Pelecehan seksual pengguna narkoba oleh polisi

Pengin Direhabilitasi, Pengguna Narkotika Malah Dapat Pelecehan Seksual Polisi

Alin merasa tak nyaman, tetapi juga takut untuk melawan. Saat polisi tersebut mau menyentuh alat kelaminnya, Alin langsung menggertak, “apaan sih?.”

Peringatan pemicu: Kekerasan seksual dan brutalitas polisi

Di tengah kesibukannya bekerja di restoran, Alin dihubungi salah satu teman dekatnya, Agnes, untuk bertemu. 

Agnes lalu mengajak Alin untuk menghabiskan malam bersamanya di salah satu klub kawasan Jakarta, pada September 2015. 

Malam itu berjalan seperti malam-malam biasanya saat Alin ingin menghabiskan malam bersama Agnes. Agnes menitipkan segaris sabu kepada Alin untuk mereka gunakan di malam harinya. Mereka berencana untuk bertemu terlebih dahulu sore itu.

“Awalnya, janjian mau dugem bareng, cuma sebelum itu, kan dia memang minta (dibawakan sabu), jadi ya udah, karena menurut dia, nggak mungkin kan kalau kita mau dugem, cuma minum doang, dan memang sudah biasa sebelumnya kayak gitu,” kisah Alin pada Selasa (30/08/2021).

Alin ternyata tengah hamil dua bulan dan berusia 19 tahun saat itu.

Alin pun bergegas dan mengendarai motornya untuk berangkat menemui Agnes. Sesampainya di lokasi, ia memarkirkan motor di pinggir jalan dan mengeluarkan telepon genggam untuk mengabarkan Agnes.

Di saat yang sama,  segerombolan polisi tak berseragam menghampiri Alin.

“Baru turun dari motor, langsung polisinya pada datang, terus ditodong pistol di pinggir jalan. Sudah gitu, sempet diperiksakan dan digeledah semuanya, cuma (polisinya) cowok semua ya,” kisah Alin.

Setidaknya, terdapat lebih dari lima polisi yang mengerubungi Alin, sisanya menggeledah motornya. 

Baca Juga: Kalau Kamu Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pilih Lapor Satgas TPKS atau Polisi?

Alin tak mampu mengingat secara detail momen tersebut terlalu banyak hal yang terjadi di waktu bersamaan: beberapa polisi meneriaki dan menanyakan banyak hal ke Alin; beberapa polisi menggeledah motornya; satu polisi menodongkan pistol ke kepala Alin; serta salah satu polisi hampir menampar Alin.

Mereka beberapa kali menanyakan, “mana?”, “nggak usah pura-pura bego,” dan sebagainya. Alin mengatakan tak tahu apa yang mereka cari. 

“Ya gak tahu apa. Periksa saja, Pak,” balas Alin.

Sejumlah polisi akhirnya meminta Alin untuk melepaskan pakaiannya. Alin tak memahami apa yang benar-benar terjadi. Ia merasa ketakutan. Ia pun menuruti apa saja yang diarahkan oleh segerombolan polisi tersebut, termasuk untuk melepaskan satu-persatu pakaiannya di pinggir jalan.

“Terus habis itu badan (diperiksa), disuruh angkat bajunya, angkat roknya, buka behanya,” ingat Alin.

“Lebih pasrah aja, dan pas dapat pelecehan itu juga ya gimana ya, karena posisinya sudah ditangkap jadi ya udah pasrah”.

Selepas mereka akhirnya menemukan segaris sabu tersebut yang Alin sembunyikan di belakang telepon genggamnya, mereka langsung membawa Alin ke kantor polisi. 

Baca Juga: Di Balik Glamorisasi Industri Fesyen, Terjadi Pelecehan Seksual, Tokenisme dan Diskriminasi Rasial  

Sesampainya di kantor kepolisian setempat, Alin langsung kembali diinterogasi di salah satu ruangan oleh seorang penyidik. 

