Teknologi Saat Ini Masih Bias Gender, Gimana Perempuan Ambil Peran? 

Ini adalah catatanku soal perempuan dan teknologi saat hadir di Dekode Fest 2023 beberapa waktu lalu. Bagaimana para perempuan saling membincang upaya mewujudkan teknologi feminis yang aman dan bisa diakses setara.

Upaya mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam sektor publik kini sudah semakin masif. Paling tidak, kebijakan publik soal 30% representasi perempuan sudah didorong untuk diimplementasikan di berbagai tingkatan. Termasuk dalam politik praktis dan manajerial institusi formal.

Dalam wawancaranya dengan VOA, Desintha Dwi Asriani, Dosen dan peneliti Departemen Sosiologi UGM, menyampaikan bahwa upaya tersebut dilakukan tak lepas kaitannya dengan sosialisasi kebijakan dan pendidikan. Sesuai dinamika perkembangan zaman, isu teknologi pun juga penting jadi perhatian. 

“Bagaimana perempuan bisa mendapatkan pendidikan dengan isu teknologi tinggi sudah masif dilakukan,” ujar Desintha.

Pekan lalu, saya menghadiri Dekode Fest 2023 yang diselenggarakan oleh Purple Code Collective, di Jakarta. Mereka adalah perkumpulan perempuan yang memiliki fokus pada isu teknologi. Mereka mengedepankan kepemimpinan perempuan untuk merebut teknologi yang berbalut patriarki.

Acara ini hadir tiap dua tahun sekali. Tujuannya untuk merayakan pengetahuan dan keingintahuan perempuan terhadap teknologi. 

Di sana para peserta diajak untuk berartikulasi, berekspresi, dan merefleksi keseharian perempuan. Juga bicara bagaimana lapisan gender ikut mengambil peran di dalamnya. Termasuk saling berbagi cerita yang berangkat dari pengalaman diri saat bersinggungan dengan teknologi. Ini sejalan dengan visi mereka yang mengarusutamakan prinsip internet feminis.

Baca Juga: Bagaimana Cara Kita Memperjuangkan Teknologi Feminis

Sampai hari ini, perempuan memang sudah bersinggungan dengan teknologi dalam menjalankan berbagai peran mereka. Sebagai seniman perempuan yang bergelut dengan teknologi, Ika Vantiani misalnya, merasakan teknologi memang membantu pekerjaannya. Namun di sisi lain, ia bisa juga bisa membuat manusia jadi kebanyakan duduk. 

“Harga teknologi itu adalah akan membuatku sakit pinggang dan harus pergi ke fisioterapis atau pergi ke tempat pijat serta memiliki kursi dan meja ergonomis—kita harus berjam-jam di depan laptop. Teknologi yang kita harap memudahkan justru menggerogoti fisik penggunanya,” kata Ika Vantiani saat pembukaan acara, beberapa waktu lalu.

Ika Vantiani juga mempertanyakan mengapa teknologi itu sangat english-sentris sekali dan tidak menggunakan bahasa lain saja? Pengarusutamaan dalam sistem penggunaannya menjadikan kita mau tidak mau harus bisa paham bahasa Inggris. Tidak hanya itu, ia melihat semua hal yang berbau teknologi itu berupa angka.

Pembahasan berikutnya adalah apakah teknologi memberikan ruang aman bagi perempuan saat menggunakan atau menjadi bagian? 

Pada nyatanya, kerentanan perempuan di teknologi sangat riskan—akses dan media yang didapat pun masih minim karena hanya lelaki yang mendapatkannya. Belum lagi, stigma susahnya perempuan memahami pembelajaran teknologi.

Baca Juga: Perjuangkan ‘DigitALL’ di Hari Perempuan Internasional: Teknologi untuk Kesetaraan Gender

Dari sebuah analisis global terhadap 133 sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence),  hanya sekitar 22% perempuan yang bergabung di dalamnya. Sementara 44,2% menunjukan bias gender dalam industri AI.

