Di zaman Orde Baru terdapat sebuah ideologi yang dikenal sebagai “ibuisme” negara. Ibuisme negara merupakan sebuah ideologi yang diciptakan dengan pendekatan korporatis yang bersumber dari pusat hingga ke hampir 70.000 desa di seluruh Indonesia.
Pada masa Orde Baru ideologi tersebut diciptakan untuk menyatukan negara dan masyarakat. Itu dilakukan dengan mengilhami retorika dan program-program pemerintah untuk perempuan melalui kelompok Dharma Wanita dan Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Dalam prosesnya Ibuisme negara tidak hanya menjadi unsur tunggal yang berperan dalam proses menjinakkan perempuan Indonesia pada masa itu. Terdapat juga sebuah konsep lain dari Maria Mies yang disebut sebagai “peng-ibu rumah tangga-an” (housewifization). Singkatnya, peng-ibu rumah tangga-an merupakan sebuah proses di mana perempuan secara sosial dijadikan sebagai ibu rumah tangga. Penghidupannya bergantung pada penghasilan suami (Suryakusuma, 2012).
Ideologi “ibuisme negara” dan konsep “peng-ibu rumah tangga-an” merupakan dua bentuk penjinakkan perempuan di zaman Orde Baru. Ini digunakan oleh negara sebagai cara paling mudah untuk membatasi perempuan terutama dalam posisinya sebagai seorang isteri.
Hal inilah yang kemudian menciptakan budaya “ikut suami” yang dilambangkan oleh asosiasi isteri Pegawai Negeri Sipil (PNS). Negara memiliki kontrol penuh atas pegawai negeri sipil laki-laki yang selanjutnya mengontrol isteri-isteri mereka. Hal itu dibalas dengan mengontrol suami-suami mereka serta isteri-isteri junior dan juga anak-anak mereka (Suryakusuma, 2012).
Dalam perjalanannya kurang lebih 58 tahun setelah masa Orde Baru berakhir, isu pengambilalihan dan distorsi keperempuanan di Indonesia pun masih terus berlanjut.
Baca Juga: Terjebak Ibuisme, Dharma Wanita Bisakah Jadi Organisasi Progresif Kesetaraan Gender?
Implikasi dari pergolakan antara ideologi “ibuisme negara” dan konsep “peng-ibu-rumahtanggaan” di masa Orde Baru terhadap kehidupan sosio kultural perempuan di Indonesia. Hingga kini pun masih menjadi satu problema yang terus diperjuangkan oleh kaum perempuan.
Fakta bahwa selama berabad-abad konsep ibu terus dijadikan sebagai alibi untuk menempatkan posisi perempuan pada posisi yang “alamiah” dan “kodrati”. Ini bukanlah merupakan isu belaka, karena nyatanya jauh sebelum dilahirkan ke dunia. Seorang janin yang telah terindikasi sebagai perempuan secara alami akan disambut dengan konsep keperempuanan yang telah dilanggengkan selama berabad-abad.
Bahkan pada era modern ini bayi yang lahir sebagai perempuan akan dibelikan berbagai perlengkapan berwarna “pink”. Menurut catatan sejarah merupakan kode gender yang membedakan perempuan dengan laki-laki.
Perubahan sosial dan modernitas telah menggeser pola relasi gender dalam sejumlah lini kehidupan. Hingga akhirnya terdapat banyak distorsi yang kemudian menciptakan berbagai macam bentuk misinterpretasi terhadap konsep ibu yang sesungguhnya.
Pada konteks keluarga, hal tersebut memunculkan diskursus terkait pembakuan peran dan dikotomi publik-domestik. Apakah pembakuan peran dan dikotomi itu masih relevan dalam konteks modernitas? Konsep ibu merupakan “subyek” yang melekat pada perempuan ataukah merupakan “fungsi” sehingga dapat dipertukarkan? Apakah konsep ibu merupakan sesuatu yang alamiah ataukah dibentuk oleh realitas sosial?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya mengerucut pada persoalan bagaimana peran dan kedudukan ideal perempuan di era modern.
Marriage is Scary: Antara Kekuasaan, Hierarki Sosial, dan Otonomi Tubuh Perempuan
Dilansir dari wawancara tim Kompas.com bersama Kepala Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada (UGM) Widya Nayati, diungkapkan bahwa salah satu alasan perempuan takut menikah dikarenakan masih banyak laki-laki yang belum memahami kesetaraan gender sepenuhnya.
Menurutnya masih banyak laki-laki yang cenderung betah dengan pemikirannya yang konservatif. Laki-laki dengan pikiran konservatif memiliki pandangan yang lebih tradisional tentang gender, sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan peran dalam rumah tangga.