“Langsung dibawa ke penyidiknya. Nah, di situ, sempat ngalamin pelecehan juga,” ingat Alin.

Alin langsung diarahkan untuk duduk di samping penyidik. Di ruangan tersebut, Alin ditanyakan sejumlah pertanyaan, seperti “siapa bosnya?”, “dapat barang ini darimana?,” dan sebagainya. 

Sembari melontarkan sejumlah pertanyaan tersebut, penyidik di sana juga kembali melakukan pelecehan seksual terhadap Alin.

“Bingung ya, soalnya lagi ditanya-tanya gitu, bikin gak konsen,” ujar Alin.

Alin merasa sangat tak nyaman, tetapi juga takut untuk melawan. Saat polisi tersebut mau menyentuh alat kelaminnya, Alin baru langsung menggentak, “apaan sih?”

Baca Juga: Komnas Perempuan: Perbanyak Polwan untuk Tangani Kekerasan Seksual

Selepas kejadian itu, Alin sempat tinggal di balik jeruji Rutan Pondok Bambu, Jakarta, sekitar satu tahun. Alin pun melahirkan saat masih menjalani hukumannya di sana. 

Berbagai pelecehan yang dilakukan oleh aparat terhadapnya meninggalkan ketakutan di hidup Alin hingga hari ini.

“Kalau sama polisi tuh trauma banget. Kalau ngelihat polisi di jalan tuh langsung, ‘aduh ada polisi’. Sampai sekarang pun masih,” ungkap Alin.

Kejadian tersebut tak pernah dilaporkan secara resmi oleh Alin. Alasannya, ia tak mengetahui prosedur ideal yang seharusnya dilakukan oleh aparat dalam proses penangkapan dan interogasi. Alin juga tak tahu bahwa terdapat ruang untuk melaporkan aparat yang melakukan tindak kekerasan seksual. 

Terlebih, pelecehan ataupun kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat seolah menjadi hal yang normal. Hal itu disadari oleh Alin saat ia menjalani hukuman di Rutan Pondok Bambu. 

Alin dan teman-temannya kerap berbagi cerita tentang pengalaman mereka mendapatkan pelecehan atau kekerasan dari polisi.

Namun, beberapa kali saat Alin mengisahkan pengalamannya, justru dibalas oleh temannya yang lain dengan, “lah enak cuma gitu doang, lah gue.”

Baca Juga: Aku Kehilangan Pekerjaan Setelah Alami Pelecehan Seksual Dari Anak Majikan

“Kayak biasa aja (percakapan seputar pengalaman kekerasan seksual yang dialami dalam proses penangkapan atau interogasi). Kadang mungkin karena pada enggak tahu ya,” ujar Alin.

Kekerasan seksual dalam proses penanganan perempuan dengan narkotika memang sesuatu yang sering terjadi. Hal tersebut disampaikan oleh Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN), organisasi dengan salah satu fokus untuk menghapus kekerasan pada perempuan dan transpuan pengguna napza. Ia beberapa kali menemukan masalah tersebut saat melakukan pendampingan.

“Seharusnya, ketika melakukan penggeledahan badan, body spot check itu, dilakukan oleh polisi wanita. Jika tidak ada polisi wanita, bisa dilakukan oleh administrasi perempuan,” jelas Rosma.

“Kalau misalnya tertangkap tangan, atau lain sebagainya, itu dibawa dulu ke kantor polisi, nanti di sana diegledahnya. Gak di pinggir jalan,” lanjutnya.

Baca Juga: Dugaan Pelecehan Seksual di Miss Universe 2023, Aktivis Apresiasi Finalis Yang Berani Lapor dan Bicara
Tak Ada Ruang untuk Lapor

Permasalahan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat kepolisian bukanlah hal yang baru dibicarakan. Masalah ini pernah dipotret dalam survei berjudul “Perempuan Bersuara: Memahami Pengguna Napza Perempuan di Indonesia”yang dilakukan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) melalui kerjasama dengan Universitas Oxford pada 2016. 

