Eny Rochayati getir melihat nama-nama tiga pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta di Pilkada kali ini. Baginya, tidak ada dari mereka yang dapat mewakili aspirasi rakyat DKI Jakarta. Khususnya perempuan dan masyarakat miskin kota.
Bagi Eny, demokrasi seakan dipaksakan di pilgub periode ini. “Untuk apa memilih? Saya kira, ini kita dipaksakan untuk memilih boneka-boneka yang memang bukan kemauan kita,” kata Eny dalam konferensi pers daring Jaringan Rakyat Miskin Kota, Senin (23/9/2024).
Ketiga paslon tersebut—Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana—dinilai tidak punya keberpihakan kepada rakyat. Kekecewaan itu pun membuat Eny memutuskan untuk mencoblos ketiga paslon di pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta yang akan berlangsung pada November 2024.
Eny bersama Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) Jakarta menggelar aksi di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta di Salemba, Jakarta Pusat, pada Senin (23/9/2024). Mereka menyerukan gerakan Coblos Tiga Paslon menjelang perhelatan pilgub DKI Jakarta pada November 2024 mendatang.
Gerakan tersebut adalah bentuk protes masyarakat Jakarta, terutama perempuan dan rakyat miskin kota, atas pilkada Jakarta yang dianggap tidak didasari aspirasi rakyat. Menurut koordinator JRMK, Minawati, pilkada Jakarta di periode ini lebih cenderung merugikan warga. Dampaknya paling terasa oleh masyarakat dan perempuan miskin kota.
Jakarta beberapa tahun terakhir dipimpin oleh Penjabat (Pj.) Gubernur Heru Budi. JRMK menilai bahwa para calon pemimpin yang ditentukan bukan dari pilihan warga tidak akan memahami persoalan yang sesungguhnya dihadapi masyarakat Jakarta.
“Kami dulu, lima tahun yang lalu, punya kepastian untuk berdagang, kepastian untuk tempat tinggal. Sekarang ini, kenapa kami bilang demokrasi menurun? Karena memang tidak ada dari aspirasi rakyat yang menyuarakan nasib kami,” tutur Minawati dalam konferensi pers daring, Senin (23/9/2024).
Baca Juga: ‘Mereka Menginterogasi dan Membotaki Kepalaku’ Hukum Tak Adil bagi Warga Miskin Kota
“Itu yang membuat kami akhirnya golput. Siapa pun calonnya, kami sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sudah ditunggangi kekuasaan para elite. Dan pemilu ini sudah dikuasai oleh para partai politik. Partai politik tidak lagi memihak kepada rakyat, tapi memihak kepada para elite.”
Sementara itu, Eny Rochayati dari JRMK merasa demokrasi dipaksakan di ajang pilgub DKI kali ini. Sehingga ‘percuma’ untuk memilih satu di antara tiga pasangan calon yang tidak mewakili aspirasi rakyat.
“Artinya, kalau pun kita memilih, mereka tentunya tidak akan memikirkan bagaimana nasib kita, kaum miskin kota. Mereka akan lebih memikirkan para oligarki, elite-elite politik,” tegas Eny.
Eny juga menyoroti penggiringan beberapa partai politik untuk mendukung salah satu paslon. Baginya, cara tersebut tidak sehat dalam iklim politik Indonesia. “Itu kelihatan sekali ambisi untuk memimpin Jakarta,” tukasnya. Ia melanjutkan, dengan cara seperti itu, maka gubernur terpilih akan mengabdi pada partai-partai yang mengusung mereka alih-alih kepada rakyat, khususnya rakyat miskin kota.
Bukan Soal Profil
Eny menegaskan, gerakan Coblos Tiga Paslon terjadi bukan karena tokoh tertentu maju atau tidak maju di Pilkada Jakarta. Gerakan tersebut adalah desakan atas kebutuhan sosok pemimpin yang memahami persoalan di Jakarta.
“Bukan soal orang per orang atau profil orangnya. Tapi bagaimana kita mempunyai pemimpin yang bisa mengerti, apa sih sebetulnya yang terjadi di Jakarta khususnya?” sahut Eny.
Menurutnya, kebijakan-kebijakan pemerintah DKI Jakarta selama beberapa tahun terakhir terasa dampaknya oleh perempuan dan rakyat miskin kota. Salah satunya bagi pedagang kaki lima (PKL). Ini menimbulkan semacam ketakutan akan nasib Jakarta dalam lima tahun ke depan.
