‘Aku Penyintas Depresi, Berkebun Bantuku Pulih’ Cerita Perempuan Inisiator Waras Berkebun 

Seorang penyintas depresi, Zahra Tsamarah, membagikan ceritanya menggerakkan Waras Berkebun. Dari kebun sederhana di samping rumahnya, dia kemudian membagikan kisah inspiratifnya sebagai finalis ketiga di Gaharu Bumi Innovation Challenge tahun ini.

Zahra Tsamarah (28), sempat mengalami perasaan sedih yang terus menerus. Pikirannya penuh berkecamuk. Dia menjadi susah tidur dan makan. Lebih sering mengurung diri.

Jangankan keluar rumah, sekadar membalas pesan singkat dari teman saja, Ia tak mampu. Pernah di masa paling berat, ada pikiran buat mengakhiri hidup. Dia benar-benar bingung dengan kondisinya. 

“Apa yang sebenarnya terjadi pada saya?” ujar Zahra, perempuan asal Purworejo, Jawa Tengah itu. 

Hal itu terjadi pada sekitar tahun 2020.  Zahra kala itu, sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas akhir kuliah. Selain itu, dia juga harus mengurusi kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) dari kampusnya. 

Setiap hari, Zahra harus menjalani rutinitas mengerjakan tugas sampai jam 3 atau 4 pagi. Belum istirahat cukup, dia sudah harus berangkat lagi kuliah pagi-pagi. 

Tak sekadar padatnya aktivitas, Zahra juga dihadapkan dengan masalah mental saat itu. Dia bercerita, juga mengalami perundungan (bullying) yang membuatnya tertekan. Dia dikucilkan dari lingkungan pertemanan.

Salah satu perundungan yang dialami Zahra, adalah saat teman-temannya mengejeknya ‘kampungan’. Pernah juga suatu ketika, penampilannya direndahkan seperti ‘kerudungnya gede, kayak mukena’.

(Zahra berkebun di rumahnya di Purworejo, Jawa Tengah/ Dok Rusti Konde.co)

Pikiran Zahra berkecamuk. Luka atas trauma perundungan yang terjadi saat dirinya berada di masa pesantren kembali hadir. Saat itu, dia begitu terpuruk karena tidak punya support system yang baik di sana. Dia merasa sendiri dan tak dipedulikan.  

Baca juga: Bully di Sekolah Merebak, Bagaimana Cara Menghentikannya?

Selain hal-hal itu, Zahra mengaku juga, saat itu ada juga pikiran soal persoalan keluarga. Berbagai pengalaman masa lalunya itu, membuatnya semakin overthinking.   

Semua itu Zahra pendam sendiri. Rasanya, sudah seperti mau ‘meledak’. 

“Namanya masalah saat itu ditampung sendiri, gak dibagi. Istilahnya kaya gelas udah kepenuhan atau ember harus meluap gitu kan airnya,” cerita Zahra saat ditemui Konde.co di kediamannya di Purworejo, Jawa Tengah, Senin (25/3/2024).

Perubahan yang terjadi pada Zahra, ditangkap oleh ibu Zahra, Asri (52). Dia melihat tingkah yang berbeda pada anak perempuannya itu. Ibunya juga mendapati, Zahra jadi sering lupa makan. Susah tidur. Bikin ibunya cemas. 

“Namanya orang tua, kok gak tidur-tidur pas saat skripsi, akhir semester, apa karena saking semangatnya? Terus saya bilangin, ayo tidur, tidur. Makan pagi juga saya ingetin, kok gak laper-laper, ayo nanti pencernaannya rusak lho,” cerita Asri di kawasan Jakarta, awal Maret lalu. 

Tak berapa lama dari itu, Zahra dibantu ibunya periksa ke psikolog dan psikiater. Usai konsultasi, Zahra didiagnosis depresi berat atau severe depression (depresi tingkat akhir). 

Itu semacam gangguan yang intens dan berkepanjangan pada suasana hati. Dampaknya, aktivitas sehari-hari pun ikut terganggu. Termasuk kehilangan minat untuk berinteraksi dengan lingkungan. 

Dari sesi dengan ahli psikologi itu, Zahra dianjurkan buat melakukan hal yang disuka. Kebetulan, dia suka menanam. Jadi, Ia dianjurkan buat bikin kebun kecil-kecilan di rumah. 

Baca juga: Cara Ampuh Tingkatkan Kesehatan Mental: Taruh Tanaman Hias di Ruanganmu

Aktivitas berkebun, juga bisa buatnya tetap bergerak. Resep ini juga yang dianjurkan dari psikiaternya buat perbanyak aktivitas fisik di rumah. Ibarat sambil menyelam minum air, berkebun jadi sarana penghilang stres dan olahraga bagi Zahra.    

