Stop Merekam Tanpa Izin, Penghormatan Hak Privasi Itu Isu Feminis

Di era digital, siapapun bisa mudah saja memotret dan merekam video lalu mengunggahnya di sosial media. Tapi ingat, kita mesti menghormati hak privasi orang lain, baik di ranah privat maupun publik. Ini sejalan dengan perjuangan isu feminis yang menjunjung kesetaraan termasuk dalam hal persetujuan (consent).

Privasi adalah elemen penting dalam perjuangan isu feminis. Penghormatan atasnya, berarti perjuangan kesetaraan baik dalam lingkup pribadi ataupun ruang publik. 

Sebagaimana Blandina Lintang dari Purple Code Collective— kolektif feminis interseksional yang berfokus pada isu gender, hak asasi dan teknologi, pernah menyampaikan ke Konde.co, pelanggaran hak privasi sebagai bentuk upaya mengontrol dan melanggengkan ketidaksetaraan. Terlebih, jika pelanggaran privasi itu, justru digunakan untuk “kepentingan pihak tertentu” termasuk komersial. 

Lalu, apa kaitannya itu semua dengan kehidupan sehari-hari kita? 

Jawabannya, berkaitan begitu erat. Sebab, tiap orang dari kita saat ini bisa dengan gampang memposting foto maupun video yang sadar atau tak sadar, bersinggungan dengan hak privasi orang lain. 

Kita ambil contoh, satu kasus yang ramai diperbincangkan belakangan ini. Seorang influencer asal Indonesia berinisial AG merekam video sepasang kekasih yang sedang berciuman saat berada di kereta saat kunjungannya ke Jepang. 

“Lagi di kereta otw ke Nagoya, nengok sebelah kiri, ternyata ada muda-mudi Jepang sedang berbuat (emot meleleh),” cuitnya di X pada 24 Februari 2024. 

Dalam video yang berdurasi sekitar 4 detik itu, dia menutup wajah orang tersebut dengan menggunakan stiker. Meski begitu, identitasnya masih bisa dikenali. Sebab dia menyebutkan lokasinya, menampakkan gaya penampilan dan rambut, serta hal-hal detail lain kecuali wajah. 

Postingannya di X itu kemudian mengundang banyak komentar dari warganet. Namanya pun bahkan menjadi trending selama beberapa hari. Banyak pula unggahan screenshot yang dijadikan “bahan rujakan” dengan komentar warganet. 

Hal yang paling ramai dibahas adalah mereka menyayangkan adanya pelanggaran hak privasi yang dilakukan influencer AG tersebut. Apalagi, dia kala itu tengah berada di Jepang, negara yang terkenal ketat soal hak privasinya. 

Baca Juga: Bagaimana Mengelola Data Pribadi Saat Bermedsos?

Seorang warganet dengan akun X @sisthaaaaa bahkan melaporkan AG ke Imigrasi Jepang @MOJ-IMMI akibat pelanggaran privasi. 

“@MOJ_IMMI, orang ini Catwo******r (disamarkan–red) adalah seorang turis asal Indonesia dan baru-baru ini dia mempublikasi tindakan seksual pihak ketiga di kereta menuju Nagoya tanpa izin. Meskipun wajah orang lain tidak diperlihatkan, namun ada kemungkinan orang tersebut dapat dikenali dari pakaian, gaya rambut, atau lokasi dan waktu pengambilan foto. Jadi, kami menghargai kerja sama Anda,” tulis Sistha dalam bahasa Jepang, dikutip Konde.co, Minggu (25/2/2024).

Mengutip Live Japan, memotret dan juga mengambil video (apalagi jika dipublikasikan) di Jepang itu memang ada etikanya. Salah satunya soal objek yang tidak boleh diambil (foto/video) tanpa izin atau secara diam-diam. Termasuk kepada anak orang lain, melalui jendela atau aktivitas orang di dalam kereta, sampai tak memotret/video barang-barang yang ada dalam toko. 

