan dalam pacaran hingga mengalami kehamilan tidak diinginkan dan berupaya melakukan aborsi. Dalam kebingungannya, A mencari informasi di internet. Ia lalu mencoba tidur tengkurap, menekan perutnya, minum soda dan minuman beralkohol, tapi tak berhasil.

Akhirnya A melahirkan pada dini hari (27/7/21) di kamar mandi rumah neneknya. Lalu janinnya dibuang di sungai. Pendamping dan petugas P2TP2A berupaya agar A tidak ditahan penyidik.

“Jadi waktu dibawa ke RSUD untuk menjalani visum, dia ada infeksi di vaginanya karena nggak aman itu tadi,” ungkap Ana (31/7/23).

Pelaku (M) diproses hukum dan A harus menjalani sidang pemeriksaan sebagai saksi korban. M dipidana 2 tahun 8 bulan penjara dan menjalani 3 bulan pelatihan kerja. A tidak jadi ditetapkan sebagai tersangka. Namun ia tetap dikenai wajib lapor seminggu sekali.

A melanjutkan sekolahnya hingga lulus, meski gurunya sempat terus menanyakan kapan ia akan pindah. A juga mengikuti program trauma healing yang diadakan WCC Jombang. Lulus SMP, A melanjutkan ke bangku SMA. Saat ia bergabung di OSIS muncul gosip tentang kasus yang pernah dialaminya. Ia merasa dikucilkan dan tidak nyaman.

“Dia sempat sekolah tapi lingkungan tidak mendukung. Yang ada di sekolah korban terus mendapat stigma,” papar Ana.

Aturan Baru dan Tantangannya

Kebingungan Arta, N, L, atau A dapat dipahami, pasalnya pembicaraan soal aborsi di Indonesia masih dipenuhi stigma akibat kuatnya balutan moral dan agama. Aturan yang ada menyebutkan aborsi pada dasarnya dilarang di Indonesia kecuali dilakukan dalam kondisi tertentu. Kebijakan soal aborsi sendiri mengalami sejumlah perubahan.

Awalnya pengecualian ini diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ada dua kondisi yang membolehkan seorang perempuan melakukan aborsi. Pertama, jika ada indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin. Kedua, jika kehamilan tersebut akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.

UU Kesehatan 2009 ini diikuti dengan terbitnya sejumlah aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini menjelaskan lebih detail tentang penyelenggaraan aborsi yang aman.

Aturan lainnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

Untuk tindakan aborsi pada korban perkosaan, PP 61/2014 memberikan batasan waktu hingga usia kehamilan tidak lebih dari 40 hari. Batasan ini dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Baca Juga: Laki-laki Punya Peran Ciptakan Kesetaraan Gender, Mulai Darimana?

Batasan waktu yang jadi syarat pengecualian ini dinilai terlalu singkat, sehingga sulit dalam praktiknya. Apalagi pada korban perkosaan dan kekerasan seksual yang biasanya baru mengetahui kehamilannya di atas 40 hari.

Selain itu persyaratan bagi kelayakan tindakan aborsi juga butuh proses yang cukup panjang. Karena itu poin ini jadi salah satu hal yang banyak disorot aktivis kesehatan reproduksi dan Komnas Perempuan. Demikian pernyataan Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan pada Konde.co (18/8/23).

“Biasanya korban perkosaan itu kan kita tahu ya, bahkan ketika dia sudah melapor, dalam prosesnya untuk memenuhi segala persyaratan administratif itu yang kemudian menyebabkan usia kehamilannya bisa lebih dari 40 hari,” kata Satyawanti.

Sebenarnya PP 61/2014 juga mengatur soal kontrasepsi darurat bagi korban perkosaan. Kontrasepsi darurat bisa diberikan pada korban perkosaan tidak lebih dari 72 jam setelah terjadinya hubungan seksual untuk mencegah kehamilan, hal ini disampaikan Elisabet Widyastuti, Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah yang ditemui pada (25/7/23). 

