Melihat Childfree dari Perspektif Feminis Eksistensialis

Gagasan tentang childfree mendapat penolakan di media sosial. Padahal terminologi banyak anak banyak rezeki dalam konteks perkembangan zaman dan masyarakat perkotaan terkini, tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.

Mending punya anak atau tidak punya anak ??? adalah sebuah konten produksi kanal YouTube Cretivox yang dirilis pada 20 Desember 2022. 

Konten berdurasi 15 menit ini mengangkat tema childfree dengan menghadirkan 4 narasumber yang terdiri dari pasangan childfree dan non-childfree. Pasangan pertama Ahmad Fauzi (42 tahun) dan Audy (36 tahun) yang sudah menikah selama 3 (tiga) tahun serta dikaruniai dua orang anak. Pasangan kedua, childfree bernama Kei (36 tahun) dan Lilia (34 tahun) yang sudah menikah selama 6 (enam) tahun.

Dalam konten YouTube Cretivox “Mending Punya Anak Atau Tidak Punya Anak???”, dua pasangan dengan pandangan berbeda itu membahas apa pentingnya memiliki keturunan dalam pernikahan. 

Tim Cretivox mengajukan empat pertanyaan tentang anak, seperti pepatah “banyak anak banyak rezeki,” pentingnya memiliki keturunan, hubungan yang harmonis dengan kehadiran anak, dan apakah memiliki anak akan menjamin keberadaan orang tua.

Norman Fairclough, seorang profesor dan ahli linguistik pernah mengungkap soal kompleksitas isu childfree. Kompleksitas tersebut berhubungan dengan nilai produser, pola kerja media, nilai budaya, norma, dan agama dalam masyarakat.

Baca Juga: Mau Childfree Atau Tidak? Pilihan Di Tangan Perempuan

Kebebasan pilihan hidup individu, terutama hak otonomi perempuan atas tubuhnya, merupakan bagian dari isu childfree yang ditampilkan dalam konten Cretivox. Meskipun ada gagasan bahwa memiliki anak adalah investasi masa tua dan warisan kekayaan, Cretivox menyoroti bahwa pandangan ini bertentangan dengan aspirasi budaya masyarakat terkini

Di masyarakat Indonesia, gagasan childfree juga bertentangan dengan adagium “banyak anak banyak rezeki,” yang berakar dalam pola ekonomi agraris. Dalam pola ekonomi agraris, memiliki banyak anak dianggap sebagai sumber daya manusia untuk pertanian yang sangat penting. Namun, dalam konteks perkembangan zaman dan masyarakat perkotaan, gagasan ini mungkin tidak lagi relevan. Selain itu, isu childfree terkait dengan hak otonomi perempuan atas tubuhnya dan pilihan hidup individu.

Pernyataan ini sejalan dengan representasi pada dimensi teks yang ada dalam konten YouTube Cretivox ini di mana Kei sebagai seseorang childfree menolak pepatah “banyak anak banyak rezeki” karena dianggap tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

Penelitian oleh Denada et al. (2022) mengenai makna investasi pada anak dalam pepatah menyatakan bahwa ada dua jenis makna terkait dengan investasi pada anak, yaitu materi dan non-materi. Investasi materi memberikan keamanan finansial kepada orang tua di masa tua, sedangkan investasi non-materi memberikan kebahagiaan baik di masa depan maupun akhirat.

Baca Juga: Feminisme Eksistensialis Perjuangkan Seksualitas Perempuan

Feminis eksistensialis Simone de Beauvoir menyoroti kekerasan dalam hubungan seksual terhadap perempuan dan menggugat stereotip tentang peran ibu, kehamilan, dan feminitas. Dia menilai bahwa masyarakat sejarah telah menakdirkan perempuan untuk menikah dengan alasan melahirkan anak dan memenuhi hasrat seksual laki-laki sambil mengurus rumah. Pepatah “banyak anak banyak rezeki” mendorong perempuan untuk cepat hamil dan memiliki banyak anak. Meskipun ada program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia, banyak perempuan masih mengalami pelanggaran terhadap otonomi tubuh mereka.

Menurut laporan State of World Population (SWOP) tahun 2021, hampir setengah perempuan di banyak negara berkembang tidak memiliki kesetaraan gender dan otonomi tubuh. Pada tahun 2023, SWOP mencatat bahwa di negara berkembang, beberapa perempuan menggunakan kontrasepsi secara rahasia karena oposisi dari suami, pandangan agama, dan keinginan untuk memiliki anak.

Cretivox berusaha menggambarkan isu childfree sebagai kebebasan pilihan hidup individu, tetapi stereotip tradisional tentang peran ibu masih melekat pada perempuan yang memiliki rahim. Perempuan yang memilih childfree sering dianggap cacat secara psikologis atau fisik dan dianggap keluar dari peran sebagai orangtua.

Baca Juga: Tentang Childless, Mendengar Pengalaman Perempuan yang Hidup Tanpa Anak

Perempuan yang memilih childfree memiliki alasannya sendiri yang melatarbelakangi keputusannya tersebut. Faktor ekonomi memang menjadi salah satu penyebab bagi orang- orang yang memilih childfree karena secara realistis biaya menghidupi anak sangatlah mahal.

