Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan sejak hampir dua tahun yang lalu. Penetapannya jadi undang-undang adalah angin segar setelah upaya berbagai pihak membawa urgensi isu kekerasan seksual ke parlemen selama bertahun-tahun.
Namun nyatanya, keberadaan UU TPKS tidak serta-merta dapat diimplementasikan. Sebab, undang-undang ini belum memiliki aturan turunan terkait pencegahan, penanganan, dan pemulihan hak-hak korban TPKS. Terutama, korban di daerah yang kurang terjangkau.
Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mengadakan konferensi pers daring pada Senin (27/11/2023). Dalam konferensi pers tersebut, mereka menyampaikan situasi dan urgensi kasus TPKS di berbagai daerah di Indonesia hingga saat ini.
Mereka juga mendesak percepatan pengesahan aturan pelaksana dan implementasi UU TPKS berupa Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden. Ini agar pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak korban dapat segera dilakukan.
Implementasi UU TPKS Terhambat
Ketiadaan aturan turunan UU TPKS membuat pelaksanaannya kerap mengalami hambatan. Menurut para aktivis yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil, ada banyak catatan terkait hambatan implementasinya dalam penanganan kasus, yang dikumpulkan dari para pendamping korban dan para aktivis yang bekerja bersama korban di berbagai daerah.
“Sudah hampir dua tahun UU TPKS disahkan, namun hingga saat ini belum ada aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden,” kata Rena Herdiyani dari Jaringan Masyarakat Sipil dalam konferensi pers daring, Senin (27/11/2023).
Selain tidak ada aturan turunan aturan itu yang dapat mendorong pelaksanaannya secara efektif, tidak ada pula koordinasi antar berbagai lembaga seperti K/L, institusi penegak hukum, UPTD PPA, pemerintah daerah dan institusi terkait lainnya untuk memonitor implementasi aturan itu.
“Rendahnya tingkat pemahaman substansi UU TPKS, perspektif gender, disabilitas dan inklusi sosial, serta kesiapan Aparat Penegak Hukum (APH), Pemerintah Daerah, dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) terkait untuk implementasinya,” ujar Jaringan Masyarakat Sipil.
Hambatan itu juga termasuk kurangnya ketersediaan tenaga pendukung seperti pendamping. Termasuk pendamping disabilitas, pengacara, tenaga medis, psikolog, psikiater, dan Juru Bahasa Isyarat. Ketersediaan anggaran dan rumah aman pun perlu lebih diperhatikan.
Kendala lainnya yaitu minimnya perlindungan dan keamanan bagi korban dan keluarganya, saksi, dan tenaga pendamping kasus TPKS. Bahkan, penyelesaian kasus TPKS hingga Putusan Pengadilan Negeri kerap belum menggunakan aturan itu.
Kondisi Terkini di Berbagai Daerah
Di berbagai daerah di Indonesia, muncul hambatan-hambatan dan kendala implementasi di kepolisian karena mereka tidak memahami substansi UU TPKS.
Di Sulawesi Utara dan NTT, misalnya. Selain APH belum memahami substansi UU TPKS, mereka lebih berfokus pada penjeratan hukuman pelaku. Seperti kasus anak yang hanya menggunakan UU Perlindungan Anak dengan alasan hukuman lebih tinggi daripada UU TPKS.
Sementara itu, APH belum menggunakan aturan turunan UU TPKS sebab khawatir adanya penolakan dari Kejaksaan.
“Hal ini diperparah dengan budaya patriarki, stigma dan ketakutan terhadap pandangan masyarakat terkait kasus kekerasan seksual, yang menyebabkan masih kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat untuk melindungi dan memulihkan korban,” kata Rena.
Sementara di Kalimantan dan Papua, pendekatan mekanisme adat dan agama dalam penyelesaian kasus-kasus TPKS masih sering digunakan. Ini dapat merugikan korban akibat kentalnya patriarki dan stigma yang berlaku.
Belum ada pula kesiapan dari Instansi Pemerintah Daerah maupun APH setempat untuk terus memproses hukum kasus TPKS. Padahal, kasus TPKS tidak dapat dicabut atau dihentikan proses hukumnya, terlepas dari pelaksanaan mekanisme adat.
Baca Juga: ‘Harus Ada Partisipasi Publik’: Masukan Pembahasan Turunan UU TPKS
Di Malang Raya, masih ada penyidik yang tidak mau menggunakan UU TPKS. Bahkan memindahkan kasus ke Polres yang menggunakan UU TPKS.
