Kamu perempuan kelas menengah yang menjadi sandwich generation penopang ekonomi keluarga? Di sisi lain, kamu seorang karyawan di kota dengan harga properti selangit? Gajimu tak sampai dua digit per bulan tapi kamu ingin punya rumah sendiri? Kisahmu adalah kisah Kaluna (Yunita Siregar) dalam film ‘Home Sweet Loan’.
‘Home Sweet Loan’ adalah film yang diangkat dari novel ‘Home $weet Loan’ karya Almira Bastari. Film ini diproduksi oleh Visinema dan tayang sejak tanggal 26 September 2024.
Tokoh utama dalam film ini adalah Kaluna, anak bungsu dengan impian ‘sederhana’ ingin punya rumah. ‘Sederhana’ sebab Kaluna, di usia hampir menginjak 30 tahun, masih tinggal di rumah orangtuanya.
Baca Juga: Kekuatan Perempuan yang Melawan dalam Film Laura: A True Story of a Fighter
Keinginan Kaluna rasanya tak begitu muluk-muluk; ia hanya butuh rumah yang bebas dari keramaian. Kaluna mau punya rumah sendiri, sebagaimana gambaran orang dewasa ‘sukses’ yang diamini banyak orang.
Namun, impian Kaluna tidak lagi menjadi ‘sederhana’ karena, dengan gaji ala kadarnya, ia masih harus menanggung beban keluarganya. Ia sendiri bekerja sebagai seorang pegawai kantoran di Jakarta.
Jangankan punya rumah, gaji Kaluna kerap keburu habis untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga. Sudah berjuang menghidupi diri sendiri, ia masih harus menopang keluarga.
Mimpi Punya Rumah adalah ‘Kemewahan’
Bagi beberapa orang, memiliki rumah sendiri adalah tentang kesulitan yang dihadapi dalam prosesnya. Namun bagi Kaluna, sekadar bermimpi akan hal itu pun sulit.
Rumah orang tua Kaluna tidak hanya diisi oleh keluarga inti mereka: Kaluna, ayah, ibu, dan kakak-kakak Kaluna. Ada pula dua ipar serta keponakannya. Sebuah rumah yang tak seberapa itu diisi oleh begitu banyak kepala dengan perilakunya masing-masing.
Memang, kedua kakak Kaluna juga bekerja. Tapi mereka tak banyak membantu perekonomian keluarga dan pekerjaan rumah. Malah, Kaluna dan orang tua mereka yang lebih membantu sang kakak. Di sisi lain, Kaluna juga dibebani pekerjaan rumah yang diabaikan kakak-kakaknya.
Kaluna sadar, penghasilannya yang bahkan tidak mencapai dua digit takkan mendekatkannya pada rumah idaman. Meski demikian, ia tidak lantas menyerah. Kaluna dan tiga temannya pun ‘berpetualang’ mencari rumah dengan harga terjangkau. Tak masalah jika mereka harus tinggal di wilayah pinggiran Jakarta atau dengan kondisi-kondisi menyulitkan lainnya. Bagi Kaluna, yang terpenting adalah mewujudkan mimpinya.
Bukan cuma berkompromi dengan calon hunian yang kadang tak masuk akal jarak dan areanya. Kaluna dan kawan-kawannya juga berupaya mengontrol pengeluaran agar punya cukup tabungan untuk membeli rumah. Segala pengeluaran yang tidak perlu, dihentikan.
Baca Juga: ‘It Ends With Us’, Sorak-Sorai untuk Lily Bloom Yang Berani Memutus KDRT
Kerja sampingan, dilakukan. Ambil pinjaman kantor, diperjuangkan. Semua demi punya rumah impian, bebas dari hiruk-pikuk tiga keluarga di bawah satu atap. Dengan semua itu, akhirnya Kaluna berhasil mengumpulkan tabungan 300 juta Rupiah. Uang itu setidaknya cukup untuk membayar DP rumah yang selama ini diidamkannya.