“Kita nggak tahu rekam jejak mereka ini seperti apa. Jadi untuk apa kita memilih? Bagaimana kita memilih pemimpin yang dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan kita, miskin kota?”
Eny juga menyoroti kondisi Jakarta di bawah kepemimpinan Pj. Gubernur selama dua tahun terakhir. Heru Budi selaku Pj. tersebut, menurutnya, bukan pilihan warga Jakarta. “Kita tidak tahu siapa sih, Pj. ini, track record-nya seperti apa? Dengan dipaksakannya Pj. untuk menjabat di Jakarta, artinya tidak memikirkan nasib kita. Dia tidak tahu isu apa yang terjadi di Jakarta,” terang Eny.
Pemerintah yang Tidak Bisa Berdialog
Sebelumnya, Minawati mencontohkan konflik antara warga Kampung Susun Bayam dengan pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Pj. Gubernur.
Dalam kasus Kampung Bayam, mulanya warga dijanjikan relokasi ke kampung susun menyusul pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Namun, ketika kepemimpinan dilimpahkan ke penjabat gubernur, Jakpro dan pemerintah provinsi berubah pikiran. Sehingga warga justru diusir dari Kampung Susun Bayam. Kini warga Kampung Bayam tercerai-berai; beberapa tinggal di rusunawa Nagrak.
“Sampai sekarang mereka (warga Kampung Bayam) belum bisa masuk (ke rumah susun Kampung Bayam). Padahal sudah pegang SK Walikota,” ujar Minawati.
Kasus lain yang disoroti oleh Minawati adalah wacana penggusuran Lengkong, Cilincing, Jakarta Utara oleh perusahaan. Serta pedagang kaki lima yang harus berhadapan dengan Satpol PP. Masalah-masalah tersebut paling terasa oleh rakyat miskin kota, sehingga mereka skeptis dengan para calon pemimpin daerah mendatang.
Baca Juga: Perempuan Marjinal Kota: Kemiskinan Seperti Nyawa yang Tak Pernah Lepas dari Kehidupan Mereka
Shirley, warga Kampung Bayam yang saat ini tinggal di rusunawa Rorotan, Nagrak, menyebut bahwa kepemimpinan Pj. Gubernur selama dua tahun ini adalah bukti sulitnya ketika pemerintah tidak bisa berdiskusi dua arah dengan masyarakat.
“Pj. malah akan tidak tahu apa permasalahannya Kampung Bayam dan selalu mengembalikan, ‘kita tanya ke sini’, ‘kita tanya ke situ’. Itu yang bikin saya gerah,” tukas Shirley. “Padahal seharusnya dia tinggal lanjutkan saja.”
Ia juga menceritakan sedikit pengalamannya ketika bertemu dengan sejumlah partai politik. Salah satu sosok dari fraksi sebuah partai mengaku kepada Shirley, meski tahu tentang JIS, ia baru mendengar tentang permasalahan Kampung Susun Bayam.
“Ini permasalahan Kampung Bayam bukan baru, sudah bertahun-tahun lho. Masa’ seorang wakil rakyat tidak tahu permasalahan apa yang ada di rakyatnya?” tukas Shirley.
“Sampai sekarang, itu yang membuat saya berpikir. Nasib kita ke depannya gimana kalau kita dapat pemimpin yang nggak kita kenal?”
Jakarta Bukan Cuma Tentang Macet dan Banjir
Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran JRMK adalah perspektif para paslon Gubernur DKI Jakarta terhadap masalah di Jakarta. Tutur Eny, selama ini yang menjadi bahan diskusi dan perdebatan selalu tentang banjir dan kemacetan. Padahal, persoalan di Jakarta lebih dari itu.
Hal tersebut diamini oleh Shirley. Ia mencontohkan, “RK (Ridwan Kamil, pen.) datang dari Bandung tahu-tahu hendak mengubah Jakarta.”
Soal masalah macet dan banjir, sejak dulu ada solusi, tapi hanya untuk mengurangi alih-alih menuntaskan. “Tapi yang lebih prihatin lagi ini tentang hak tinggal warga. Itu yang sama sekali mereka tidak pernah melirik dan dianggap remeh,” kata Shirley.
“Ketakutan kami itu masalah tempat tinggal warga tidak pernah terfokus. Dalam debat pun yang diurusi banjir, macet. Tapi untuk tempat tinggal, untuk tempat kami warga miskin tinggal itu tetap terabaikan.”