Sedangkan di Aceh, penyelenggaraan layanan bagi pemenuhan hak-hak korban pelecehan dan kekerasan seksual masih menghadapi tantangan. Sebab, tata laksana hukum masih menggunakan Qanun No.9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
Bergeser ke Jawa Tengah dan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), penyidik kepolisian masih kurang memahami pemenuhan unsur pasal yang ada di UU TPKS. Bahkan sebulan setelah disahkannya UU TPKS, masih ada penyidik yang tidak mengetahui adanya UU TPKS.
Penyidik masih membutuhkan bukti untuk penguatan unsur kekerasan seksual. Misalnya untuk kasus pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU TPKS, harus memperlihatkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dari pelaku terhadap korban.
Di Maluku, UPTD belum berfungsi dengan baik. Dinas PPPA masih memegang kendali atas operasional UPTD, termasuk penggunaan fasilitas pendampingan korban. Tidak ada dukungan dari pemerintah yang memadai untuk shelter atau rumah aman dan biaya hidup korban selama menunggu proses hukum. Sementara, korban datang dari berbagai wilayah yang jauh dari UPTD.
Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan
Kasus TPKS juga terjadi di wilayah Bali. Muncul laporan kasus kekerasan seksual grooming melalui ruang obrolan daring. Isinya merayu banyak korban untuk mengirim foto alat kelamin dan dikirimkan ke pelaku.
Ironisnya, sampai saat ini pihak kepolisian tidak menetapkan pelaku sebagai tersangka. Alih-alih UU TPKS, mereka masih menggunakan UU Perlindungan Anak No. 35/2014.
Impunitas bagi pelaku KS yang merupakan pejabat negara, tokoh agama, tokoh politik, dan pejabat TNI / Polri banyak terjadi berbagai wilayah Indonesia. Contohnya kasus yang terjadi di Maluku Tenggara. Pelakunya seorang pejabat publik dan sampai saat ini proses hukum tidak berlanjut.
Alasannya, laporan polisi dicabut oleh keluarga korban. Padahal hal ini tidak bisa menjadi alasan bagi kepolisian dari penghentian penyidikan. Terlebih, perbuatan tersebut dapat diberikan sanksi diperberat mengingat pelakunya adalah pejabat negara.
“Keberhasilan dalam penanganan kasus masih sangat didominasi oleh faktor individu-individu yang memiliki perspektif korban maupun disabilitas. Bukan disebabkan oleh mekanisme yang dibangun secara sistemik dengan tujuan penanganan kasus berperspektif korban,” kata Nurul Kurniati, konselor Rifka Annisa.
Tuntutan Percepatan Pengesahan Aturan Turunan UU TPKS
Jaringan Masyarakat Sipil menyampaikan tuntutan terkait aturan turunan UU TPKS.
Mereka mendesakkan agar pemerintah segera mengesahkan Aturan Pelaksana UU TPKS, baik Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Ini demi kelancaran penanganan kasus kekerasan seksual di berbagai daerah di Indonesia. Dengan memastikan mekanisme perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.
Selain itu, perlu ada sosialisasi dan edukasi untuk pemahaman aturan ini bagi seluruh Aparat Penegak Hukum. Serta dinas/instansi terkait yang mendampingi kasus tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga pelaksanaan aturan itu dalam perspektif gender dan keberagaman yang berpihak pada pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
JMS juga mendesak adanya penguatan koordinasi antar pengada layanan, Lembaga Negara HAM/NHRI, LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, APH, pelaksana BPJS dan juga KPPPA serta Kementerian terkait.
Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana
Dengan kesepahaman bersama bagi kepentingan pelayanan korban yang holistik, termasuk terkait keberagaman, wilayah konflik, disabilitas dan situasi khusus, seperti wilayah Aceh, Papua dan wilayah pulau terluar lainnya.
Terakhir, pemerintah agar mengalokasikan anggaran untuk menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah disabilitas di tingkat UPTD PPA, kepolisian, dan pengadilan.
“Termasuk penyediaan Juru Bahasa Isyarat, psikolog, serta penempatan ruang pengaduan kasus kekerasan seksual yang mudah di akses penyandang disabilitas dan fleksibilitas waktu dalam pelaporan kasus,” pungkasnya.