Sayang, Kaluna harus kembali ke realita. Ia mendapati kondisi keuangan keluarganya memburuk. Orang tua dan para kakak Kaluna terjebak hutang dan diguncang masalah finansial lainnya. Di tengah kondisi itu, mau tidak mau Kaluna harus berkorban lagi dan lagi.
Sebuah pertanyaan dari Kaluna jadi terdengar getir. Mungkin juga karena kita pernah atau sedang memikirkan hal yang sama.
“Orang biasa kayak gue, mau mimpi ya aja harus tahu diri, ya?”
Realita Kelas Menengah
Cerita Kaluna dalam ‘Home Sweet Loan’ bisa jadi membuat kita merasa seperti menatap cermin. Kaluna mungkin adalah kita, ketika kita adalah pekerja kelas menengah yang menanggung generasi sebelum dan sesudah kita.
Mungkin Kaluna adalah kita kebanyakan: perempuan di usia hampir 30 tahun, setiap hari berdesakan di transportasi umum demi gaji yang hanya sedikit berada di atas ambang UMR.
Kaluna lebih kurang menggambarkan realita masyarakat kelas menengah di Indonesia. Di tengah lonjakan harga, termasuk harga hunian, rakyat masih harus berjuang demi meningkatkan taraf kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarga. Di sisi lain, keharusan memiliki rumah sendiri seakan menjadi tren. Kemudian yang disalahkan adalah gaya hidup orang muda, seakan-akan kesulitan menabung untuk membeli rumah adalah salah mereka.
Misalnya, pada Agustus 2023 silam, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyinggung persoalan gaya hidup orang muda. Menurutnya saat itu, 81 juta orang muda masih belum memiliki rumah karena hal tersebut. Sedangkan menurut Elisa Sutanudjaja dari Rujak Centre for Urban Studies, pemerintah seakan terbiasa menyalahkan masyarakat atas berbagai persoalan. Padahal sebetulnya itu juga menjadi andil mereka.
Anak Perempuan, Dibebani Pekerjaan Rumah, Tak Diberi Bahu untuk Bersandar
Kaluna sebagai anak perempuan juga akhirnya harus menanggung multibeban. Padahal, ia punya kakak laki-laki, tapi lagi-lagi Kaluna yang mesti berhadapan langsung dengan masalah keluarga. Sebab ada stereotipe bahwa urusan domestik adalah urusan perempuan, meski ia bekerja mencari nafkah di sektor publik. Ada sebuah adegan ketika, usai makan bersama, anak laki-laki bebas saja pergi meninggalkan meja. Kaluna, yang merupakan anak perempuan, jadi bertanggungjawab membereskan segalanya.
Kaluna jadi tumpuan keluarga, tapi kelelahannya tidak pernah didengar dan divalidasi. Alih-alih, dia harus mengalah untuk banyak hal. Mulai dari mencuci piring dan membereskan meja makan karena kakak-kakaknya ogah membantu, hingga merelakan ruang pribadinya karena para kakaknya enggan beranjak dari rumah orang tua mereka meski sudah menikah dan berkeluarga.
Di satu sisi, sosok Kaluna menggambarkan perempuan tangguh, gigih, dan menenangkan. Namun ia juga menjadi representasi anak perempuan yang kerap tersisihkan dalam keluarga, sekaligus dibebani berbagai macam ekspektasi. Anak perempuan kerap dilimpahkan persoalan keluarga ketika ia sendiri juga punya masalah dalam hidup. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman untuk berlindung, justru membuatnya terseret masalah.
Maka mungkin wajah lelah dan murung Kaluna di sepanjang film adalah pantulan ‘cermin’ diri kita. Namun, di tengah situasi sulit tersebut, Kaluna masih menyimpan sedikit harapan untuk dapat bahagia. Film ‘Home Sweet Loan’ bisa jadi membuat kita merenungi hidup, sekaligus memberi ‘pelukan’ bagi kita yang selama ini tak punya sosok untuk bersandar dan mendengarkan. Sebab kelelahan dan kekhawatiran kita valid.
(sumber foto: YouTube Visinema Pictures)