Memotret 2 Kongres Perempuan: Kongres Perempuan Nasional dan Kongres Perempuan Akar Rumput

Sebuah Kongres perempuan bertajuk Kongres Perempuan Nasional (KPN) diselenggarakan di Semarang sebagai ruang konsolidasi perempuan dalam Pemilu dan politik saat ini. Namun, di luar kongres ada jaringan gerakan perempuan yang memprotes kongres dengan melakukan aksi, karena KPN dianggap tidak mengikutsertakan masyarakat akar rumput.

Sepekan lalu, dua gelaran Kongres Perempuan diselenggarakan secara terpisah. Ada Kongres Perempuan Nasional (KPN) dan Kongres Akar Rumput

Hadirnya Kongres Akar Rumput, menyikapi adanya Kongres Perempuan Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKWO), akademisi dan sejumlah organisasi perempuan pada 24-26 Agustus 2023, yang disebut-sebut tak menyertakan masyarakat akar rumput. Kongres Akar Rumput ini dikatakan, sebagai ruang alternatif perjuangan perempuan akar rumput.

“Upaya ini dilakukan sebagai salah satu cara merawat gerakan perempuan akar rumput di Indonesia dan menyuarakan suara perempuan akar rumput yang termarjinalkan,” begitulah narasi undangan kehadiran di Kongres Akar Rumput yang diterima Konde.co

Sejak 23 Agustus 2023, Kongres Akar Rumput ini menggelar diskusi menuju Kongres ‘Puan, Seni, dan Ruang Hidup’. Sehari kemudian, aksi diam jaringan perempuan akar rumput digelar sebagai aksi protes di luar ruangan penyelenggaraan KPN. 

Per 25-26 Agustus 2023, Kongres Akar Rumput mengadakan sidang rakyat secara daring. Bahasan sidang di sesi I meliputi akar penindasan perempuan: kekerasan berbasis gender dalam ruang hidup yang memberikan ruang kepada para perempuan korban perampasan ruang. 

Sukinah yang merupakan perempuan Kendeng, mengawali untuk bersuara. Dia menuntut agar aktivitas pertambangan pabrik semen di Kendeng dihentikan. Sebab kerusakan alam yang ditimbulkan berdampak pada warga Kendeng, utamanya bagi para perempuan. 

Baca Juga: Perempuan Melawan Belenggu Semen

Ia mendesak agar Putusan Mahkamah Agung (MA) harus dijalankan. Putusan MA No. 99 PK/TUN/2016 ini memenangkan gugatan masyarakat petani Kendeng. Namun, Gubernur Jawa Tengah justru mengeluarkan izin ulang. Hingga berdampak, pabrik semen Kendeng tetap beroperasi. 

“Pemerintah harus menutup pabrik semen. Ketimpangannya sangat banyak, apalagi di Kendeng ini. Di jalur hukum, dulur-dulur Kendeng ini sudah mengikuti aturan semua, mulai dari hukum dan non-hukum,” ujar Sukinah. 

Sri Mariyati, perempuan Pakel Banyuwangi yang mengalami konflik agraria juga bicara. Dia hanya ingin bisa bertani dengan tenang. Tanpa intimidasi dan kriminalisasi termasuk dari aparat akibat konflik pertanahan yang sudah terjadi puluhan tahun lalu. “Aparatnya selalu melindungi perusahaan. Pemerintah ini belum berhasil menyelesaikan konflik-konflik dengan adil.” 

Ia menceritakan, warga Pakel yang ditangkap. Perempuan di Pakel menjadi semakin menderita karena harus menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga. Dia berharap konflik bisa dihentikan dan mereka dapat keadilan serta ketenangan. 

“Tuntutan kita pada negara, cepat selesaikan konflik yang ada.” 

Perempuan dari Porong Sidoarjo, Harwati, menyatakan belasan tahun ini dirinya bersama komunitas perempuan terdampak lumpur Lapindo, masih “terkatung-katung” nasibnya. Masih banyak keluarga korban yang merasakan ketidakadilan. 