Beberapa waktu Zahra rutin melakukan aktivitas berkebun. Dia merasa overthinking-nya makin berkurang. Stres dan perasaan tak nyamannya, makin jarang kambuh. Cara ini lebih ampuh dia rasakan, dibandingkan upaya rilis stres yang selama ini dia lakukan seperti menulis di kertas. 

Zahra menggambarkan, ada perasaan nyaman tiap dirinya memegang tanah. Memindahkan tanah itu dari polibag. Menyiram tanah yang mengeluarkan aroma bau basah. Sambil memetik daun-daun yang ada hamanya. Dia merasakan perasaan yang begitu tenang. Damai. 

“Setelah aku baca-baca, ternyata tanah itu ada anti-depresan alaminya,” ucapnya. 

(Polybag berisi tanah yang disiapkan Zahra untuk jadi media tanam untuk berkebun/ Dok. Rusti Konde.co)

Dia mengonfirmasi apa yang dia rasakan saat sesi konseling. Apa berkebun ini yang bikin kondisinya semakin membaik? Dokter jiwanya membenarkan itu. 

“Saya membatin, berarti benar, kalau saya overthinking lagi berarti saya mau berkebun saja di rumah,” kata Zahra.

Dari situlah, awal mula Zahra sampai sekarang aktif berkebun. Berkebun baginya sudah jadi bagian hidup. Dia membantu Zahra pulih dan terus waras. 

Dari cerita Zahra, Waras Berkebun telah menjadikannya terlepas dari konsumsi obat antidepresan sejak Agustus 2023 sampai sekarang. Sementara obat anti cemas, sudah jauh berkurang dosisnya, dari yang awalnya 650 mg/hari menjadi 50 mg per dua hari. 

“Rasanya, sehari saja gak berkebun, rasanya ada yang hilang dari hidup saya,” imbuhnya. 

(Rumah Zahra di Purworejo Jawa Tengah yang dijadikan area berkebun. Dok Pribadi Zahra)
Dukungan Penuh Keluarga

Zahra bisa dibilang beruntung melewati masa depresi beratnya. Di balik aktivitas berkebun yang dia lakukan, ada dukungan dari keluarga yang begitu berarti. Terlebih, ibunya, yang sedari awal mendampingi. 

Ibu Zahra, Asri, termasuk orang pertama yang bisa mengenali gejala depresi pada anak perempuannya itu. Dia juga yang pontang-panting mencarikan pertolongan ahli psikologis yang layak dan terjangkau. 

“Sebagai orang tua, saya kan punya atasan (pekerjaan), saya konsul, yaudah ke psikolog aja,” kata perempuan paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai petugas pelayanan obat di puskesmas itu.

Tak semudah membalikkan telapak tangan. Proses pencarian psikolog itu tak langsung ketemu. Sebagai warga kabupaten, tak dipungkiri akses untuk kesehatan mental relatif terbatas. Dibandingkan perkotaan yang lebih variatif dan ada bisa diakses dengan jaminan sosial.

Baca juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

Asri sempat mengunjungi psikolog tingkat kabupaten, tapi ternyata malah harus bayar. Karena katanya, belum ada perjanjian kerja sama (MoU) dengan pihak Pemerintah Daerah. Dia lantas disarankan meminta rujukan untuk mengakses psikolog di Kota Magelang agar bisa digratiskan. 

Hal itu, sangat membantu bagi Asri. Paling tidak, sesi konsultasi bagi Zahra bisa dilakukan berkelanjutan. Sebab dia tau, proses pemulihan mental memang tidak sebentar. Jadi persoalan biaya, tidak lagi jadi hambatan jika ada akses yang terjangkau. 

“Kalau psikolog itu ceritanya kan panjang. Misal, sehari belum jadi, terus dikasih PR, nanti ada treatment, ada jadwal apa, jurnal apa, gak sekali dua kali,” lanjutnya. 

Dengan itu, Zahra pun, juga bisa mengakses layanan rumah sakit jiwa (RSJ) dengan layak. Lingkungan sekitar di sana pun juga suportif. Bisa menjadi teman pulih Zahra. Salah satunya, melalui aktivitas berkebun yang dilakukan Zahra dan temannya di RSJ.  

Meskipun di satu sisi, Zahra selama berobat untuk kesehatan mentalnya juga bukannya tanpa tantangan. Masih ada stigma-stigma soal kesehatan mental yang dianggap tabu. Juga lingkungan sosial yang menyudutkannya, karena seringnya di rumah saja, padahal sudah lulus kuliah.

“Dibilangnya kok di rumah saja, udah lulus, padahal aku juga selama ini ikut pelatihan konselor online, ikut jadi relawan, terus ikut keterampilan juga kan direhabilitasi menjahit, berkebun,” terangnya. 

