Coba baca baik-baik pernyataan ini:
“Apa yang kalian katakan? Kami menyilet mereka? Atas dasar apa kami menyilet mereka? Bencikah? Tidak ada yang mendasari kami menyelit mereka, sedangkan kami tak pernah diajarkan semacam itu, dalam nilai organisasi kami? Lantas karena apa, kami tertuduh melakukan hal yang tak bersusila?.”
Kalimat itu, mengingatkan kami pada peristiwa 65 atau yang diyakini banyak orang sebagai peristiwa pembantaian para jenderal. Serta salah satu adegan yang juga diperankan pada film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI.
Akan tetapi, apakah film tersebut menjadi kebenaran tunggal perihal peristiwa G30S yang mengatakan bahwa Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menjadi salah satu pemeran dalam pembantaian para jendral?
Beberapa sejarawan, aktivis, feminis, serta akademisi mengatakan bahwa Gerwani tak pernah terlibat dalam peristiwa tersebut. Malah sebaliknya, Gerwani lah yang kemudian menjadi korban atas peristiwa G30S.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Banyak Perempuan Yang Dihilangkan Dan Tak Mendapat Keadilan
Paska pembantaian para jenderal, kondisi politik Indonesia carut marut, di mana-mana terjadi pembantaian, penculikan, pemberontakan dan lebih parahnya semua organisasi yang berafiliasi dengan salah satu partai komunis. Mereka dihabisi atas nama keadilan untuk para jenderal, salah satunya adalah penangkapan sepihak kepada semua pemimpin serta anggota Gerwani.
Mereka ditahan sebagai tahanan politik 65. Mereka mengalami kekerasan mental, fisik, hingga kekerasan seksual, bahkan ada pula yang mati terbunuh. Tak ada alasan pasti kejahatan apa yang membuat mereka harus mengalami kekerasan kemanusian. Namun, sejarah mengatakan sebab mereka adalah organisasi perempuan ter progresif dan underground yang berjuang.
Seperti halnya salah satu tokohnya, Moetiah. Moetiah harus lenyap di tangan para algojo. Kebaikannya tak pernah ternilai hanya dianggap sebagai pemberontak negara, namun tak ada secuil penyesalan menjadi anggota Gerwani dalam hidupnya. Bahkan, karena Gerwanilah, Moetiah belajar perihal menjadi manusia yang bebas dan adil.
Moetiah dan Profesinya
Moetiah berasal dari Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Moetiah dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan agamis serta keturunan bangsawan. Dan Moetiah sangat senang melakukan aktivitas seni. Tak heran apabila masyarakat Kendal mengenalnya sebagai aktivis seni yang tersohor pada zamannya. Namun, bukan bagian dari anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Dari informasi yang terhimpun dan telah dilansir oleh ayosemarang.com, Moetiah sangat pintar menyinden dan sering kali mementaskan sinden nya dari panggung ke panggung. Menurut Asrori pula yang dikutip oleh jateng.idntimes.com menyebutkan bahwa Moetiah adalah seorang dalang wayang kulit.
Selain itu, Moetiah dikenal sebagai seorang pendidik/guru yang mengajar di TK Melati di Kendal. Di mana TK tersebut merupakan salah satu TK yang dibentuk oleh Gerwani, sebab organisasi tersebut memiliki komitmen besar dalam pemberantasan buta huruf serta mendidik anak-anak sebelum masuk jenjang sekolah Rakyat.
Baca Juga: Gerwani: Dianggap Kuntilanak dan Jadi Korban Propaganda Hitam Pemerintah Orba
Seyogianya, TK Melati merupakan program dari Gerwani sebagai bentuk pertanggung jawaban organisasi terhadap hak-hak anak-anak.
TK Melati dibuka di pelbagai DPD Gerwani, yang memiliki otoritasnya sendiri untuk mengatur TK tersebut, sesuai dengan kebutuhan para anak-anak di setiap daerah. Selain itu, TK Melati juga memiliki komitmen dalam menjalankan proses pembelajarannya.