Dalam survei yang dilakukan terhadap 750 responden tersebut, terdapat setidaknya 60 persen responden yang melaporkan pernah mengalami kekerasan verbal oleh polisi dan penegak hukum, seperti dihina, dipanggil dengan sebutan tertentu, dimarahi  atau dicemooh. 

Kemudian 27 persen dari responden pernah mendapat kekerasan fisik, seperti ditampar, ditinju, ditendang, atau dipukul. Sementara, 5 persen respon pernah mengalami pelecehan seksual oleh polisi, seperti disentuh atau diraba di area intim di luar kehendak mereka, oral seks, hingga paksaan melakukan seks vaginal atau anal.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) juga sempat meluncurkan penelitian berjudul “Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika” pada 2019. Dalam penelitian tersebut, LBMH mencatat banyak tersangka kasus narkotika mendapatkan kekerasan ketika penangkapan dan penahanan.

Dalam proses penangkapan, terdapat 264 dari 388 responden yang mengatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 269 mengalami kekerasan mental, serta 60 mengalami kekerasan seksual. Kemudian, sebanyak 79,1 persen responden pernah mengalami setidaknya salah satu dari tiga bentuk kekerasan tersebut.

“Perempuan harus dapat dengan bebas dan leluasa melaporkan kekerasan atau penyiksaan yang terjadi kepada mereka tanpa rintangan stigma dan diskriminasi, serta tanpa rasa takut akan balas dendam dari pihak yang dilaporkan,”tertulis dalam penelitian tersebut.

“Negara juga harus memastikan bahwa korban penyiksaan dan kekerasan mendapatkan perawatan dan pemulihan yang mereka butuhkan.”

Baca Juga: Cap Hoaks Berita Perkosaan Anak Di Project Multatuli Ancam Kebebasan Pers

Salah satu kasus kekerasan seksual yang juga pernah muncul ke publik adalah kasus yang dialami oleh Merri Utami. Merri Utami sempat mengalami pelecehan seksual dan ancaman akan diperkosa oleh aparat penegak hukum. 

Rosma menjelaskan bahwa pendekatan aparat ke laki-laki, dan gender selain dari laki-laki, termasuk perempuan, memang berbeda. Pola yang umumnya terjadi terhadap laki-laki adalah kekerasan fisik.

Kekerasan yang terjadi para perempuan dan gender minoritas umumnya berbentuk kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual yang ditemukan Rosma beragam, mulai dari pelecehan seksual secara verbal, hingga eksploitasi seksual.

Baca Juga: Di Sekolah PRT Aku Bisa Cerita Pelecehan Seksual yang Aku Alami

“Ada yang sampai pengen bunuh diri saking gak kuatnya, setiap hari harus menghadapi pemerkosaan,” ungkap Rosma.

Rosma menjelaskan bahwa memang hampir tak ada korban yang mengalami kekerasan seksual oleh aparat mau melaporkan atau memproses kasus mereka. Pasalnya, belum ada mekanisme yang mampu memastikan keamanan mereka apabila mereka melaporkan kasus kekerasan seksualnya terhadap aparat penegak hukum. 

“Ada ketakutan dari teman-teman untuk mengungkapkan semua itu,” ujar Rosma.

Terlebih, saat kekerasan terjadi, umumnya, mereka masih berada di kantor kepolisian atau rumah tahanan (rutan).

Baca Juga: Perempuan Tak Mau Lapor Ke Polisi, Takut Masalahnya Makin Rumit

Dengan itu, sekalipun korban bisa mendapatkan bantuan dari pihak luar kantor kepolisian, tetapi karena tak ada yang mampu memastikan keadaan dan keamanan mereka di kantor polisi maupun di rutan.

“Ada gak perlindungan untuk teman-teman saat di dalem (kantor kepolisian atau rutan) itu?,” ujar Rosma.

“Sementara, dia masih ada di penjara itu. Kalaupun dipindah ke penjara lain, tetap saja nama rumahnya penjara, yang kamu acak-acak itu penjara,” lanjutnya. 