Dalam rangka mengkonstruksikan kerangka teoritis untuk menganalisis hal ini, saya akan merujuk pada konsep “pengiburumahtanggaan” (housewifization). Konsep itu dari Maria Mies yang dikutip oleh Julia Suryakusuma dalam bukunya yang berjudul “Agama, Seks, dan Kekuasaan”.
Dalam konsep pengiburumahtanggaan, perempuan dikotakkan menjadi ibu rumah tangga yang “tergantung” dan “tidak produktif” yang menyelesaikan pekerjaan domestik secara “gratis”. Akibatnya ia menjadi terasing dan terpencil. Seperti atom tunggal, tidak terorganisasi, terampas dari kekuatan politik dan ekonomi, serta ditempatkan dalam posisi yang subordinat terhadap laki-laki.
Posisi subordinat perempuan yang ditempatkan lebih rendah dari laki-laki membuat perempuan terbelenggu dalam kurungan patriarki tak berujung.
Baca Juga: Beban Ganda Bikin Perempuan Sulit Berkarir
Perempuan yang telah menikah seolah dituntut untuk bisa mengemban semua peran yang ada dalam rumah tangga. Baik itu peran perempuan sebagai seorang ibu, perempuan sebagai seorang istri. Belum lagi peran perempuan sebagai seorang anak yang masih harus mengurus kedua orang tuanya.
Dalam dinamika peran ganda perempuan yang tumpang tindih, perempuan nyatanya masih terus dituntut untuk menjaga penampilan dan bentuk tubuh mereka. Padahal realitanya perempuan-perempuan yang telah menikah dan memiliki anak masih sangat sulit untuk mengatur waktu makannya sendiri.
Kondisi demikian biasanya lebih dominan terlihat di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Beda halnya dengan masyarakat menengah ke atas, tentu hal semacam ini sangat amat jarang ditemukan.
Posisi perempuan sebagai seorang ibu rumah tangga di era modern ini nyatanya masih mengalami gejolak dinamika tak berujung. Batas antara tuntutan terhadap perempuan dan hak atas otonomi tubuh perempuan sebagai seorang individu pun sudah semakin mengabur. Klimaks dari berbagai macam tuntutan yang diterima oleh kaum perempuan di era modern ini menciptakan sebuah pemberontakan terang-terangan.
Pemberontakan tersebut kerap kali disuarakan lewat media sosial yang diyakini sebagai wadah baru bagi kaum marginal dan sub-ordinat. Hal ini kembali mengingatkan saya akan dengan celotehan ibu-ibu di media sosial beberapa waktu lalu. Ia protes karena cara mereka melayani suami dan anak-anaknya kerapkali dibandingkan dengan pola asuh ala Nikita Willy.
Baca Juga: Pengalaman Nikita Willy dan Indra Priawan: Pengasuhan Anak Bukan Cuma Urusan Perempuan
Dalam salah satu komentar di akun Instagram Nikita Willy, ada seorang ibu rumah tangga yang mengatakan, “Ah saya juga bisa selembut Nikita ngurus anak, kalo pekerjaan rumah lain dikerjain sama ART”. Ada juga yang mengatakan, “Jelaslah Nikita memotong bawang aja keliatan cantik dan rapi, orang uang bulanannya enam digit perminggu”, dan masih banyak lagi.
Beberapa kutipan komentar tersebut di atas, membawa saya untuk merefleksikan kembali fakta bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam konstruksi sosial keperempuanan di Indonesia, perempuan yang telah menikah akan dihantui oleh berbagai macam tekanan sosial budaya yang sejak dahulu telah “dilanggengkan” dalam masyarakat kita.
Rekam jejak sejarah Indonesia sebagai salah satu negara yang masih menganut budaya patriarki. Budaya itu mengkonstruksikan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan dan hierarki sosial yang mampu memainkan peran dalam cara tubuh (perempuan) di-disposisikan dan dipresentasikan. Sehingga laki-laki dianggap memiliki kontrol yang lebih besar atas cara tubuh (perempuan) dipresentasikan.
Menstruasi, Mengandung, Melahirkan, dan Menyusui: “Kodrat” atau Diskriminasi?
Melihat posisi subordinat perempuan dalam perannya sebagai seorang ibu rumah tangga tentu berhubungan erat dengan hak-haknya untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Di Indonesia, masih ditemukan adanya narasi, bahwa setelah menikah perempuan tidak boleh bekerja. Bahkan dalam beberapa ajaran agama pun, perempuan dituntut untuk tunduk terhadap laki-laki sebagai suami dan menjalankan ibadahnya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan mulia seperti mengurus anak, suami, dan rumah tangga.
Narasi perempuan tidak boleh bekerja setelah menikah menjadi salah satu indikator yang membuat banyak perempuan di era modern memilih untuk tidak menikah. Keputusan perempuan untuk tidak menikah merupakan bentuk dari pemberontakan atas kebebasan pribadi dan hak atas otonomi tubuh. Sebab selama ini hak itu mengabur dalam batas-batas kekuasaan dan hierarki sosial.