Baca Juga: Perempuan Korban Perkosaan Hadapi Hambatan Akses Aborsi Aman

Namun ternyata rumah sakit yang memberikan layanan untuk PPA tidak menyediakan pil kontrasepsi darurat. Ini lantaran BKKBN yang berperan sebagai pemasok juga tidak menyediakan pil tersebut. Padahal idealnya di layanan paling dasar baik itu Puskesmas ataupun layanan-layanan yang terdekat pil ini mestinya tersedia.

Pil kontrasepsi darurat sebenarnya juga bisa didapatkan di apotek, tapi harus dengan resep dokter. Masalahnya kadang tidak mudah mendapatkan resep tersebut. 

“Kadang-kadang untuk mendapatkan resep dokter ini, klien kesulitan karena kembali lagi ke value dokternya. Dokternya paham nggak kalau ini sebenarnya kontrasepsi, bukan abortivum gitu ya,” ujar Elisabet. 

Ada juga kekhawatiran pil tersebut akan dipakai berulang. Singkatnya balutan moral masih sangat lekat untuk pemberian obat ini padahal mestinya sangat gampang. Bahkan pil kontrasepsi darurat bisa diganti dengan pil KB biasa dalam jumlah tertentu. 

Bagi korban dengan disabilitas intelektual, seperti pada kasus Cika, penggunaan kontrasepsi darurat ini menjadi tidak memungkinkan. Pasalnya korban sering kali tidak menyadari kekerasan seksual yang dialaminya. Terkadang dia juga kesulitan menunjuk pelakunya. Itu sebabnya pada banyak kasus, biasanya tindakan kekerasan seksual yang dialami baru diketahui beberapa waktu setelahnya.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Eksistensialis Perjuangkan Seksualitas Perempuan

Karena itu muncul upaya advokasi mendorong perpanjangan batas usia kehamilan untuk aborsi. Mengacu pada organisasi kesehatan dunia (WHO), aborsi dimungkinkan hingga usia kehamilan 28 minggu. ICJR, lembaga yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana termasuk yang mengusulkan batas usia kehamilan bagi korban perkosaan hingga 28 minggu. 

Namun dari diskusi dengan Yayasan IPAS dan tenaga kesehatan, rekomendasi untuk rancangan KUHP berubah jadi 14 minggu. Lantaran untuk tindakan aborsi hingga 28 minggu perlu didukung sistem kesehatan yang baik, sedang kondisi di Indonesia belum memungkinkan.

“Makanya kita rekomendasi yang sifatnya lebih mudah dan bisa diterapkan dan itu kan berbasis obat saja. Jadi yang bisa disediakan di Indonesia,” jelas Maidina Rahmawati, peneliti ICJR.    

Hingga akhirnya aturan baru soal ini ada dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Batas usia kehamilan untuk melakukan aborsi diperpanjang jadi 14 minggu. 

Pengaturan tentang pengecualian larangan aborsi dalam KUHP 2023 juga mengalami perluasan. Ia tidak hanya berlaku bagi korban tindak pidana perkosaan tapi juga korban tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Poin terakhir mencakup pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual, dan/atau perbudakan seksual.

Tapi ketentuan dalam KUHP 2023 ini baru berlaku tiga tahun setelah diundangkan atau pada 2026. Aturan soal aborsi ini kemudian diselaraskan dengan UU Kesehatan yang baru yakni UU No.17 Tahun 2023. Perubahan dalam UU Kesehatan 2023 ini akan berimplikasi pada aturan turunan yang nanti disusun.

Baca Juga: Film Never Rarely Sometimes Always, Pergulatan Perempuan Putuskan Aborsi

Caption: Aturan tentang Pengecualian Aborsi di Indonesia

Dari paparan soal aturan mengenai aborsi tersebut kita bisa melihat pada kasus Cika, N, L, dan A ketentuan yang berlaku adalah UU Kesehatan 2009. Batas usia kehamilan untuk tindakan aborsi yang diperbolehkan adalah 40 hari. 

Meski aturan baru soal aborsi sudah ada dengan batas waktu tindakan yang lebih panjang, sejumlah pekerjaan rumah masih jadi catatan. Selain penunjukan fasilitas kesehatan dan pelatihan bagi dokter, situasi khusus pada korban dengan disabilitas intelektual perlu jadi perhatian khusus.