Situasi pelik tersebut berujung membuat kekerasan polisi terhadap perempuan dengan narkotika sekadar menjadi cerita sesama korban atau tahanan, sebagaimana yang terjadi pada Alin.

“Ya mungkin ada yang marah, tapi gak mengadukan. Cerita itu hanya sebatas cerita karena tidak sampai di pengadilan lagi untuk melaporkan kembali kasus itu,” ujar Rosma. 

Menurut Direktur LBH APIK, Uli Pangaribuan, untuk menekan masalah ini, perlu ada pemahaman perspektif gender di seluruh pekerja dalam institusi kepolisian. Mereka seharusnya bisa memahami cara penanganan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Apalagi, institusi kepolisian merupakan pintu awal dalam sistem peradilan di Indonesia.

“Penyidiknya harusnya memiliki perspektif yang baik sehingga kekerasan-kekerasan, bentuk kekerasan seksual, yang kita khawatirkan terjadi itu, bisa dihindarkan,” tegas Uli.

Uli khawatir melihat cara polisi menangani perempuan yang berhadapan dengan hukum, terlebih setelah ramainya kasus polisi yang melakukan pemerkosaan di Mapolsek Jailolo Selatan, Halmahera Barat.

“Pemerkosaan aja bisa terjadi di sana. Ini kan suatu hal yang mengkhawatirkan ya,” ungkap pengacara yang biasa menangani kasus kekerasan seksual tersebut.

Baca Juga: KOMPAKS: Polisi Luwu Timur Harus Usut Kasus Perkosaan Dan Cabut Label Hoaks di Project Multatuli

Selain itu, Uli menilai idealnya ada pihak yang mampu mengawasi kerja-kerja institusi kepolisian. 

“Kesulitannya, siapa yang mengawasinya? Paling kalau misalnya itu dilaporkan ke kita, terus kita laporkan ke mana?” ujarnya.

Sementara, saat saya mencoba untuk mengkonfirmasinya kepada Raden Prabowo Argo Yuwono, yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, ia menyampaikan bahwa ia baru akan mengomentari jika sudah membaca datanya. 

“Kalau tidak ada data, bagaimana saya harus berpendapat,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Jumat (1/10/2021).

Saat saya mengirimkan hasil riset LBH APIK, Argo menyampaikan baru akan membacanya saat ia memiliki waktu luang. Alasannya, ia masih fokus menangani kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.

Namun, hingga saat ini, bahkan ketika ia sudah berganti jabatan, Argo tak menyampaikan komentarnya terkait masalah ini.

Munculnya Upaya dari Penyintas

Belum banyak upaya yang bisa dilakukan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual dari kepolisian saat ini. Namun, salah satu upaya dilakukan oleh perempuan asal Bekasi, Nofia Erizka. Nofia merupakan penyintas yang juga pernah mendapatkan kekerasan saat melalui proses penangkapan karena penggunaan dan kepemilikan sabu.

Nofia menyadari terdapat banyak ketidaktahuan soal hak-hak yang dimiliki seseorang saat mereka ditangkap atau menjalankan penyelidikan. Kesadaran tersebut mendorong Nofia untuk membentuk sebuah komunitas bernama Persatuan Perempuan Residivis Indonesia (PPRI).

“Gue pengen memperjuangkan hak-hak yang lain. Gue langsung eksplor pengetahuan gue. Akhirnya gue bikin komunitas ini,” kisah Nofia.

Lewat komunitas tersebut, Nofia berusaha untuk membangun wadah sosialisasi dan edukasi, khususnya ke teman-teman perempuannya yang pernah ditangkap karena narkotika oleh kepolisian.

Setidaknya, jelas Nofia, dengan memahami prosedur penangkapan yang seharusnya dilakukan oleh aparat, maka teman-temannya bisa memahami hak mereka, termasuk untuk tidak mendapatkan kekerasan fisik maupun seksual. 