Misalnya harus memiliki relasi yang baik antara sang pendidik dengan wali murid; harus ada laporan periodik agar wali murid dapat melihat perkembangan sang buah hati serta untuk para pendidik agar dapat mengevaluasi pencapain sang murid; dan harus menjalani hubungan dengan organisasi pendidikan lainnya agar dapat berkembang.
Dari kepeduliannya terhadap pendidikan maka Moetiah bergabung dengan Gerwani, yang juga turut andil menjadi seorang pendidik yang sukarela dalam mengampanyekan melek aksara pada anak-anak di desanya.
Moetiah Tertelan Kuasa
September 1965 menjadi bulan kelam, bulan pelanggaran HAM berat, bulan merah yang dipenuhi dengan darah serta kebencian, kebaikan terombang-ombing yang menang hanya kegelapan yang ditopang dengan kekuatan politik yang buruk pula. Ya, tepat pada bulan itu dan tahun itu pula. Semua berubah secara kilat yang membekas hanyalah ketakutan dan kekhawatiran yang tak kunjung padam.
Lelaki berseragam itu berteriak sambil melotot matanya, “Nyawa kalian tinggal lima menit. Silahkan berdoa sebisanya!” (historia,id). Itulah penggalan suara para algojo, yang pada akhirnya menjadi tragedi yang menimpa Moetiah dan para korban lainnya.
Tidak ada kesalahan apapun-pelanggaran apapun yang dilakukan oleh Moetiah sehingga dirinya harus ditangkap oleh pemerintah orde baru, namun yang pasti, karena dia adalah bagian dari Gerwani. Organisasi yang memiliki afiliasi dengan partai komunis.
Peristiwa pembaiatan tersebut, terjadi pada malam hari berkisaran Desember 1965 hingga Januari 1966 (tidak ada penjelasan yang pasti, tetapi tragedi tersebut terjadi di Ramadan).
Baca Juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia
Moetiah dan para rombongan dibawa menggunakan truk dan semua korban ditutup matanya. Ternyata, mereka dibawa ke hutan Plumbon tepat di Kampung Plumbon RT 06/RW III, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.
Di tempat itulah mereka dieksekusi, semua berbaris di depan lubang yang telah disediakan. Suara tembakan mengenai mereka satu per satu terjatuh ke dalam lubang tersebut. Tetapi, berbeda dengan Moetiah satu peluru tak mampu menembus tubuhnya hingga berkali-kali. Barulah dia terjatuh bersamaan dengan lafad yang sebelumnya Moetiah kumandangkan.
Sejarah mengatakan sebelum dieksekusi Moetiah meminta untuk membaca al-Quran yang suaranya amat lembut dan merdu.
(Makam Moetiah yang gugur dalam peristiwa 1965/Sumber: Tempo.co)
Dia terkubur bersamaan dengan 24 orang korban lainya, korban yang dieksekusi tanpa sebab. Mereka pada malam itu pula menjadi bukti bahwa pelanggaran HAM berat terjadi masif di Indonesia. Merenggut nyawa seseorang, harapan seseorang, mimpi seseorang sebagai ganti dari ketamakkan kekuasaan.
Baca Juga: Uchikowati: Perjuangan Ayahku Tak Diakui karena Dia Bersimpati pada PKI
Pada akhirnya, kuburan massal korban keganasan aparat itu diakui oleh UNESCO sebagai situs pelanggaran berat HAM masa lalu. Itu juga sebagai salah satu wisata edukasi pada Januari 2020. Peresmian tersebut bertujuannya agar para generasi mengetahui secara mendalam sejarah yang terbentuk hingga memiliki dampak saat ini. Dampak kebencian pada salah satu golongan.
Walaupun telah diakui batu nisan tersebut sebagai situs sejarah di Indonesia. Bukan berarti segala hiruk pikuk perihal pembantaian massal yang terjadi oleh Moetiah dan korban lainnya dapat terbalaskan.
Moetiah perempuan yang memiliki mimpi agar anak-anak dapat terlepas dari kebodohan, harus mengubur mimpi itu dalam-dalam sebab hidupnya terpaksa diberangus secara paksa oleh penguasa yang tamak akan kuasa.
(Gambar Ilustrasi/Freepik)