Namun sayangnya keputusan tersebut tidak serta merta bisa menjadi solusi yang diharapkan. Ini dikarenakan, nyatanya terdapat narasi lain yang juga tumpang tindih terhadap hak-hak perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak di luar ranah domestik.
Baca Juga: Tugas Domestik Itu Berat, Banyak Laki-Laki Gagap Beradaptasi di Rumah Saat Pandemi
Perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang disebut memiliki kodrat teristimewa di antara individu-individu lain, nyatanya justru membangun stigma baru. Yaitu anggapan bahwa perempuan bukanlah tenaga kerja yang ideal.
Stigma yang menjelaskan bahwa perempuan adalah makhluk “kotor” yang “sakit” muncul dari kodrat istimewa perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Kodrat perempuan sebagai individu yang memiliki rahim membuat perempuan secara alami mengalami beberapa fase yang akan memposisikan perempuan pada sebuah siklus yang dikenal dengan menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Fase ketika perempuan sedang mengalami siklus tersebut dianggap dapat menghambat pekerjaan perempuan di tempat kerja. Ketika perempuan mengalami hal-hal semacam ini di tempat kerja secara otomatis mereka tidak dapat bekerja dengan baik dan tentu mereka akan membutuhkan waktu untuk istirahat dan cuti. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya mengkotak-kotakkan posisi perempuan yang bekerja di ranah publik.
Baca Juga: Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Belum Dianggap Sebagai Kerja
Keberadaan tubuh perempuan sebagai individu yang memiliki rahim dianggap membuat perempuan memiliki cacat bawaan. Sebab ia membawa serangkaian “penyakit” yang harus ia derita, hal ini dipandang dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan tempatnya bekerja.
Sementara menurut Irwan Abdullah (2002), jika diletakkan dalam konteks relasi gender, stigma dan aturan yang berkaitan dengan menstruasi merupakan alat bagi laki-laki untuk membatasi partisipasi perempuan. Termasuk dalam wilayah publik yang mengatur status dan peran yang berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut keseluruhan komunitas.
Sejalan dengan gambaran ini, aturan-aturan dalam berbagai masyarakat telah menjadi “pagar” bagi perempuan. Utamanya untuk masuk dalam wilayah privat yang otoritasnya lebih kecil, seperti dalam ranah rumah tangga. Pada akhirnya hal yang dianggap sebagai kodrat perempuan justru harus menjadi indikator yang pada akhirnya membuat posisi perempuan semakin terdiskriminasikan.
Kesetaraan: Sebuah Hidangan Penutup
Dalam setiap perbincangan mengenai perempuan dan hak-haknya, kesetaraan akan selalu menjadi kalimat mutlak yang menyimpulkan setiap perbincangan panas. Akan tetapi hingga abad ke-21 ini pun, perjuangan perempuan untuk menghapus batas-batas ketimpangan dan menyelaraskan garis kesetaraan itu nyatanya masih belum menemui titik akhir.
Kesetaran hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik dan ranah publik pada akhirnya akan kembali kepada negara. Negara sebagai rumah dengan struktur pemerintahan yang terintegrasi harus mampu mengakomodir berbagai macam kepentingan yang menyangkut hak dan kewajiban setiap warga negaranya.
Hal utama yang dilakukan adalah memperjelas dan mempertegas setiap kebijakan yang berkaitan dengan “kesetaraan” dalam segala aspek kehidupan masyarakat baik itu dari tingkat pusat hingga ke daerah.
Baca Juga: Mau Dunia Yang Setara? Duniamu Harus Bebas Dari Bias dan Diskriminasi
Dalam hal ini pemerintah harus mampu membangun dan menggerakkan kerjasama dari berbagai pihak baik itu individu, kelompok, masyarakat, hingga para penguasa dan pemangku kepentingan yang ada.
Karena pada akhirnya, satu-satunya elemen yang dapat menggerakkan seluruh elemen yang ada di dalam sebuah negara multikultural seperti Indonesia ini adalah pemerintah dan para penguasa.
Negara dalam hal ini pemerintah dan para penguasa harus mampu menjadi wadah bagi setiap warga negara dari berbagai latar belakang untuk bisa menyuarakan hal-hal yang dianggap belum sesuai dengan apa yang dialami oleh warga negaranya.
Penghapusan batas-batas ketimpangan sosial budaya dalam sistem pemerintahan hingga penerapan program-program yang mampu mewadahi setiap individu untuk berkembang dan berpikiran terbuka, serta menyelaraskan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dengan karakteristik masing-masing kelompok masyarakat yang ada di berbagai suku bangsa.