“Terus biar (mereka yang) di dalam lapas juga biar pada tahu […] kalo di luar itu ada tempat pulang, ada PPRI,” ujar Nofia.

Komunitas tersebut ia bangun pada Oktober 2018. Ide untuk membangun komunitas tersebut justru berangkat dari pengalaman personal yang ia rasakan pada 2012, sewaktu ia berusia 19 tahun.

Baca Juga: Apa Saja Kemajuan dan Kemunduran Polisi Dalam Tangani Kasus Kekerasan Perempuan?

Saat menjalani proses penyelidikan, Nofia mendapatkan pelecehan verbal dari salah satu penyidik. Penyidik tersebut menanyakan, “habis nyabu enaknya ngewe ya?.”

Nofia juga masih teringat dengan jelas bagaimana ia menyaksikan polisi melakukan kekerasan ke teman-temannya dengan cara menyetrumkan tubuh mereka. Polisi menggunakan cara tersebut untuk mendesak agar mereka mengakui apa yang telah mereka lakukan.

“Kadang gue masih ada sedikit trauma ketika dengar ‘jret‘ (suara setrum),” kisah Nofia.

Selepas Nofia akhirnya masuk ke rutan, ia pun sering mendengar kisah dari sesama tahanan mengenai pengalaman kekerasan fisik maupun seksual yang sempat mereka alami. Saat itu, baik Nofia maupun sebagian dari teman-temannya tak memahami bagaimana prosedur penangkapan yang seharusnya dilakukan polisi. 

Sebagaimana yang dialami oleh Alin, Nofia menyadari bahwa bentuk-bentuk kekerasan tersebut telah dinormalisasi oleh sebagian dari teman-temannya karena banyak yang mengalaminya.

“Nah, baru pas di Pondok Bambu, ada Posbakum (Pos Bantuan Hukum) kasih sosialisasi tentang penangkapan dan lain-lain, terus gue bilang, ‘kenapa gue baru dapat sekarang, ketika gue ditangkap,'” ujar Nofia.

Sekalipun saat ini ia sudah sering bolak-balik ke kantor polisi untuk membantu advokasi teman-temannya, tetapi Nofia merasa masih ada ketakutan yang tersisa dalam dirinya setiap kali melangkah masuk ke kantor polisi untuk menangani kasus narkotika

“Jadi kalau mau ke polres, gue baca bismillah dulu, soalnya gue masih ada rasa ketakutan  dan gue harus mengumpulkan semua itu, harus total. Gue sebenarnya masih takut, tapi harus gue hadepin,” ujar Nofia.

Baca Juga: Perkosaan Yang Dilakukan Polisi Di Maluku Utara Termasuk Penyiksaan Seksual

Selain dari usaha untuk membangun komunitas, Nofia juga memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di 24 tahun. Ia mengambil jurusan hukum dengan harapan ilmunya bisa ia gunakan untuk membantu teman-temannya. 

Nofia baru saja lulus dan mendapatkan gelar sarjananya Agustus lalu. Saat ini, ia sedang mengumpulkan uang untuk menjalankan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

“Mau jadi lawyer sih kayaknya, yang paling mungkin bisa aku lakuin,” ujarnya.

Saat ini, Nofia berharap agar para pemangku kebijakan dan negara mampu untuk turun tangan dan membenahi masalah kekerasan terhadap perempuan yang terjerat masalah narkotika. Kekerasan yang dimaksud oleh Nofia pun beragam, mulai dari kekerasan seksual hingga hukuman mati.

“Saya sangat berharap kepada negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila agar memberikan perhatian terhadap terpidana mati kasus narkotika, terlebih terpidana mati perempuan yang saat ini […] karena bentuk kekerasan yang paling serius dan menyedihkan adalah penjatuhan hukuman mati terlebih pada perempuan, tegas Nofia.

*Nama Alin dan Agnes disamarkan

Fadiyah Alaidrus

Jurnalis lepas di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!