Penanganan kekerasan seksual yang paling sulit dilakukan di kampus yaitu bagaimana meyakinkan korban untuk memasukkan pengaduan. Ini dikarenakan, selama ini korban masih merasa kurang aman atau tidak tahu bagaimana cara melapor.
Lingkar Studi Feminis/ LSF selama tahun 2020-2023 mengeluarkan catatan tahunan. Ini dilakukan setelah menerima pengaduan di lingkup kampus dengan jumlah 145 laporan kekerasan seksual.
Kekerasan tersebut antara lain, kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang jumlahnya terbanyak yaitu sebesar 45 kasus. Sedangkan kekerasan seksual fisik dan non fisik sejumlah 57 kasus, percobaan perkosaan 3 kasus, pemaksaan aborsi 3 kasus, dan kekerasan dalam pacaran 38 kasus.
Peningkatan jumlah kekerasan ini cukup signifikan mengingat pada rentang 2021 sampai 2023 sebesar 45,7 persen. Dikarenakan lahirnya Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi.
Tidak hanya lingkup perguruan tinggi, LSF juga mendapatkan 21 aduan dengan kategori kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban
Koordinator LSF, Eva Nurcahyani mengungkap, dalam penanganan kasus, ternyata masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki SOP dan satgas kekerasan seksual. Tidak hanya kampus, organisasi pun belum konsen terhadap isu kekerasan seksual. Sehingga, tidak bisa diharapkan dalam pendampingan korban.
“Minimnya perspektif korban membuat trauma karena harus mengikuti prosedur berulang. Terlebih lagi budaya seksisme dan guyonannya menjadi kebiasaan tongkrongan mahasiswa. Hal ini juga sejalan dengan kurangnya kampanye kanal pengaduan internal perguruan tinggi menjadi hambatan penanganan aduan yang diterima LSF,” kata Eva Nurcahyani.
Catahu ini diluncurkan pada pertengahan Oktober 2023 di Serpong Tangerang Selatan dengan tema Menyalakan Keberanian, Menciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual.
Hadir dalam acara ini Koordinator LSF, Eva Nurcahyani, Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, anggota Subtim Kekerasan Seksual Puspeka Kemendikbud Ristek, Indra Budi Setiawan. Lalu Anggota Satgas PPKS Universitas Muhammadiyah Tangerang, Restu Wicaksono dan alumni kelas advokasi kebijakan responsif gender, Anis Fazirotul Muhtar menjadi penanggap dalam diskusi.
Penyelesaian Kasus di Kampus
Penyelesaian kasus di lingkup perguruan tinggi 2020 hingga Agustus 2023 diselesaikan dengan cara diberikan layanan litigasi dan non litigasi.
Untuk litigasi yang dikumpulkan LSF ada 49 kasus yang dilaporkan ke polisi, 12 kasus diputuskan pengadilan, dan 1 kasus berakhir di kejaksaan.
Penanganan kasus non litigasi berupa konsultasi sebanyak 6 kasus, dirujuk ke lembaga Yayasan Pulih untuk mendapatkan konsultasi psikolog sebanyak 25 kasus. Sementara, sanksi administratif diserahkan ke satgas PPKS perguruan tinggi sebanyak 11 kasus, advokasi kebijakan 5 kasus, rujuk ke lembaga digital ke SAFEnet dan Purple Code sebanyak 27 kasus, monitoring kasus 6 kasus. dan investigasi 3 kasus.
Hal lain, selama ini masih banyak aparat kepolisian yang belum mengetahui regulasi mengatur tentang kekerasan seksual. Di sisi lain, budaya seksisme melekat pada mereka—victim blaming pada penanganan aduan yang masuk ke mereka.
“Selain itu, para polisi menggunakan UU Pornografi, UU ITE, dan KUHP dalam menindaklanjuti kasus ini. Seharusnya menggunakan UU TPKS dan masuk dalam Direktorat Kriminal Khusus bukan ke Direktorat Kriminal Umum,” kata Eva Nurcahyani.
Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Tak Mau Melapor: Karena Banyak Yang Salahkan Mereka
Hal ini sesuai dengan tanggapan Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad saat diskusi. Ia juga mengapresiasi Catahu perdana LSF yang menjadi langkah dan karya awal pengaduan laporan kepada DPR.
“Catahu LSF mirip dengan apa yang dihimpun Komnas Perempuan yang memuat kasus terbanyak di KBGO. Kita dapat menyimpulkan bahwa edukasi keamanan siber masih rendah. Anak muda juga sedikit yang menaruh perhatian terhadap literasi kekerasan seksual di media digital. Hal ini menjadi atensi kita bersama untuk terus semangat membagikan edukasi di dunia maya,” imbuh Bahrul Fuad dalam sesinya.
Indra Budi Setiawan melihat bahwa penanganan yang paling sulit adalah meyakinkan korban untuk memasukkan aduan. Dikarenakan merasa kurang aman atau tidak tahu bagaimana cara melapor. Ini masih bisa dihitung jari laporan mandiri. Para korban juga skeptis bahwa laporannya akan dikawal, ditindaklanjuti, atau diselesaikan secara tuntas sampai akhir.
“Setiap saya menjadi narasumber di kampus, saya selalu memutar stigma bahwa adanya peningkatan aduan kasus kekerasan seksual itu bukan berarti mencoreng nama baik. Justru menjadi hal bagus dan diapresiasi. Tandanya SOP ditegakkan dan penanganan kasus oleh satgas PPKS juga dilaksanakan dengan baik. Hal ini membuktikan sistem dari perguruan tinggi tersebut bekerja dengan baik,” tandas Indra saat sesinya.
Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana
Restu Wicaksono juga menceritakan satgas PPKS di Universitas Muhammadiyah Tangerang terbentuk. Awalnya mereka juga mendapat serangan dari rektorat yang mengharuskan mereka bergerak diam. Setelah resmi disahkan, para mahasiswa yang menaruh curiga terhadap satgas karena berpikir pasti akan ada kejanggalan dari pihak kampus.
Sebagai salah satu perguruan tinggi sasaran Banten oleh LSF, Anis Fazirotul Muhtar, menginformasikan kondisi kampusnya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta sendiri masih fokus pada riset, belum pada bantuan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Para mahasiswa tidak dilibatkan dalam pengesahan SOP PPKS, hanya rektor, dosen, dan tenaga pendidik yang terlibat.
“Kami juga sudah menyarankan ke program studi dan fakultas untuk memasukkan mata kuliah edukasi gender. Hal tersebut disambut positif dan akan disusun ke depannya. Selain itu, saya juga menyarankan pemaparan materi gender, SOP, dan satgas pada saat pengenalan budaya akademik dan kampus,” jelas Anis pada sesinya.