Baca Juga: Stereotip Perempuan Jawa di Film: Perannya Jadi PRT, Dianggap Miskin dan Kampungan
Baginya, pemerintah seakan-akan cuma melihat urusan hak tempat tinggal warga sebagai sesuatu yang remeh. Apa lagi ketika menyangkut nasib rakyat miskin kota.
“Jadi selama ini aku lihat, pemerintah ini cuma lihat, ‘Udah lu, lu orang miskin, lu tinggal di kardus sama triplek. Tinggal kapan gue mau pakai lahannya, tinggal gue gusur lu, gue pindahin’,” kata Shirley getir.
Padahal, menurutnya, relokasi pasca-penggusuran bukan sebuah penyelesaian. Pembahasannya lebih dari sekadar pemindahan tempat tinggal warga. Mereka juga harus memikirkan cara bertahan hidup dan memulai hidup yang baru di tempat baru.
“Pasti ujung-ujungnya, kalau aku melihat dari mereka saat ini, calon-calonnya. Yang diuntungkan ini bukan rakyat miskin. Tapi mereka bekerja untuk oligarki.”
Demokrasi dalam Bahaya, Rakyat Tetap Berjuang
John Muhammad dari Salam 4 Jari juga mengamini gerakan Coblos 3 Paslon. Menurutnya, gerakan tersebut adalah salah satu upaya menjadi oposisi atas politik elektoral ‘akal-akalan’.
“Demokrasi kita dalam bahaya dalam konteks ini,” kata John. “Pilkada-nya juga didesain satu putaran untuk satu calon tertentu di rezim Jokowi-Prabowo.”
Masalahnya tidak berhenti pada paslon gubernur yang tidak paham isu Jakarta. Sebelumnya, paslon gubernur Pongrekun-Kun Wardana disinyalir mencatut KTP warga DKI Jakarta secara ilegal untuk mencalonkan diri di pilkada Jakarta. Praktik tersebut bisa saja terjadi pula di daerah-daerah lain. John menyebut hal ini sebagai tindakan kriminal.
“Jadi kalau bisa memang kita kritis pada soal itu,” kata John. “Bahwa apakah dia paslon boneka atau tidak. Selama mereka tidak menyuarakan apa yang sebenarnya dikehendaki akar rumput, mereka adalah pihak yang problematik.”
Baca Juga: Akses Sepeda Yang Baik Bisa Berdayakan Perempuan Di Daerah Miskin
Sementara itu, menurut pakar hukum Bivitri Susanti, memilih atau tidak memilih sama-sama merupakan hak politik. Namun, tentu ada kekhawatiran dipidana karena dituding golput saat kontestasi politik berlangsung.
“Kita bisa dipidana kalau memaksa orang untuk golput dengan kekerasan,” kata Bivitri. “Kalau sekadar ngomong ‘golput itu nggak apa-apa’, itu nggak seharusnya kena pidana. Tidak memilih, tidak kena pidana.”
Lanjutnya, “Yang kena pidana kalau kita memaksa orang tidak memilih dengan pemaksaan / kekerasan / gratifikasi. Tujuan berpolitik adalah untuk pemenuhan hak-hak kita. Jadi kalau kita tahu tidak ada yang dapat memenuhi hak-hak kita, nggak apa-apa.”
JRMK telah menyatakan sikap coblos 3 paslon di depan KPUD. Namun, kemungkinan besar tetap akan ada paslon yang terpilih. Dengan demikian, apakah gerakan tersebut sebetulnya berdampak?
Jawab Bivitri, gerakan itu tentu berdampak. Namun, “Masalahnya adalah dampaknya langsung atau tidak langsung? Ini adalah menghukum secara politik. Penghitungannya bukan dari dasar pemilih tetap, penghitungannya dari jumlah orang yang memilih.”
Baca Juga: Ada Dana Otsus, Kenapa Papua Masih Terancam Kelaparan dan Kemiskinan?
“Kalaupun ada dampak, tidak akan signifikan. Sehingga ini adalah narasi politik sebagai bentuk pemberdayaan dan memberikan sanksi politik. “
Eny sadar, golput lewat gerakan Coblos 3 Paslon bukan satu-satunya solusi. Toh, dari banyak kasus, tetap akan ada yang menang dalam kontestasi politik seperti ini.
“Tapi setidaknya pemerintah Jakarta tahu, kita sebagai warga Jakarta memprotes,” Eny berkata. “Kita tidak tinggal diam ketika pemerintah menzalimi demokrasi. Apa pun yang akan terjadi, kita akan tetap berjuang.”