Tak semuanya seperti itu, Zahra bersyukur masih ada tetangga dan orang terdekatnya yang mengerti dan berempati dengan kondisi Zahra. Dari mereka bahkan ada yang jadi teman cerita Zahra karena sama-sama penyintas depresi. 

Semangat itulah yang Zahra kuatkan. Dia memilih tak ambil pusing dengan komentar dan stigma negatif yang ditujukan padanya. Sebaliknya, dia memperdulikan orang-orang yang selama ini mendukungnya.  

“Harus cuek, lagian mereka kan bukan yang ngasih makan (kita), iya juga sih, kalau kata ibu, gak papa, ntar buat pahala kita di akhirat. Buat ngurangin dosa gitu,” katanya. 

Baca juga: Dear Orangtua, Remaja Butuh Didampingi Karena Depresi dan Kesehatan Mental

Sampai saat ini, Zahra memang terus berproses untuk benar-benar pulih. Dari tahun 2020 pertama kali dia mengetahui dirinya mengalami depresi sampai sekarang, artinya sudah 4 tahunan. 

Seiring waktu ini, Asri turut senang, Zahra telah mengalami perkembangan bagus dalam pemulihan mentalnya. Dia pun sangat mendukung waras berkebun yang Zahra inisiasikan. Waras Berkebun ini kepanjangan dari kata ‘WARAS’ (Sehat Jiwa dan Fisik Selaras) dengan cara ‘Berkebun’. 

(Zahra menunjukkan bibit tanaman di kebunnya. Dok. Rusti Konde.co)

Bukan saja, membantunya dalam pembelian alat-alat berkebun, tapi Asri juga dukungan moral Zahra untuk aktif dalam gerakan berkebun.

Dalam menjalankan Waras Berkebun, Zahra memang masih dalam lingkup keluarga dan teman terdekat. Ada ibunya dan adiknya, yang suka membantu di kebun. Seperti, mengolah tanah, menyirami, membersihkan kebun ataupun merawat agar tanaman-tanamannya tetap sehat. 

Baca juga: Konten Pandawara Group Menepis Efek ‘Eco-Anxiety’

Ada macam-macam tanaman yang tumbuh subur di sana. Ada cabe, bayam merah dan bayam hijau, kemangi, daun singkong, kangkung, pandan, daun sirih sampai pakcoy. Juga ada berbagai tanaman hias seperti lidah buaya, bunga kertas, bunga matahari dan bunga melati. 

Kebun sederhananya di dekat rumah itu, tak hanya membantunya pulih secara mental. Tapi juga keindahan dan manfaat ekonomis. Baik Zahra ataupun Asri mengamini, kebun itu juga sudah menghasilkan sayur mayur yang digunakan untuk memasak setiap hari di rumah. 

Dalam seminggu, paling tidak kebunnya bisa panen 3 kali. Di tengah situasi harga cabe dan sayur mayur yang saat ini makin mahal, mereka merasakan sangat terbantu. 

“Lumayan, soalnya cabe mahal banget terkadang, jadi bikin hemat,” celetuknya. 

(Hasil panen cabe dari kebun Zahra/ Dok Pribadi Zahra)
Waras Berkebun Jadi Inspirasi Penyintas Depresi

Tak pernah disangka, inisiatif Zahra untuk Waras Berkebun yang berangkat dari ceritanya sebagai penyintas depresi, kini jadi inspirasi. Zahra terpilih menjadi salah satu dari 29 finalis di Gaharu Bumi Innovation Challenge, yang Ashoka Indonesia selenggarakan atas dukungan Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation. 

Ia bersama keluarganya di Purworejo, Jawa Tengah, melalui berkebun sebagai penyalur emosi penyintas depresi, punya tekad membantu penyelarasan kesehatan jiwa, fisik dan alam. Utamanya, bagi sesama penyintas depresi. 

“Harapannya, menyasarnya ke keluarga yang terindikasi stres. Kan memang stres gak bisa dihindarkan dari keseharian kita, jadi kalau banyak orang yang melakukan itu nanti dari rumah ke rumah, seenggaknya 5 tanaman dulu untuk mengobati stres,” kata dia. 

(Bunga matahari yang ditanam Zahra di kebunnya. Dok Pribadi)

Mulai aja dulu, adalah kata yang sering Zahra ucapkan. Baginya langkah sederhana berkebun yang punya dampak besar ini, bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Bukan saja bikin lebih sehat mental, tapi sebagai aksi kepedulian akan lingkungan yang hijau. 

Waras Berkebun juga sebagai wujud inisiasi diri untuk lebih peduli dan sadar atas krisis iklim dan ketahanan pangan. 