Harwati bilang, mereka belum mendapat pemulihan negara baik secara lingkungan maupun ekonomi. Upaya-upaya pemulihan hingga kini, sebatas pemulihan swadaya yang dilakukan gotong royong oleh masyarakat. “Kami membangun solidaritas di wilayah Porong. Pemulihan secara mandiri, kita lagi berupaya pemulihan ekonomi, terutama perempuan yang paling terdampak.” 

Wadas Melawan, yang diwakili Susi, juga hadir dalam Kongres Perempuan Akar Rumput. “Kami di sini sebagai warga biasa yang hanya ingin melestarikan alam, mempertahankan tanah untuk anak cucu kami, tapi pemerintah dengan seenaknya ingin mengambil hak kami,” ujar Susi mengawali bicaranya.  

Baca Juga: Hentikan Kekerasan dan Perampasan Kehidupan Perempuan di Wadas

Susi mengatakan, warga Wadas selama ini sering mengalami intimidasi untuk menyerahkan lahannya. Dia menyesalkan, polisi yang slogannya “mengayomi” malah menindas, menyakiti, dan memukul. “Membuat trauma ibu-ibu di sini, anak-anak. Mereka gak pernah berpikir itu.” 

Tidak hanya dampak lingkungan, konflik di Wadas juga telah memecah belah warga. “Dulu kami bisa berkumpul dengan ibu-ibu lainnya, berbincang dan bercerita. Tapi sekarang kami jadi tidak bisa bersatu karena dampak sosial itu sendiri,” katanya.

“Kami ingin Wadas tetap utuh, tetap lestari, gak ada tambang.” 

Dalam sesi itu, hadir pula perempuan dari pesisir Timbulsloko dan Cilacap, hingga para perempuan pejuang pencemaran lingkungan. Seperti warga terdampak PT RUM dan perempuan Demak yang terdampak pabrik briket. Mereka bicara soal rusaknya lingkungan dan terdampaknya kesehatan akibat aktivitas pabrik. Serta harapan-harapan agar nasibnya bisa diperhatikan negara. 

Selain itu, juga ada ketimpangan perempuan dalam pusaran ekonomi politik yang dikemukakan dalam sesi II Kongres. Di antaranya dari perempuan SPRT Merdeka, perempuan nelayan Demak, perempuan pekerja rumahan, perempuan buruh tani Pundenrejo, perempuan di Pulau Pari hingga perempuan buruh pabrik.

Nur mewakili Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Merdeka mengatakan, PRT nasibnya sampai kini belum diakui sebagai pekerja. Kerjanya tak dihargai secara layak, tidak adanya kontrak kerja, jaminan sosial dan kesehatan sampai tak adanya perlindungan hukum karena 19 tahun RUU PPRT belum juga disahkan. 

Baca Juga: Desak Pengesahan RUU PPRT, Masyarakat Sipil Akan Gelar Aksi Mogok Makan di Depan Gedung DPR

Tak beda jauh dengan situasi PRT, pekerja rumahan juga disebut Ida Fitriyani rentan terhadap kekerasan di ranah privat. Gaji juga murah, minim jaminan sosial, serta tidak ada perjanjian kerja yang seringkali merugikan mereka. 

Aas, perempuan nelayan rumput laut di Pulau Pari menceritakan perjuangan warga yang kini “dipaksa” beralih profesi akibat sengketa lahan dengan perusahaan. Komunitas warga itu mendirikan swakelola pariwisata sebagai sumber penghidupan. 

“Kami tinggal di Pulau Pari merasa terancam, terancam dirampas korporasi. Karena saat ini, perusahaan tak berhentinya mempengaruhi warga untuk menjual rumahnya ke perusahaan,” ujar Aas yang harus tiap minggu menghadiri persidangan di Jakarta suaminya akibat dikriminalisasi perusahaan. 