Gabriella Seilatuw sebagai digital marketer di salah satu instansi kesehatan, rasanya ingin sekali “memakan” smartphone-nya—semua informasi bisa kita serap, tetapi memahaminya sungguh menjebak. 

Dunianya atau kita pun berada dalam piranti —yang pas dalam genggaman itu— sudah menjadi sebuah keharusan untuk diikutsertakan dalam keseharian.

“Teknologi juga membuat kita mengetahui apa yang enggak kita kuasai. Jadi, anggapan bahwasanya kita itu tidak tahu apa-apa juga dianggap semacam ledekan. Itulah pengalaman tidak mengenakkan yang kualami saat di dunia kerja yang ranah itu harus inisiatif belajar untuk bisa dipahami diriku sendiri,” ungkap Gabriella Seilatuw pada sesinya.

Gabriella tak memungkiri, teknologi dari smartphone-nya memang membantunya mendapatkan sumber informasi terbuka—seperti soal perempuan, feminisme, atau materi perkuliahannya dulu. Namun, Ia tidak bisa membayangkan jika tak semua perempuan bisa mengakses internet. Baik karena keterbatasan fasilitas ataupun tidak meratanya akses. 

Hal ini pernah dibahas dalam acara Konferensi Internasional Perempuan: Beijing +20 tingkat regional pada 2014 di Bangkok dan di tingkat internasional di New York 2015 silam. Pembahasan di sana mengenai apa saja hak perempuan dalam bidang teknologi, salah satunya akses perempuan menikmati teknologi.

Baca Juga: 3 Perempuan Yang Alami Kesenjangan Digital: Lansia, Perempuan Desa Dan Berpendidikan Rendah

Masalah paling mendesak yang perlu menjadi atensi bersama adalah, pemerintah harus menyediakan akses serta mengembangkan komunikasi dan jaringan informasi yang bermanfaat dan merata bagi para perempuan.

Teknologi yang Gabriella rasakan juga memberikan empower—kekuatan dari perempuan lain ikut tertular kepadanya, sehingga ia merasa bangkit untuk melakukan kegiatan hariannya. Dengan begitu, ia harus menakar apa yang dirasa perlu atau tidak.

Ia juga berpikir, terkadang perempuan yang sering tampil atau jago dalam teknologi dan internet sering dianggap sesuatu yang “wow!”—padahal seharusnya lumrah dan perempuan juga bisa menguasai itu. Akibatnya, banyak perempuan dimanfaatkan dan dijadikan “penarik magnet” orang lain sebagai suatu  “komoditas”.

Teknologi juga dianggap sebagai “pencair” sesuatu yang bersistem kaku—menunjukkan ekspresi dan mendedikasikan pribadi dirinya dengan bebas tanpa adanya pakem batasan. Kita bisa terkoneksi dengan siapa saja di dunia maya. Hanya saja, pasti ada saja segelintir orang yang berhasrat menguak identitas.

Baca Juga: Privasi adalah Isu Feminis: Ramai-Ramai Blokir Kominfo

Kebenaran yang ada di antara depan mata atau layar pun terlihat tipis perbedaannya, layaknya berada pada percabangan jalan. Di sinilah perlunya pemahaman literasi media atau digital agar kita bisa memilih “arah” yang benar dan tidak semerta-merta menelan semua arus informasi.

Indonesia juga mengarungi tantangan isu ketidaksetaraan gender yang berujung pada kekerasan berbasis gender online (KBGO). Perempuan dipaksa keluar dari ruang digital yang seharusnya menjadi hak mereka. Hal tersebut diperparah buruknya “payung” hukum dan perlindungan kepada korban yang memperburuk situasi.

Kekerasan dan pelecehan online pun mempersulit pemberdayaan digital dan menghadang peluang transformasi secara menyeluruh. Faktor usia, disabilitas, lokasi, dan status sosial-ekonomi memperparah, bahkan jauh lebih besar mendapatkan rintangan saat berupaya merebut kembali ruang aman digital mereka.

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!