“Saya mengajak teman-teman untuk rutinitas berkebun dan mengajak keluarganya.” 

Ke depan, Zahra punya mimpi, dia pengen mendampingi dan berkolaborasi dengan lebih banyak penyintas depresi lain untuk aktivitas berkebun. Salah satunya, melalui jejaring Gaharu Bumi Innovation Challenge yang memungkinkannya saling terhubung dengan banyak penggerak perubahan atau changemakers.

Baca juga: Gen Z Dinilai Kurang Peduli Isu Lingkungan, Pendekatannya Harus Tepat

Zahra menceritakan, sejauh ini banyak hal yang Ia dapatkan saat mengikuti Gaharu Bumi Innovation Challenge ini. Hal yang paling berkesan misalnya, bertemu dengan banyak teman baru yang punya visi perubahan positif. Zahra jadi ngerasa tidak sendirian berjuang termasuk dalam hal mengelola perkebunan sebagai media untuk penyintas depresi pulih.

Ia banyak belajar juga dari para peserta lainnya. Salah satunya, pasangan suami-istri yang mengelola kebun untuk swasembada pangan dari rumah. Di kebun mereka yang ditanami beraneka macam sayur, juga ada kolam ikan gurame yang bisa dijadikan sumber protein keluarga. 

Tak cuma buat ketahanan pangan keluarga, mereka juga sudah menghasilkan secara ekonomi. Bagi Zahra, hal itu menginspirasinya untuk terus mengembangkan diri untuk bisa semangat lagi merawat Waras Berkebun-nya. 

“Kerja itu gak harus dari kantor, bisa dari lahan sendiri. Gak usah malu sama apa kata orang, jadi aku kayak terinspirasi lebih luas gitu (pemikirannya),” kata Zahra. 

(Zahra saat mempresentasikan Waras Berkebun di acara Gaharu Bumi Innovation Challenge di Jakarta Maret lalu/ Dok. Rusti Konde.co)

Gaharu Bumi Innovation Challenge ini merupakan sebuah kompetisi yang menampilkan inisiatif dari keluarga, anak muda, dan komunitas dalam memperlambat atau memitigasi krisis iklim. Kandidat yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki konektivitas, kreativitas dan komitmen serta kolaborasi. 

Nani Zulminarni, Direktur Ashoka Asia Tenggara mengatakan pentingnya Gaharu Bumi Innovation Challenge ini digelar, sebagai sikap dari memburuknya daya dukung bumi bagi kehidupan manusia. Tak bisa hanya diam saja dan jadi penonton, di tengah krisis iklim yang kian nyata. 

Baca juga: Desa Tenggelam dan Hilang, Perempuan Setengah Mati Bayar Hutang: Akibat Banjir Rob

Makanya, gerakan ‘Everyone is Changemaker, setiap orang adalah pemimpin perubahan harus terus digalakkan. Diperlukan upaya berkelanjutan yang dilakukan bersama-sama. Dari lingkup paling kecil termasuk keluarga. 

“Ini bukanlah kompetisi atau pertandingan yang memperebutkan juara seperti biasanya, namun ruang inspirasi dan belajar bersama para changemaker yang memiliki keprihatinan yang sama,” ujar Nani Zulminarni di Festival Gaharu Bumi Bumi Innovation Challenge, yang diselenggarakan di Jakarta, Sabtu (2/3/2024). 

Sejak peluncuran Gaharu Bumi Bumi Innovation Challenge, Nani menyebut, tahun ini para peserta yang berminat sampai 700-an changemaker. Dari jumlah itu, kemudian disaring menjadi 95 peserta. Yaitu, 35 orang muda dan 21 dari keluarga. Hingga akhirnya, prosesi wawancara sampai terpilih 29 finalis dari kategori orang muda, keluarga dan komunitas, yang hadir ke Jakarta dari berbagai wilayah di Indonesia. 

Dalam hal ini, Zahra yang terpilih sebagai finalis, bisa punya kesempatan buat mendapatkan dukungan pendanaan puluhan juta rupiah dan mentoring. Selain itu, juga dukungan perjalanan dari Purworejo ke Jakarta dan terkoneksi dengan Panel Final Gaharu Bumi di Jakarta, terkoneksi dengan ratusan penggerak perubahan dan sertifikat partisipasi digital. 

“Panelis akan memilih finalis yang sangat kuat dan inisiasi kepemimpinan gerakannya lebih besar. Dan inisiatif yang dilakukannya akan menjadi contoh bagi masyarakat secara luas,” pungkas Nani. 

(Liputan ini mendapat dukungan Ashoka melalui Gaharu Bumi Media Fellowship)

Nurul Nur Azizah dan Rustiningsih Dian Puspitasari

Tim Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!