AG barangkali hanya satu dari sekian pengguna sosial media yang ramai diperbincangkan karena pelanggaran privasi. Di sekitar kita, bisa jadi praktik-praktik pengambilan gambar dan video tanpa izin, sadar atau tidak, kita sering temui. 

Satu fenomena sosial media yang berhubungan dengan itu, misalnya posting “konten bersyukur”. Yaitu, pengguna sosial media yang tanpa izin memfoto dan merekam video tanpa izin orang lain, kemudian dibubuhkan caption yang memantik kesedihan atau ala-ala “sekedar mengingatkan” agar lebih bersyukur. 

Tentu saja, itu tak ada bedanya sebagai bentuk pelanggaran privasi. Sebab tak ada persetujuan (consent) dan bahkan mengganggu hak privasi orang lain.  

Tiap Orang Punya Privasi Di Ruang Publik

Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menyebut setiap orang punya hak atas privasi agar tidak dicampuri urusannya oleh publik. Jadi, tak hanya di ruang privat. 

Dalam konteks ruang publik, orang juga punya hak untuk mendokumentasikan sesuatu yang tidak mungkin meminta persetujuan satu per satu dengan orang di sana. Namun, apabila dokumentasi tersebut secara spesifik mengidentifikasi identitas seseorang, maka persetujuan tetap berlaku. Meskipun diberi stiker atau sensor untuk menutupi ciri-cirinya, tetap saja ada identitas yang melekat di sana. Apalagi jika foto atau video tersebut disebarluaskan kepada publik.

“Walaupun kita di ruang publik, tapi secara spesifik mengambil gambar atau video individual, berlakulah prinsip privasi tadi, di mana memerlukan consent kepada pihak-pihak yang terlibat,” ujar Nenden saat dihubungi Konde.co pada Kamis (29/2/2024).

Terlepas dari isi foto atau video, merekam perbuatan orang lain tanpa izin termasuk pelanggaran privasi. Terlebih jika konten tersebut disebarluaskan dengan tujuan negatif seperti dirundung dan dicemooh oleh warganet lainnya.

“Itu sudah melanggar banyak hal dari hak privasi, hak mereka untuk tidak diganggu. Hal ini juga sudah termasuk salah satu bentuk harassment atau pelecehan terhadap hak-hak individu,” ujar Nenden

“Menyebarkan, memviralkan sesuatu, apalagi tujuannya hanya untuk viral dan mendapatkan attraction di media sosial itu sesuatu yang tidak etis,” imbuhnya.

Baca Juga: ‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik

Jika terpaksa tindakan tersebut harus direkam karena misalnya melibatkan korban anak kecil atau tindakan berbahaya lainnya, maka rekaman harus disimpan. Hal ini berguna sebagai alat bukti saat melaporkan ke polisi. Penyebarluasan konten hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu yang jika dibiarkan akan berdampak buruk bagi masyarakat luas.

“Hanya kondisi yang luar biasa ketika itu berhubungan dengan tingkat kriminalitas yang mungkin membahayakan orang lain. Itu di level yang sangat tinggi yang kemungkinan berdampak buruk pada masyarakat lebih luas,” tambahnya.

Memahami Aturan Privasi di Indonesia

Dikutip dari Hukum Online, hak privasi adalah hak individu untuk menentukan apakah data pribadi akan dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain. Maka dari itu, tiap individu punya hak privasi atas data pribadinya yaitu hak mengatur, mengedit, mengelola dan menghapus data pribadi. Pemilik hak privasi juga berhak menentukan kapan, bagaimana dan untuk apa data itu dikomunikasikan kepada pihak lain. 

Hak privasi diidentifikasi sebagai ukuran kontrol individu terhadap beberapa elemen kehidupan pribadinya seperti, informasi tentang diri pribadinya, kerahasiaan identitas pribadinya, serta pihak-pihak yang punya akses indrawi terhadap seseorang itu. 

Salah satu konsep penting dalam hak privasi ini, juga disebutkan hak untuk tidak diganggu. Sebab perlindungan privasi merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini bisa kita artikan, sebagai hak seseorang juga merasa aman dari kerahasiaannya di ruang publik. 

