Ilustrasi petani perempuan

Cerita Petani Perempuan di Lombok yang Berdaya Kelola Energi Hijau

Verapati dan Sinar Hati adalah petani perempuan dari Lombok, NTB, yang kini aktif mengelola Energi Baru Terbarukan (EBT). Kedua perempuan ini menggerakkan komunitas petani untuk memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan biogas untuk lebih berdaya menopang ekonomi keluarga.

Perempuan petani di kaki gunung Rinjani, Verapati, tak menyangka kelompok taninya jadi percontohan untuk penggunaan energi hijau. Ia kini aktif menjadi pegiat biogas di Kelompok Wanita Tani (KWT). Bahkan, turut serta dalam program penyuluhan di daerahnya.  

Ia bangga dan bersyukur, para perempuan tani di daerahnya bisa menjadi lebih berdaya. Sebab tak sedikit dari mereka yang adalah penopang perekonomian keluarga. 

Mereka adalah petani hasil hutan di pegunungan. Komoditas utamanya adalah kopi. 

“Penting menularkan semangat kepada para petani agar lebih produktif, karena ada keluarga yang harus terus kita hidupi. Kelompok kami terdiri dari ibu-ibu tani,” ujar Verapati yang saya temui usai diskusi Just Energy Transition for People: Community Independent Power Producer (JETP-CIPP) yang diselenggarakan Trend Asia Greenpeace beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Warga Dusun Persil, Desa Karang Sidemen, Lombok, Nusa Tenggara Barat ini menuturkan. Sebagai perempuan, dirinya merasa bangga bisa menyekolahkan anak-anaknya karena hasil tani. Setidaknya penghasilan per bulan bisa untuk membayar sekolah anak dan kehidupan sehari-hari.

”Sangat penting perempuan menjadi berdaya. Bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi tapi juga kebutuhan anak-anak seperti sekolahnya,” jelas Vera.

Baca Juga: Perempuan Petani Tak Pernah Dianggap Pekerja, Dianggap Pembantu Suami di Sawah

Keberhasilan Verapati ini, berawal dari perkenalan dirinya dengan Yayasan Rumah Energi (YRI) pada pertengahan tahun 2023 lalu. Saat itu, kelompok taninya pertama diberikan sosialisasi tentang cara mengurangi tagihan listrik. Caranya dengan menggunakan energi alternatif seperti PLTS dan biogas untuk meroasting kopi.

 Dengan teknologi hijau itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar listrik dan membeli gas untuk mengeringkan kopi bisa dipangkas. Selain juga lebih ramah lingkungan. 

”Biasanya butuh sekitar Rp 100 ribu per bulan untuk biaya listrik kini kami bisa memangkas setengah tagihan listrik. Kini kami mengeringkan kopi bisa sepekan, kini dengan energi hijau kami bisa mengeringkan dalam waktu sehari saja. Ini membuat kami bisa memproduksi lebih banyak kopi, bahkan kami bisa membuat brand kopi kami sendiri. Selain produksi lebih cepat kami bisa memasarkan sendiri kopi kami,” ungkap dia.

Energi Hijau Bantu Ekonomi Petani Menggeliat

Produktivitas tani yang meningkat membuat daerah kaki gunung Rinjani yang asri bergeliat. Ekonomi warga meningkat sejalan dengan terus penyuluhan yang kerap dilakukan Vera kepada warga di luar desanya.

”Alhamdulillah meningkat penghasilan warga desa hingga keluar desa kami. Desa kami yang sederhana sangat asri dengan potensi hasil hutan yang sangat bagus bisa dikembangkan. Untuk itu kami minta dukungan dari berbagai pihak agar energi hijau makin meluas dan bisa memberikan manfaat bagi kemajuan desa kami,” harapnya.

Biogas dari kotoran sapi juga membantu memangkas kebutuhan rumah tangga. Vera mengungkap sehari-hari warga desanya tidak pernah lagi membeli gas dari warung.

”Kami sudah punya sumber gas gratis, biogas disalurkan ke rumah-rumah warga tanpa tagihan. Ini sangat membantu keluarga di desa kami,” ujar ibu dua anak ini.

Vera mengungkap, Komunitas ibu-ibu petani kaki Rinjani juga mengelola koperasi simpan pinjam dengan simpanan pokok Rp 100 ribu dan simpanan wajib Rp 10 ribu. Ini agar anggota KWT bisa memanfaatkan jika ada kebutuhan mendesak dan juga modal usaha. Bahkan KWT bisa mengajak anggotanya rekreasi melepas penat dari hasil tani.