“Sampai saat ini kami belum mendapatkan hak yang dipenuhi, yaitu hak merasa aman,” tegasnya. 

Pada hari berikutnya, sidang rakyat II dilaksanakan menyoal “Perempuan, politik dan demokrasi”. Ada isu seputar keragaman gender, perempuan jurnalis dan kebebasan demokrasi, hak perempuan dan politik serta perempuan dalam upaya pemulihan tragedi 1965. 

Salah satu yang hadir ialah Svetlana, penyintas 1965. Selain stigma yang masih terjadi, Ia juga masih mengalami penguntitan dan trauma yang seringkali membuat tak nyaman. “Terus menerus diawasi setiap derap langkah, mungkin bukan hanya saya, tapi juga teman-teman lain.” 

Baca Juga: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Perempuan Yang Tak Mendapatkan Keadilan

Sementara, Misbi Parjianti dari Srikandi Lintas Iman mengingatkan bahwa masih ada paradoks yang terjadi dalam konflik sosial terkait agama. Korbannya, lagi-lagi perempuan. Satu sisi, perempuan jadi yang paling terdampak saat konflik agama. Namun, seringkali perempuan tidak dilibatkan dalam upaya penyelesaian konflik-konflik keberagaman dan beragama. 

Tak hanya Svetlana dan Misbi, para perempuan di sesi ini menyerukan soal permasalahan perempuan dan perlunya kebijakan serta upaya sensitif gender untuk menyelesaikan persoalan-persoalan terkait politik dan demokrasi. 

Kongres Perempuan Nasional Catat Kemajuan dan Kemunduran Perempuan

Kongres Perempuan Nasional (KPN) diselenggarakan 24-26 Agustus 2023 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sejumlah pejabat yang menjadi pembicara dalam kongres ini dikritik, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang dianggap belum menyelesaikan persoalan korban-korban lingkungan di Jawa Tengah seperti di Kendeng dan lain-lain. 

KPN juga awalnya akan menghadirkan Ketua DPR, Puan Maharani yang akan menutup kongres. Puan Maharani dirasa sangat tidak tepat bicara disini karena para perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah lama mencarinya di DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT, namun Puan sulit ditemui.

KPN juga dinilai tidak menghadirkan para korban dalam forum ini, padahal menghadirkan korban di hadapan pemerintah dan pengambil kebijakan seharusnya menjadi bagian dari perjuangan perhelatan kongres perempuan.

Steering committee kongres, Masruchah menyatakan bahwa kongres ini diselenggarakan untuk melihat apakah kita telah mengalami kemajuan dan catatan penting apa yang bisa disuarakan ke pengambil kebijakan. Sedangkan Koalisi Perempuan Indonesia, KPI melalui Sekretaris Jenderal-nya, Mike Verawati merespon positif kongres karena bisa digunakan sebagai bagian dari perjuangan perempuan. 

Melihat kritikan yang ditujukan pada KPN, panitia kongres menyatakan, menyambut baik aksi di luar kongres ini karena ini bagian dari berdemokrasi bagi perempuan dan menunjukkan dinamisasi perjuangan perempuan.

Baca Juga: Kongres Perempuan Nasional 2023, Bahas Persoalan Perempuan dan Politik

Ketua panitia KPN, Nawal Nur Arofah dalam pidato pembukaannya menyatakan bahwa situasi saat ini, betapa sulitnya menyatakan dengan lantang bahwa perempuan di seluruh negeri sudah mendapatkan haknya. 

“Kemiskinan, pekerjaan tanpa upah, beban ganda, KDRT, kekerasan seksual, perdagangan perempuan, akses tanah dan kedaulatan pangan masih terjadi di Indonesia, ini yang menghambat pertumbuhan perempuan,” katanya. 

Kongres ini mengangkat tema kepemimpinan perempuan dan satu abad Indonesia yang merupakan kelanjutan kongres sebelumnya di tahun 2018 dan tidak bisa dilakukan di tahun berikutnya karena pandemi. 