Cika, juga Abed dan Arta adalah salah satu yang merasakan dampak dari abainya pemerintah dalam menyediakan layanan bagi korban kekerasan seksual. Aturan yang ada dirasa belum ramah bagi anak dengan disabilitas.

Bagi Abed undang-undang yang ada selama ini hanya pemanis saja. Pasalnya ia hanya bisa diterapkan pada orang-orang dengan kondisi normal. Sementara bagi orang-orang dengan kemampuan berbeda, aturan tersebut tak ada artinya.

“Jadi undang-undang yang dibikin selama ini, bagi saya itu hanya pemanis. Itu hanya untuk orang-orang yang bisa ngasih tahu. Hari itu dilecehkan, hari itu tindakan. Sedangkan kondisi anak saya, untuk nunjuk orangnya (pelaku) aja kagak ngerti, diapain, diapain, dia kagak bisa ngasih tahu gitu,” ungkap Abed.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun Aliansi Perempuan Bangkit: Kebijakan Pemerintah Makin Jauh Dari Cita-Cita Perempuan

Walaupun KUHP 2023 menyebutkan tindakan aborsi bisa dilakukan hingga batas usia kehamilan 14 minggu, Abed dan Arta merasa pesimis. Pada sejumlah kasus kekerasan seksual pada anak dengan disabilitas intelektual biasanya baru diketahui ketika sudah terjadi kehamilan.

“Iya kan pemeriksaan-pemeriksaan yang kayak gitu kan (makan) waktu gitu. Jadi kalau ngikutin, walaupun dibilang 14 minggu, ya nggak bakalan kekejar kalau seandainya kasusnya seperti kami ya. Begitu ketahuan habis itu nggak langsung lapor, karena kita nunggu proses kan, nunggu istilahnya nggak bisa asal tuduh kan. Soalnya nggak ada saksi, nggak ada bukti kan pada saat kejadian itu,” ujar Arta.

Pandangan KUPI soal Aborsi

Soal batas usia kehamilan untuk tindakan aborsi, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) punya pandangan yang berpihak pada perempuan.

Pada November 2022, KUPI mengeluarkan fatwa perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan.

Baca Juga: Perdebatan Soal Aborsi yang Selalu Terjadi

Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, Masruchah menjelaskan (6/8/23) Islam memandang perlindungan jiwa sebagai prinsip dasar dalam kehidupan manusia. Terkait tindakan kekerasan seksual termasuk perkosaan, agama apapun dan Islam secara khusus melarang. Ini lantaran perkosaan adalah tindakan zalim yang membahayakan jiwa perempuan.

Perlindungan jiwa pada perempuan korban perkosaan ini terkait soal hak hidup. Hak hidup yang dimaksud adalah hak hidup perempuan korban perkosaan, dialah yang menjadi pertimbangan utama.

Ketika perempuan korban mengalami kehamilan akibat perkosaan, keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri kehamilan ada pada perempuan tersebut. Kalau dia menghendaki penghentian kehamilan atau aborsi, maka dia harus mendapat perlindungan. Perlindungan ini antara lain berupa layanan aborsi aman yang menjadi mandat negara.

Terkait usia kehamilan untuk tindakan aborsi, KUPI tidak menetapkan batasan tertentu. Masruchah mengatakan pemaknaannya dikembalikan kepada korban, yang terbaik untuk korban. Ia mengungkapkan meski ada pandangan yang mengatakan batasannya sebelum 120 hari, tapi ada juga pandangan yang menyatakan bahkan lebih dari itu.

“Misalnya pas masa 4 bulan dia masih bisa menanggung gitu, tetapi praktiknya setelah itu karena stigma, tekanan sosial, politik, dan seterusnya membikin traumanya makin besar dan dia nggak sanggup untuk terus dilanjutkan misalnya, ya kembali kepada korban karena konteks tadi, perlindungan,” tegasnya. 

Baca Juga: Aktivis: RUU Kesehatan Berpotensi Abaikan Suara Korban Kekerasan Seksual

Namun ia tidak menampik adanya kemungkinan dampak pada kondisi kesehatan reproduksi. Karena itu menurutnya terbuka ruang dialog antara ruang pandangan keagamaan dengan ruang medis. Tapi ketiadaan layanan juga standar layanan yang tidak merata serta minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan bukan alasan pembenar bagi pembiaran terhadap korban. 