Tapi, tidak semua childfree memutuskan berdasarkan faktor ekonomi, sebagian yang mempertimbangkan faktor ekonomi karena trauma dengan keadaan ekonomi keluarga atau melihat keadaan yang menimpa anak-anak di masa sekarang. 

Pasangan childfree biasanya mengetahui batasan kemampuan diri mereka, tahu konsep jatah rezeki untuk semua orang, tapi memilih childfree karena tidak ingin, bukannya karena takut tidak mampu menafkahi (Tunggono, 2021:116).

Faktor lingkungan hidup juga menjadi salah satu alasan seseorang memilih childfree seperti Kei dan Lilia yang memutuskan untuk tidak memiliki anak disebabkan salah satu faktornya, yaitu lingkungan hidup terkait tingginya jumlah populasi manusia di bumi. Lingkungan hidup menjadi pertimbangan untuk childfree yang muncul dari kondisi sekitar atau kehidupan di luar diri seseorang (ranah makrokosmos) (Tunggono, 2021:39).

Baca Juga: Mau Childfree atau Childless, Perempuan Selalu Disalahkan

Saat ini bumi sudah memiliki jumlah populasi manusia di bumi sebanyak 8 miliar lebih, sedangkan di Indonesia sendiri 282 juta lebih (Worldometer, 2023). Sehingga, beberapa orang memiliki simpati terhadap lingkungan, seperti Kei dan Lilia pada akhirnya merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bumi dengan tidak bereproduksi. Selain kedua faktor di atas, faktor fobia salah satunya atychiphobia atau takut akan kegagalan membangun keluarga dengan memilih menghindari tanggung jawab sebagai orang tua (Tunggono, 2021:47).

Ketakutan ini seperti yang direpresentasikan pada dimensi teks di mana Lilia memiliki ketakutan untuk memiliki anak berkaca pada hasil riset yang menyatakan bahwa kehadiran anak penyebab turunnya keharmonisan hubungan rumah tangga. Lilia memiliki ketakutan kegagalan rumah tangga jika memiliki anak. Hal itulah yang juga melatarbelakangi dirinya bersama Kei memutuskan untuk tidak memiliki anak atau childfree.

Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, childfree dianggap banyak orang bertentangan dengan nilai budaya dan agama karena adanya legitimasi kuat bahwa pada dasarnya tujuan menikah ialah memiliki anak. Anita Dhewy, jurnalis Konde.co dan aktivis perempuan mengungkap fakta bahwa perempuan memiliki rahim saat lahir membuat seolah-olah kekuatan reproduksi perempuan adalah sesuatu yang terberi.

Baca Juga: Aku Memilih childfree dan Tak Peduli Komentarmu

Akibatnya, memiliki anak dipandang sebagai peran gender perempuan. Masyarakat saat ini menganggap perempuan dibentuk untuk melahirkan anak karena norma gender yang diterima yang menempatkan melahirkan anak merupakan kewajiban atau tugas yang harus dipenuhi daripada keinginan. 

Dengan begitu, perempuan ditempatkan sebagai “liyan” atau “yang lain” karena selalu diukur dengan apa yang diyakini oleh masyarakat sebagai potensi perempuan.

Gagasan feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir mendefinisikan perempuan sebagai “liyan” tidak lepas dari kritik mengenai salah satunya sudut pandang materialisme sejarah. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Dhewy, bahwa secara sejarah pada masyarakat Indonesia, anak memiliki peran yang signifikan dalam institusi keluarga pada budaya patrilineal dan patriarki. Hal ini agar anak yang akan menjadi ahli waris sah ayahnya. Selain itu, anak dianggap sebagai penerus nama keluarga.

Masyarakat umumnya memberikan simpati kepada mereka yang tidak dapat memiliki anak karena dianggap sebagai pengalaman berharga menjadi orang tua. Namun, jika seseorang memilih childfree, simpati ini seringkali digantikan oleh stigma negatif yang menganggap mereka egois dan memiliki masalah psikologis. Meskipun demikian, pandangan ini dianggap salah karena pada dasarnya orang tua memiliki anak karena keinginan pribadi, bukan untuk kepentingan masyarakat (Defago, 2005:37).

Baca Juga: Tak Semua Perempuan Menikah Harus Punya Anak; Yang Penting Happy

Hadirnya konten YouTube Cretivox berjudul “Mending Punya Anda Atau Tidak Punya Anak???” dimulai dari maraknya pengguna internet di media sosial yang mengungkapkan pro dan kontra terkait childfree sebagai tanggapan mereka atas pernyataan influencer bernama Gita Savitri.

Cara pandang produser terhadap Cretivox sebagai media digital independen yang tidak memihak salah satu pihak, tidak menentukan pihak mana yang benar atau salah, melainkan sebagai wadah untuk berbagi perspektif, diperkuat dengan masuknya konten childfree ini. Keberadaan konten ini dimaksudkan untuk membandingkan perspektif antara orang yang sudah menikah dan mempunyai anak dengan orang yang sudah menikah lama tapi memilih untuk tidak punya anak tanpa adanya upaya defensif.

Cretivox mendukung hak otonomi perempuan atas tubuhnya. Perempuan harus mampu memahami sendiri hak-hak asasi yang dimilikinya atas tubuhnya sendiri, termasuk kebebasan untuk memilih hamil dan melahirkan. 

Nurul Khoiriyah

Mahasiswa Universitas Pancasila
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!