Di Indonesia, hak privasi telah diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G. Di sana tertulis bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Warga juga berhak merasa aman dan mendapat perlindungan dari ancaman.

Aturan tersebut juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Meski begitu, implementasi UU PDP masih jauh dari kata efektif. Hal ini menjadi miris, mengingat kasus serangan siber makin sering terjadi dengan berbagai modus.

Baca Juga: Bagaimana Cara Kita Memperjuangkan Teknologi Feminis

SAFEnet menyebutkan beberapa tipe data pribadi yang tidak boleh disebarluaskan. Data tersebut seperti nama lengkap, NIK, NPWP, SIM, alamat rumah, email, tempat dan tanggal lahir, nomor kendaraan, data biometrik, dan masih banyak lagi.

Salah satu yang termasuk data pribadi adalah gambar fotografik. Gambar ini terutama bagian wajah atau lainnya yang menunjukkan karakteristik seseorang. Oleh karena itu, penggunaan sensor menjadi penting ketika mengunggah foto atau video tertentu tanpa mengabaikan persetujuan dari orang yang ada dalam konten.

Pelaku pelanggaran hak privasi bisa dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 32 dan Pasal 48. Aturan serupa juga terdapat dalam UU PDP Pasal 16. Artinya, pelaku penyebaran foto dan/atau video yang memuat data pribadi seseorang dapat dipidana.

Dampak Pelanggaran Privasi bagi Perempuan 

Pelanggaran privasi akan berdampak buruk, khususnya bagi perempuan. Sebab, perempuan termasuk kelompok yang rentan terkena serangan siber. Masih banyak ditemui masyarakat yang menyalahkan perempuan atas kasus yang menimpanya, terlebih dalam konteks kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, sebanyak 869 kasus kekerasan berbasis siber di Indonesia terjadi sepanjang 2022. Angka tersebut bisa jadi lebih besar, mengingat tidak semua perempuan korban berani dan bisa melaporkan kasus KBGO tersebut.

Hal ini tidak terlepas dari stigma yang sering disematkan kepada perempuan ketika foto atau videonya tersebar. Tidak hanya mendapatkan komentar buruk di media sosial, konten tersebut bisa juga dimanfaatkan untuk mengancam dan meneror perempuan korban.

“Masyarakat Indonesia sangat anti terhadap pelanggaran “moral dan norma”. Jadi ketika kamu sudah berlaku melanggar norma itu seolah-olah sudah dihukum “mati”. Bahwa kamu adalah pelaku perbuatan mesum yang itu bisa jadi catatan hitam yang berdampak kepada perempuan,” ujar Nenden.

Baca Juga: Maraknya KBGO dari AI: Pentingnya Semangat 16 HAKTP Terus Digerakkan

Persoalan privasi juga seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Sebab, hak privasi termasuk hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Setiap orang–termasuk perempuan–berhak mendapatkan rasa aman, baik di dunia nyata maupun maya.

Oleh karena itu, penting untuk memahami tentang persetujuan atau consent sebelum melakukan sesuatu, termasuk merekam. Berikut karakteristik consent yang harus dipenuhi:

  • Freely given (diberikan secara sukarela).
  • Reversible (bisa ditarik kembali).
  • Informed (dipahami kedua belah pihak).
  • Enthusiastic (dengan antusias).
  • Specific (spesifik pada suatu waktu).

Persetujuan juga harus dipahami lewat komunikasi verbal dan nonverbal (gestur tubuh). “Tidak” berarti “tidak”, “iya” belum tentu setuju. Sebab, ada budaya patriarki yang menekan perempuan agar semakin tidak berdaya. Hal ini membuat keputusan yang dibuat atas dasar ancaman, paksaan, dan manipulasi.

Persetujuan juga hanya berlaku untuk satu peristiwa saja. Artinya, perlu menanyakan kembali soal persetujuan karena bisa jadi jawabannya berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, persetujuan bersifat tidak permanen.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!