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,/ Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang membuka kongres ini. Ia menyatakan bahwa perjuangan para perempuan Indonesia harus terus berlanjut, terus terdidik, terasah semaksimal mungkin dan tidak berhenti di ranah domestik saja.

“Ranah publik juga ranahnya perempuan, perempuan harus berakal dan berdaya, bermanfaat dan berakal bagi lingkungan sekitarnya,” kata I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Baca Juga: Beban Ganda Bikin Perempuan Sulit Berkarir

Menteri PPPA juga menyatakan bahwa pemerintah telah menjamin kesetaraan gender di Indonesia dalam bentuk regulasi. Ia mencontohkan, ada banyak regulasi dan peraturan di Indonesia bisa menjadi pemantik dalam kongres ini. Selama ini ada Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang pengarusutamaan gender, ada ratifikasi CEDAW atau kebijakan non-diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, ada kesepakatan perempuan dalam Beijing Platform for Action/ BPFA.

“Ini menunjukkan kesetaraan gender telah ditempatkan sebagai isu lintas pembangunan dan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan sosial, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Maka perlu kita sadari bahwa perempuan sudah mengisi hampir separuh populasi di Indonesia, artinya perempuan adalah kekuatan bangsa dan menjadi aktor pembangunan dan melaksanakan dan menikmati pembangunan tersebut.”

Namun ia merasa, hingga saat ini masih banyak persoalan perempuan dan anak yang masih dihadapi negara ini. Seperti, ketimpangan gender, diskriminasi dan stereotip. 

“Padahal regulasi sudah ada untuk perempuan, maka ini yang harus kita selesaikan. Di Jawa Tengah ada pembangunan yang responsif gender, namun secara nasional ini masih menjadi PR. Untuk itu pemberdayaan perempuan adalah upaya yang harus dilakukan. Kami yakini betul bahwa pemerintah tak bisa bekerja sendiri.”

Kongres Perempuan Nasional kemudian juga membahas spesifik tentang kepemimpinan perempuan dalam tata kelola pemerintahan, sumberdaya alam, kedaulatan pangan, reformasi hukum dan kekerasan terhadap perempuan, kebudayaan dan media. 

KPN selanjutnya mengeluarkan sejumlah rekomendasi soal kemajuan dan tantangan sepanjang 4 (empat) tahun ini. Seperti, perempuan merayakan kemajuan dan capaian yang ada. 

Baca Juga: Catatan Tentang Kondisi HAM dan Perempuan di Indonesia: Pemerintah Punya Banyak PR

Tantangan dan hambatan pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan Indonesia harus didialogkan. Kemudian, harus dirumuskan strategi kerangka aksi untuk mengatasinya dengan melibatkan lintas gerakan. Baik dalam pemerintahan, parlemen, lembaga nasional HAM, akademisi, partai politik, korporasi, organisasi sosial kemasyarakatan, NGO dan gerakan sipil lainnya. 

Rekomendasi dari Kongres ini akan menjadi agenda gerakan perempuan lintas elemen. Nantinya hal ini untuk disuarakan kepada para pengambil kebijakan dan kandidat pengambil kebijakan di tingkat pusat, daerah, serta pemangku kepentingan strategis lainnya.

Penyelenggara KPN antara lain gabungan dari berbagai organisasi antara lain Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) Jawa Tengah, Darma Wanita Persatuan UNDIP, PKK Jawa Tengah, dan LRC-KJHAM.

Ada pula Rahima, KUPI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), KOPRI PMII Jateng, IMM Jateng, Kohati Jateng-DIY, pusat studi wanita, akademisi, mahasiswa, dan lembaga pemerintah maupun non pemerintah telah bersatu padu bersinergi mewujudkan acara ini. 

Nurul Nur Azizah dan Luviana

Nurul Nur Azizah dan Luviana, Redaktur dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!