“Simpan pinjam dimanfaatkan ibu-ibu untuk menutupi kebutuhan mendesak hingga modal, sehingga mereka tidak sampai mengalami kesulitan ekonomi dalam membantu keluarga. Misalnya untuk biaya sekolah anak atau modal usaha, kami juga bisa mengajak ibu-ibu rekreasi setiap tahunnya karena pekerjaan sebagai petani terkadang melelahkan,” bebernya.

Baca Juga: Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani

Sementara itu, dari Pesisir Lombok, Perwakilan Komunitas For Women Sinar Hati juga sudah lebih dahulu berkenalan dengan energi hijau. Sinar Hati mengaku sudah berkenalan dengan YRI sejak 2019. Sinar Hati mengatakan, energi hijau difokuskan untuk kegiatan usaha di desanya.

Perempuan kelahiran asli Lombok ini mengaku energi hijau sudah mulai memasyarakat di Desa Bilebante, Kecamatan Ibrid Lombok Tengah.

”Kami sudah menganggap PLTS ini sebagai bagian dari kehidupan kami. Desa kami hampir setengahnya mengandalkan energi surya,” akunya.

Perekonomian di Desa Sinar Hati menggeliat setelah membuat konsep desa wisata sehingga dirinya tidak mengubah sedikitpun ciri khas desanya. Karena wisatawan sangat suka merasakan secara langsung pembuatan kopi.

”Kami sengaja masih menggunakan lesung untuk menumbuk kopi. Ini bagian dari konsep desa wisata, pelancong paling suka merasakan sendiri membuat kopi secara alami. Ini bagian dari keunggulan desa kami,” jelasnya.

Energi surya, dikatakan Sinar Hati kerap digunakan untuk mengeringkan keripik hingga kopi sebagai komoditas utama di desanya dari hasil pertanian. Produksi keripik jauh lebih efektif, biasanya mereka mengeringkan di terik matahari bisa memakan waktu berhari-hari. 

“Ini kami menggunakan PLTS, kami bisa mengaktifkan pemanggang untuk membuat keripik bahkan bisa kami selesaikan setengah hari dengan hasil produksi yang lebih banyak. Tidak takut dengan musim hujan karena teknologi PLTS bisa tetap bekerja dalam kondisi hujan,” bebernya.

Baca Juga: Tak Menyerah di Tengah Pandemi: Para Perempuan Petani Lahirkan Coklat Mboro

Komunitas For Women dijelaskan Sinar Hati sebagai salah satu komunitas yang memberi tempat energi hijau sebagai solusi dari persoalan ekonomi warga. Ia mengaku diberi pelatihan dari produksi hingga branding produk makanan, minuman hingga cara mengaktivasi PLTS hingga biogas dari kotoran sapi.

Untuk masuk Komunitas For Women juga bukan hal yang mudah. Sinar Hati mengungkap proses seleksi dilakukan agar menjaring petani anggota yang punya komitmen pada energi bersih. 

“Dari 52 orang yang tersaring akan disaring lagi menjadi 20 anggota yang berkomitmen secara gigih memperjuangkan keberlangsungan energi hijau untuk masyarakat desa,” ungkap ibu tiga anak ini.

Sinar Hari mengungkap kendala permodalan hingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi sandungan kala dirinya mulai ingin memperluas jangkauan bisnis. Komunitasnya punya banyak keterbatasan, hingga niat hati ingin besar tapi keterbatasan dana selalu membuatnya resah.

”Kita kesulitan mencari orang, biaya kami juga terbatas. SDM minim, warga perlu edukasi, karena biasanya warga sebenarnya mengerti usaha tapi sulit menjalankannya,” akunya.

Meski begitu, kendala dari sana-sini tak membuat Sinar Hati menyerah. Kegigihannya dalam memperluas usaha dan meningkatkan produksi berbuah manis. ”Saya kesulitan mengajak maka saya menjadi contoh saja. Lama kelamaan warga tergerak mengikuti jejak saya,” ungkapnya.

Memberdayakan Sesama Petani Perempuan

Tanpa lelah Sinar Hati terus membekali ilmu bagi ibu-ibu di desanya. Ia punya harapan ibu-ibu berdaya dalam memperbaiki ekonomi keluarga. Menurutnya, perempuan harus mandiri, tidak boleh bergantung pada suami agar keluarga berjalan seimbang.

”Pemikiran anggota For Women berubah mereka mulai memahami pentingnya pendidikan. Kami membuat tabungan dana pendidikan agar ibu-ibu bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga berpendidikan tinggi,” jelasnya.

Sinar Hati yang awalnya kerap direndahkan karena berpendidikan rendah mengaku tak berkecil hati. ”Saya tidak peduli dinyinyiri. Tinggal saya buktikan bisa menyekolahkan anak-anak sampai lulus karena usaha yang saya tekadkan dari awal ingin anak-anak sekolah tinggi jangan seperti saya yang tidak sekolah. Dari pembuktian itu orang-orang akhirnya mau bergabung dengan For Women,” ujar perempuan 49 tahun ini.