Merujuk WHO, aborsi aman dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode medis (medical abortion) dan metode bedah (surgical abortion). Aborsi medis dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat-obatan (mifepristone dan/atau misoprostol) baik yang diminum secara oral atau melalui vagina. Sedang aborsi melalui pembedahan dilakukan dengan menggunakan vacuum aspiration baik manual ataupun elektrik, dan dilatation and evacuation.

Di tengah tatalaksana aborsi yang belum ada, aborsi medis menjadi cara yang aman dan relatif mudah bagi perempuan untuk mengakses layanan. Seperti diakui Amalia Puri Handayani, Koordinator Helpdesk Women on Web, organisasi yang menyediakan akses layanan aborsi aman secara online.

Amalia mengungkapkan beberapa kali Women on Web melayani permintaan pil aborsi dari pendamping seperti Women Crisis Center (WCC). Permintaan ini biasanya karena si perempuan punya keterbatasan akses baca tulis, koneksi internet atau akses ke gawainya dikontrol oleh pasangannya. Dalam proses konsultasi dan pengisian formulir secara online tetap dilakukan oleh perempuan tersebut dengan dibantu pendamping. 

“Sebenarnya itu yang juga kami upayakan gitu kak, untuk bertemu langsung dengan WCC-WCC yang ada. Jadi mereka tahu gitu, seenggaknya bisa menghubungi siapa ketika itu terjadi,” ungkap Amalia via Zoom pada (27/7/23).

Baca Juga: Aborsi Akibat Perkosaan Tidak Boleh Dipidana

Selain memberikan akses yang lebih luas bagi perempuan, aborsi medis juga memungkinkan perempuan punya agensi dan kontrol atas tubuhnya. Praktik telehealth seperti Women on Web meletakkan kepercayaan terhadap perempuan sebagai nilai dasar. Bahwa perempuan bisa ambil keputusan untuk tubuhnya sendiri. 

“Kebanyakan tentang tubuh kita itu ditentukan oleh orang-orang yang seakan-akan lebih tahu mulai dari dokter, politisi, dan segala macamnya gitu. Tapi ketika telehealth, kita berhubungan langsung dengan perempuan, apapun yang dia katakan ya modalnya adalah kepercayaan gitu,” ujar Amalia. 

Hingga hari ini pemangku kepentingan terkait tidak punya catatan jumlah perempuan korban perkosaan yang bisa mengakses layanan aborsi aman. Sementara kasus seperti Cika, N, L, dan A adalah realitas yang ada di sekitar kita. 

Karena itu menurut Satyawanti rentang waktu 3 tahun sebelum KUHP berlaku pada 2026 perlu digunakan untuk mendorong advokasi agar layanan segera tersedia. Dengan begitu perempuan korban perkosaan tak lagi kesulitan mengakses layanan aborsi aman. 

(Editor: Luviana Ariyanti)

*Beberapa narasumber yang menghubungkan Konde.co dengan korban dan keluarganya tidak disebut dalam laporan ini. Konde.co mengucapkan terima kasih kepada para narasumber. 

Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengalami kekerasan seksual dan/atau butuh layanan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR), berikut lembaga layanan yang bisa dihubungi:

– WCC Jombang: Jl. Pattimura Selatan Blk. B No.7, Jabon, Jombang, Jawa Timur. Hotline: 08123502062.

– PKBI Jawa Tengah: Jl. Jembawan Raya No.8, Kalibanteng Kulon, Semarang, Jawa Tengah. Telepon: 087770247244.

– Women on Web: website: womenonweb.org/id/ atau email: info@womenonweb.org

– Komnas Perempuan: Jl. Latuharhary No.4B, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Darurat hubungi Hotline KemenPPPA 129, HP (021129), WA (08111129129).

Anita Dhewy dan Susi Gustiana

Anita Dhewy, Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Susi Gustiana, penulis yang sedang mendalami isu perempuan, anak dan keberagaman.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!