Penghasilan menjanjikan dari hasil tani dikatakan Sinar Hati sudah seharusnya meluas ke seluruh Indonesia, petani harus hidup sejahtera.

Baca Juga: Menjadi Petani Itu Tak Mudah, Inovasi Jadi Problem Perempuan Petani

”Petani adalah penopang pangan negara, maka petani harus berdaya dan tidak kekurangan secara ekonomi, kedepan pekerjaan petani haruslah menjadi pekerjaan yang menjanjikan dan mensejahterakan,” katanya.

Dari penjualan komoditas kopi, dikatakan Sinar Hati, ibu-ibu petani bisa mengantongi hingga Rp 3 juta per bulan, sementara dari keripik dan makanan lainnya bisa mencapai Rp 2 juta, ibu-bu di desanya menjadi mandiri dan berdaya.

”Ibu-ibu merasakan manfaat yang luar biasa dari energi surya, mereka bisa memangkas keperluan rumah tangga dari biogas sehingga mereka mulai bisa menabung,” jelasnya.

Sinar Hati juga mengaku membuatkan taman bacaan di daerah sekitar pertanian agar ibu-ibu yang memiliki anak bisa membaca buku sambil menunggu ibunya bertani.” Kami tidak ingin membuat anak-anak kami membuang waktu hanya dengan bermain, sehingga kami berinisiatif membuat taman bacaan, jadi kami buat taman bacaan agar mereka tetap bisa dipantau selagi ibunya bertani,” ujarnya.

Selamat Tinggal Batu Bara 

Energi hijau atau Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis komunitas kini bukanlah hal yang asing dan baru di masyarakat Indonesia, pembangkit listrik tersebut bisa dibangun dengan bahan baku lokal dan teknologi sederhana. 

Beberapa jenis penghasil listrik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMh), Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Matahari dan lainnya. Lebih melegakan lagi, energi hijau itu membuat perempuan menjadi lebih berdaya hingga bisa menopang perekonomian keluarga.

Aspek keadilan dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Kementerian ESDM disebutkan menjadi jalan teknis dan kerangka kerja penggunaan USD 20 juta dana JETP, yang akan membiayai pemensiunan batu bara, pembangunan energi terbarukan, dan upaya dekarbonisasi lain. 

“Meski menyematkan kata “keadilan” (just) di dalam tajuknya, dokumen CIPP mengandung banyak masalah keadilan. Aspek pelibatan publik, yang penting untuk menjamin keterlibatan masyarakat, hanya dilakukan secara kosmetik. Sekretariat JETP membuka periode masukan publik pada 1- 14 November,” ungkap Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian.

Dalam hal ini, dokumen terjemahan Indonesia baru tersedia pada tanggal 10 November. Masyarakat diberi jeda waktu yang sangat sempit untuk membaca dokumen CIPP. “Dokumen akhir diluncurkan pada 21 November, sulit membayangkan mereka dapat mempertimbangkan masukan secara substansial dalam waktu yang sempit,” lanjut Beyrra.

Baca Juga: Catatan di Hari Perempuan: Pemerintah Masih Abaikan Perempuan Petani, Buruh dan Nelayan

Menurut Beyrra, Sekretariat JETP tidak memberikan balasan apapun terkait komentar yang telah dikirimkan oleh publik. Penyusunan dokumen CIPP tidak melibatkan masyarakat lokal sekitar proyek energi, dan tidak secara mendetail mempertimbangkan aspek keadilan pada buruh terdampak transisi. 

“Perencanaan CIPP juga memuat banyak solusi palsu: solusi yang terkesan “hijau”, namun sebenarnya tetap akan menghasilkan emisi atau melanggengkan penggunaan sumber energi kotor, seperti co-firing, Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), dan lain-lain,” katanya.

Beyrra mengungkap, pembiayaannya juga sangat bermasalah, karena porsi dominan dari pendanaan akan berupa pinjaman. “Hal ini akan membuat transisi energi menjadi berorientasi keuntungan, sementara publik dan negara Indonesia akan memanggul risikonya

Padahal di Indonesia, kata Beyrra, konsep EBT berbasis komunitas pun bukanlah hal yang asing dan baru.

”Sebagai contoh, Desa Batu Sanggan di Riau menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMh) untuk mengaliri listrik ke rumah warga, dan di Desa Gempolrejo, lampu penerangan jalan ditenagai oleh pembangkit listrik tenaga angin dan matahari yang dibangun menggunakan bahan baku lokal dan teknologi sederhana. Sayangnya upaya-upaya ini kerap terhalang minimnya pendanaan, kapasitas SDM, dan keselarasan kebijakan,” pungkasnya.

DP Sari

Pembaca dan penulis di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!